Soal Laporan McKinsey, Sri Mulyani Akan Terus Monitor Ekonomi Indonesia

Jum'at, 23 Agustus 2019 - 14:42 WIB
Soal Laporan McKinsey,...
Soal Laporan McKinsey, Sri Mulyani Akan Terus Monitor Ekonomi Indonesia
A A A
JAKARTA - Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menandaskan akan mempelajari dan terus memonitor ekonomi Indonesia, terkait laporan konsultan manajemen global McKinsey & Company yang berjudul "Sign of Stress in The Asian Financial System".

Dalam laporan tersebut, McKinsey mengingatkan negara-negara Asia untuk mewaspadai risiko terulangnya krisis 1997, seiring meningkatnya tingkat utang luar negeri dan risiko perlambatan ekonomi global imbas perang dagang Amerika Serikat dan China.

"McKinsey membuat laporan itu untuk keseluruhan Asia dan negara berkembang. Jadi kita bisa melakukan perbandingan dengan yang lain," ujarnya di Gedung Kementerian Keuangan, kawasan Lapangan Banteng, Jakarta, Jumat (23/8/2019).

Terkait waspada meningkatnya utang dan perlambatan ekonomi global yang bisa berdampak ke dalam negeri, Sri Mulyani menerangkan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) akan terus memonitor perekonomian dalam negeri untuk mengantisipasi hal tersebut.

"Kami bersama KSSK terus memonitor dari sisi perekonomian, baik dari sisi sektor keuangan, perbankan, nonbank, dan perusahaan secara umum. Itu akan kita lihat apakah berbeda dari sisi bacaan dengan kita," tuturnya. Baca: McKinsey Peringatkan Bahaya Utang di Negara-negara Asia

Dalam laporannya, McKinsey memeriksa neraca keuangan lebih dari 23.000 perusahaan di 11 negara-negara Asia Pasifik pada periode 2007-2017. Hasilnya, sebagian besar perusahaan di Asia Pasifik mengalami tekanan signifikan dalam kewajiban membayar utang. Bahkan, China dan India, dua negara ekonomi besar Asia, tekanan perusahaan untuk membayar utang terus meningkat sejak 2007.

Menurut perusahaan yang berbasis di New York itu, utang perusahaan-perusahaan di Asia Pasifik memiliki rasio cakupan bunga (interest coverage ratio/ICR) kurang dari 1,5 kali. Dan posisi ICR ini sangat rawan, karena perusahaan harus menggunakan mayoritas keuntungannya untuk membayar utang.

Sejak 2017, lebih dari 25% utang jangka panjang perusahaan di Indonesia, India, dan China dalam bentuk valuta asing memiliki rasio cakupan bunga 1,5 kali. Utang ini kebanyakan berasal dari sektor utilitas (pembangkit listrik dan jalan tol) dengan porsi 62%, disusul sektor energi 11% dan bahan mentah dengan porsi 10%.

McKinsey memperingatkan untuk sektor utilitas di India dan Indonesia berpotensi memicu persoalan karena kemampuan untuk membayar utang tidaklah mudah. Untuk Indonesia, tingkat utang berdenominasi dolar Amerika Serikat mencapai 50% dari porsi utang yang ada, lebih tinggi dari rata-rata kawasan Asia sebesar 25%.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0755 seconds (0.1#10.140)