Amankan Penerimaan Cukai Pemerintah Diminta Gandeng KPK
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah diminta menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengamankan penerimaan negara dari cukai Industri Hasil Tembakau (IHT). Dengan menggandeng lembaga antirasuah itu, kebocoran penerimaan cukai diyakini bisa ditekan.
Direktur Advokasi Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Oce Madril menyatakan, KPK bisa memberikan rekomendasi jika berdasarkan kajian ditemukan adanya sistem yang berpotensi merugikan negara.
"KPK bisa merekomendasikan agar kebijakannya dicabut atau direvisi atau mungkin merekomendasikan dibuat kebijakan baru. Eksekusinya tetap di pemerintah dengan melibatkan partisipasi semua pihak," kata Oce dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin (26/8/2019).
Pada 2015 pendapatan negara dari cukai tembakau mencapai Rp139,5 triliun. Kemudian pada 2016 meningkat menjadi Rp141,7 riliun. Lalu pada 2017 menjadi Rp149,9 triliun dan pada 2018 menembus Rp153 triliun. Tahun ini ditargetkan sebesar Rp171,9 triliun.
Oce menjelaskan pemerintah harus menerapkan aturan secara konsisten. Pemerintah harus menutup setiap peluang kecurangan, salah satunya dengan menghapus berbagai area abu-abu yang bisa dimanfaatkan pihak tertentu. Kecurangan tersebut, misalnya, terkait permainan pabrikan rokok dalam hal struktur tarif cukai.
Salah satu kebijakan yang dalam beberapa bulan terakhir menjadi polemik adalah sistem tarif cukai rokok yang kini sedang digodok Kementerian Keuangan. Salah satunya terkait batasan produksi sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM). Kebijakan ini diduga memiliki celah yang bisa dimanfaatkan pabrikan besar asing agar membayar tarif cukai rokok lebih murah.
Batasan produksi SKM dan SPM sebelumnya diatur Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 146/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Dalam peraturan tersebut, setiap perusahaan rokok yang secara total memproduksi 3 miliar batang SKM dan SPM harus membayar tarif cukai tertinggi (golongan I) di masing-masing golongan.
Ketentuan itu kemudian dihapus saat Kementerian Keuangan merevisi tarif cukai tahun lalu dengan menerbitkan PMK Nomor 156/2018. Akibatnya, perusahaan besar asing punya peluang membayar tarif cukai rokok lebih rendah, meskipun jika ditotal produksi SKM dan SPM mereka melampaui 3 miliar batang.
KPK sendiri pernah mendapatkan apresiasi yang sangat positif ketika memberikan rekomendasi kepada Presiden terkait rokok. Pada Februari 2019, Komisi Antirasuah mengirimkan rekomendasi agar pemerintah mencabut insentif fiskal terhadap rokok di Kawasan Perdagangan Bebas (free trade zone/FTZ).
Berdasarkan kajian potensi penerimaan negara 2018, KPK menemukan kebijakan insentif tersebut berpotensi mengurangi pendapatan negara akibat indikasi penyalahgunaan dan ketidaktepatan pembebasan cukai untuk 2,5 miliar batang rokok di FTZ Batam sebesar Rp945 miliar. Akhirnya, terhitung sejak 17 Mei 2019, Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan mencabut insentif tersebut.
Indonesia Budget Center (IBC), sebuah lembaga swadaya masyarakat yang fokus mengawasi anggaran negara juga menilai berbagai celah dalam kebijakan tarif cukai rokok berpotensi merugikan negara.
Ketua IBC Arif Nur Alam menjelaskan, kerugian negara yang muncul dari celah kebijakan cukai rokok disebabkan adanya pabrikan rokok besar asing yang membayar tarif cukai rokok lebih rendah dibandingkan yang seharusnya.
"Ini karena penggolongan tarif cukai saat ini sangat banyak dan rumit. Padahal, setiap kebijakan yang rumit akan memunculkan celah penyimpangan. Untuk itu, KPK harus segera mendorong pemerintah melakukan perbaikan, seperti yang telah dilakukan pada kebijakan pembebasan cukai rokok di FTZ Batam," tutupnya.
Direktur Advokasi Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Oce Madril menyatakan, KPK bisa memberikan rekomendasi jika berdasarkan kajian ditemukan adanya sistem yang berpotensi merugikan negara.
"KPK bisa merekomendasikan agar kebijakannya dicabut atau direvisi atau mungkin merekomendasikan dibuat kebijakan baru. Eksekusinya tetap di pemerintah dengan melibatkan partisipasi semua pihak," kata Oce dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin (26/8/2019).
Pada 2015 pendapatan negara dari cukai tembakau mencapai Rp139,5 triliun. Kemudian pada 2016 meningkat menjadi Rp141,7 riliun. Lalu pada 2017 menjadi Rp149,9 triliun dan pada 2018 menembus Rp153 triliun. Tahun ini ditargetkan sebesar Rp171,9 triliun.
Oce menjelaskan pemerintah harus menerapkan aturan secara konsisten. Pemerintah harus menutup setiap peluang kecurangan, salah satunya dengan menghapus berbagai area abu-abu yang bisa dimanfaatkan pihak tertentu. Kecurangan tersebut, misalnya, terkait permainan pabrikan rokok dalam hal struktur tarif cukai.
Salah satu kebijakan yang dalam beberapa bulan terakhir menjadi polemik adalah sistem tarif cukai rokok yang kini sedang digodok Kementerian Keuangan. Salah satunya terkait batasan produksi sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM). Kebijakan ini diduga memiliki celah yang bisa dimanfaatkan pabrikan besar asing agar membayar tarif cukai rokok lebih murah.
Batasan produksi SKM dan SPM sebelumnya diatur Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 146/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Dalam peraturan tersebut, setiap perusahaan rokok yang secara total memproduksi 3 miliar batang SKM dan SPM harus membayar tarif cukai tertinggi (golongan I) di masing-masing golongan.
Ketentuan itu kemudian dihapus saat Kementerian Keuangan merevisi tarif cukai tahun lalu dengan menerbitkan PMK Nomor 156/2018. Akibatnya, perusahaan besar asing punya peluang membayar tarif cukai rokok lebih rendah, meskipun jika ditotal produksi SKM dan SPM mereka melampaui 3 miliar batang.
KPK sendiri pernah mendapatkan apresiasi yang sangat positif ketika memberikan rekomendasi kepada Presiden terkait rokok. Pada Februari 2019, Komisi Antirasuah mengirimkan rekomendasi agar pemerintah mencabut insentif fiskal terhadap rokok di Kawasan Perdagangan Bebas (free trade zone/FTZ).
Berdasarkan kajian potensi penerimaan negara 2018, KPK menemukan kebijakan insentif tersebut berpotensi mengurangi pendapatan negara akibat indikasi penyalahgunaan dan ketidaktepatan pembebasan cukai untuk 2,5 miliar batang rokok di FTZ Batam sebesar Rp945 miliar. Akhirnya, terhitung sejak 17 Mei 2019, Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan mencabut insentif tersebut.
Indonesia Budget Center (IBC), sebuah lembaga swadaya masyarakat yang fokus mengawasi anggaran negara juga menilai berbagai celah dalam kebijakan tarif cukai rokok berpotensi merugikan negara.
Ketua IBC Arif Nur Alam menjelaskan, kerugian negara yang muncul dari celah kebijakan cukai rokok disebabkan adanya pabrikan rokok besar asing yang membayar tarif cukai rokok lebih rendah dibandingkan yang seharusnya.
"Ini karena penggolongan tarif cukai saat ini sangat banyak dan rumit. Padahal, setiap kebijakan yang rumit akan memunculkan celah penyimpangan. Untuk itu, KPK harus segera mendorong pemerintah melakukan perbaikan, seperti yang telah dilakukan pada kebijakan pembebasan cukai rokok di FTZ Batam," tutupnya.
(fjo)