Penerimaan Pajak Ditarget Rp1.865,7 Triliun
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah menargetkan penerimaan negara dari sektor pajak sebesar Rp1.865,7 triliun dalam postur sementara Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) Tahun 2020. Besaran penerimaan negara tersebut naik Rp3,9 triliun dari target semula Rp1.861,8 triliun.
Peningkatan penerimaan negara dari sektor pajak itu karena adanya perubahan asumsi makro pada harga minyak mentah Indonesia (ICP) dari USD65 dolar per barel menjadi USD63 dolar AS per barel. Selain itu dalam asumsi makro dan parameter migas juga disebutkan bahwa lifting minyak bumi dikoreksi meningkat dari 734.000 barel per hari menjadi 755.000 barel per hari. Adapun biaya operasi atau cost recovery juga diasumsikan turun dari USD11,58 miliar menjadi USD10 miliar.
“Kenaikan Rp3,9 triliun itu disumbangkan oleh penerimaan dari pajak penghasilan (PPh) migas sebesar Rp2,4 triliun serta kenaikan PBB (pajak bumi dan bangunan) sebesar Rp300 miliar,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani saat rapat kerja bersama Badan Anggaran (Banggar) DPR bersama Bank Indonesia (BI) di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.
Dia menambahkan, penerimaan negara juga akan didorong kenaikan cukai hasil tembakau sebesar Rp1,2 triliun. Sri Mulyani berharap target penerimaan pajak sebesar Rp1.865,7 triliun itu dapat mendukung pendapatan negara sebesar Rp2.233,2 triliun dalam postur sementara RAPBN 2020.
Postur sementara pendapatan negara dalam RAPBN 2020 tersebut naik Rp11,6 triliun dari rancangan sebelumnya sebesar Rp2.221,5 triliun.
Pada rapat kerja tersebut Banggar DPR menyetujui perubahan postur sementara RAPBN 2020 dengan mematok pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3%. Selain itu inflasi ditargetkan di kisaran 3,1%, nilai tukar rupiah Rp14.400 per dolar Amerika Serikat (AS), dan tingkat bunga Surat Perbendaharaan Negara (SPN) tiga bulan di level 5,4%.
Adapun untuk sasaran pembangunan, angka pengangguran dipatok pada kisaran 4,8–5,0%, kemiskinan 8,5–9,0%, rasio gini 0,375–0,380, dan Indeks Pembangunan Manusia 72,51.
"Sudah dapat disetujui postur sementara APBN 2020 ini," ujar Ketua Banggar DPR Kahar Muzakir di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.
Pada postur sementara RAPBN 2020 juga disepakati belanja negara turun Rp11,2 triliun dari sebelumnya Rp2.528,8 triliun menjadi Rp2.540,4 triliun. Belanja tersebut terdiri atas belanja pemerintah pusat sebesar Rp1.683,5 triliun dan transfer daerah serta dana desa Rp856,9 triliun.
Menurut Sri Mulyani, dengan adanya perubahan kerangka asumsi makro, terjadi penurunan subsidi pemerintah di sektor migas. "Karena subsidi energi turun Rp12,6 triliun, belanja negara juga turun Rp11,2 triliun. Tapi ada penambahan di belanja non-K/L untuk kebutuhan mendesak Rp21,7 triliun dan ada kenaikan dana bagi hasil Rp1,4 triliun. Jadi apabila dihitung lagi, belanja negara tetap naik Rp11,6 triliun," jelasnya.
Adapun keseimbangan primer tetap dijaga Rp12 triliun dan defisit anggaran sebesar 1,76% terhadap produk domestik bruto (PDB). Adapun pembiayaan anggaran sebesar Rp307,2 triliun pada 2020.
"Dalam postur sementara defisit anggaran tetap sama. Defisit kami pertahankan sesuai dalam RUU Nota Keuangan APBN 2020, yaitu 1,76% dari PDB," tandasnya.
Waspadai Pelemahan Global
Sementara itu Bank Dunia memproyeksikan perekonomian Indonesia akan terus menurun di tengah pelambatan ekonomi global. Hal ini seiring ancaman resesi yang menjadi potensi risiko yang semakin besar bagi perekonomian Indonesia.
Dalam laporan kuartalan Juli lalu, Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2019 dari semula 5,2% menjadi 5,1%.
Menanggapi hal itu, Sri Mulyani mengatakan pemerintah terus mewaspadai ancaman pelambatan ekonomi global. Dia pun berkomitmen untuk terus memperbaiki kondisi ekonomi dalam negeri.
"Jadi saya sampaikan berkali-kali kita terus waspada melihat perkembangan tersebut. Kita juga akan terus perbaiki," ujar Sri Mulyani.
Dia menambahkan, dengan kondisi ekonomi yang masih tumbuh 5% dan inflasi yang terjaga rendah serta pembangunan yang terus berjalan, Indonesia cukup yakin bisa menjadi tujuan yang baik bagi investasi. Menurutnya pemerintah akan membuat kebijakan yang tepat untuk mendorong lebih banyak investasi dan menggairahkan pelaku usaha. (Oktiani Endarwati/Rina Anggraeni)
Peningkatan penerimaan negara dari sektor pajak itu karena adanya perubahan asumsi makro pada harga minyak mentah Indonesia (ICP) dari USD65 dolar per barel menjadi USD63 dolar AS per barel. Selain itu dalam asumsi makro dan parameter migas juga disebutkan bahwa lifting minyak bumi dikoreksi meningkat dari 734.000 barel per hari menjadi 755.000 barel per hari. Adapun biaya operasi atau cost recovery juga diasumsikan turun dari USD11,58 miliar menjadi USD10 miliar.
“Kenaikan Rp3,9 triliun itu disumbangkan oleh penerimaan dari pajak penghasilan (PPh) migas sebesar Rp2,4 triliun serta kenaikan PBB (pajak bumi dan bangunan) sebesar Rp300 miliar,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani saat rapat kerja bersama Badan Anggaran (Banggar) DPR bersama Bank Indonesia (BI) di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.
Dia menambahkan, penerimaan negara juga akan didorong kenaikan cukai hasil tembakau sebesar Rp1,2 triliun. Sri Mulyani berharap target penerimaan pajak sebesar Rp1.865,7 triliun itu dapat mendukung pendapatan negara sebesar Rp2.233,2 triliun dalam postur sementara RAPBN 2020.
Postur sementara pendapatan negara dalam RAPBN 2020 tersebut naik Rp11,6 triliun dari rancangan sebelumnya sebesar Rp2.221,5 triliun.
Pada rapat kerja tersebut Banggar DPR menyetujui perubahan postur sementara RAPBN 2020 dengan mematok pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3%. Selain itu inflasi ditargetkan di kisaran 3,1%, nilai tukar rupiah Rp14.400 per dolar Amerika Serikat (AS), dan tingkat bunga Surat Perbendaharaan Negara (SPN) tiga bulan di level 5,4%.
Adapun untuk sasaran pembangunan, angka pengangguran dipatok pada kisaran 4,8–5,0%, kemiskinan 8,5–9,0%, rasio gini 0,375–0,380, dan Indeks Pembangunan Manusia 72,51.
"Sudah dapat disetujui postur sementara APBN 2020 ini," ujar Ketua Banggar DPR Kahar Muzakir di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.
Pada postur sementara RAPBN 2020 juga disepakati belanja negara turun Rp11,2 triliun dari sebelumnya Rp2.528,8 triliun menjadi Rp2.540,4 triliun. Belanja tersebut terdiri atas belanja pemerintah pusat sebesar Rp1.683,5 triliun dan transfer daerah serta dana desa Rp856,9 triliun.
Menurut Sri Mulyani, dengan adanya perubahan kerangka asumsi makro, terjadi penurunan subsidi pemerintah di sektor migas. "Karena subsidi energi turun Rp12,6 triliun, belanja negara juga turun Rp11,2 triliun. Tapi ada penambahan di belanja non-K/L untuk kebutuhan mendesak Rp21,7 triliun dan ada kenaikan dana bagi hasil Rp1,4 triliun. Jadi apabila dihitung lagi, belanja negara tetap naik Rp11,6 triliun," jelasnya.
Adapun keseimbangan primer tetap dijaga Rp12 triliun dan defisit anggaran sebesar 1,76% terhadap produk domestik bruto (PDB). Adapun pembiayaan anggaran sebesar Rp307,2 triliun pada 2020.
"Dalam postur sementara defisit anggaran tetap sama. Defisit kami pertahankan sesuai dalam RUU Nota Keuangan APBN 2020, yaitu 1,76% dari PDB," tandasnya.
Waspadai Pelemahan Global
Sementara itu Bank Dunia memproyeksikan perekonomian Indonesia akan terus menurun di tengah pelambatan ekonomi global. Hal ini seiring ancaman resesi yang menjadi potensi risiko yang semakin besar bagi perekonomian Indonesia.
Dalam laporan kuartalan Juli lalu, Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2019 dari semula 5,2% menjadi 5,1%.
Menanggapi hal itu, Sri Mulyani mengatakan pemerintah terus mewaspadai ancaman pelambatan ekonomi global. Dia pun berkomitmen untuk terus memperbaiki kondisi ekonomi dalam negeri.
"Jadi saya sampaikan berkali-kali kita terus waspada melihat perkembangan tersebut. Kita juga akan terus perbaiki," ujar Sri Mulyani.
Dia menambahkan, dengan kondisi ekonomi yang masih tumbuh 5% dan inflasi yang terjaga rendah serta pembangunan yang terus berjalan, Indonesia cukup yakin bisa menjadi tujuan yang baik bagi investasi. Menurutnya pemerintah akan membuat kebijakan yang tepat untuk mendorong lebih banyak investasi dan menggairahkan pelaku usaha. (Oktiani Endarwati/Rina Anggraeni)
(nfl)