Bappenas: Inilah Alasan Penting Kenapa Ibukota RI Harus Pindah
A
A
A
JAKARTA - Isu pemindahan ibukota negara Indonesia dari Jakarta ke Kalimantan Timur masih menjadi perbincangan hangat. Pemerintah sendiri ingin mempersiapkan pemindahan ini secara berhati-hati.
"Studi pemindahan ibukota sudah dimulai sejak 2017 dimana Presiden Joko Widodo memberikan ide tersebut. Sudah banyak kementerian dan universitas yang turut berkontribusi dalam studi ini," ujar Deputi Bidang Pengembangan Regional Kementerian PPN/Bappenas Rudy Soeprihadi Prawiradinata dalam 'Sesi Khusus: Relokasi Ibukota Negara' Kongres ISOCARP ke-55 di Jakarta, Selasa (10/9/2019).
Rudy menjelaskan bahwa penunjukan Jakarta, yang dulu dikenal dengan nama Batavia, sebagai ibukota RI merupakan bentuk representasi dari kepentingan Belanda pada masa itu, bukan berdasar pada kepentingan rakyat Indonesia. Pemerintah menginginkan ibukota negara yang merepresentasikan identitas, kesatuan, dan keberagaman Indonesia.
"Kepadatan Jakarta juga menjadi penyebab keresahan. Pada tahun 2017, Jakarta adalah kota terpadat ke-9 di dunia," tandasnya.
Dia memaparkan bahwa kepadatan ini juga didorong oleh kondisi Jakarta sebagai pusat dari 'segalanya'. Jakarta adalah pusat perdagangan yang berkontribusi terhadap 20% GDP di sektor perdagangan.
"Selain itu, Jakarta juga menyumbang 45% GDP di sektor jasa keuangan dan 68% GDP di sektor jasa korporat," tambah Rudy.
Hal penting lain yang menjadi fokus adalah kemacetan di Jakarta. Di Jakarta, penduduk bisa menghabiskan waktu rata-rata 2-3 jam untuk bepergian per satu perjalanan. Rasio infrastruktur jalan di Jakarta adalah 6,2% dari total wilayah, dimana angka yang ideal adalah 15%.
"Indeks kemacetan Jakarta menempati ranking 7 dari 403 kota yang disurvei di 56 negara berdasarkan studi di tahun 2018. Kemacetan ini juga berpotensi menyebabkan polusi udara," jelasnya.
Kemacetan ini kemudian menyebabkan kerugian ekonomi, dimana pada 2017 Bank Dunia mencatat kerugian ekonomi akibat kemacetan meningkat sebesar Rp65 triliun per tahunnya dibandingkan Rp56 triliun per tahunnya pada tahun 2013.
Dari aspek kondisi wilayah, Jakarta sangatlah rentan terhadap banjir dan penurunan tanah (land subsidence) terhadap permukaan air laut. Sebesar 50% wilayah Jakarta memiliki tingkat keamanan terhadap banjir di bawah 10 tahun, dimana idealnya adalah 50 tahun.
"Dari tahun 2007-2017, land subsidencenya mencapai 35-50 cm. Titik terburuk adalah di Cengkareng sebesar 69 cm dan Penjaringan (Pluit) sebesar 94 cm," tambah Rudy.
Diprediksi pula berdasarkan riset LIPI bahwa level air laut akan meningkat sebesar 25-50 cm di tahun 2050.
"Studi pemindahan ibukota sudah dimulai sejak 2017 dimana Presiden Joko Widodo memberikan ide tersebut. Sudah banyak kementerian dan universitas yang turut berkontribusi dalam studi ini," ujar Deputi Bidang Pengembangan Regional Kementerian PPN/Bappenas Rudy Soeprihadi Prawiradinata dalam 'Sesi Khusus: Relokasi Ibukota Negara' Kongres ISOCARP ke-55 di Jakarta, Selasa (10/9/2019).
Rudy menjelaskan bahwa penunjukan Jakarta, yang dulu dikenal dengan nama Batavia, sebagai ibukota RI merupakan bentuk representasi dari kepentingan Belanda pada masa itu, bukan berdasar pada kepentingan rakyat Indonesia. Pemerintah menginginkan ibukota negara yang merepresentasikan identitas, kesatuan, dan keberagaman Indonesia.
"Kepadatan Jakarta juga menjadi penyebab keresahan. Pada tahun 2017, Jakarta adalah kota terpadat ke-9 di dunia," tandasnya.
Dia memaparkan bahwa kepadatan ini juga didorong oleh kondisi Jakarta sebagai pusat dari 'segalanya'. Jakarta adalah pusat perdagangan yang berkontribusi terhadap 20% GDP di sektor perdagangan.
"Selain itu, Jakarta juga menyumbang 45% GDP di sektor jasa keuangan dan 68% GDP di sektor jasa korporat," tambah Rudy.
Hal penting lain yang menjadi fokus adalah kemacetan di Jakarta. Di Jakarta, penduduk bisa menghabiskan waktu rata-rata 2-3 jam untuk bepergian per satu perjalanan. Rasio infrastruktur jalan di Jakarta adalah 6,2% dari total wilayah, dimana angka yang ideal adalah 15%.
"Indeks kemacetan Jakarta menempati ranking 7 dari 403 kota yang disurvei di 56 negara berdasarkan studi di tahun 2018. Kemacetan ini juga berpotensi menyebabkan polusi udara," jelasnya.
Kemacetan ini kemudian menyebabkan kerugian ekonomi, dimana pada 2017 Bank Dunia mencatat kerugian ekonomi akibat kemacetan meningkat sebesar Rp65 triliun per tahunnya dibandingkan Rp56 triliun per tahunnya pada tahun 2013.
Dari aspek kondisi wilayah, Jakarta sangatlah rentan terhadap banjir dan penurunan tanah (land subsidence) terhadap permukaan air laut. Sebesar 50% wilayah Jakarta memiliki tingkat keamanan terhadap banjir di bawah 10 tahun, dimana idealnya adalah 50 tahun.
"Dari tahun 2007-2017, land subsidencenya mencapai 35-50 cm. Titik terburuk adalah di Cengkareng sebesar 69 cm dan Penjaringan (Pluit) sebesar 94 cm," tambah Rudy.
Diprediksi pula berdasarkan riset LIPI bahwa level air laut akan meningkat sebesar 25-50 cm di tahun 2050.
(ind)