Negara Biayai Iuran Jaminan Kesehatan Nasional 134 Juta Jiwa
A
A
A
JAKARTA - Rencana pemerintah menaikkan iuran program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dipastikan tidak akan membebani penduduk miskin dan tidak mampu.
Saat ini, sebanyak 96,6 juta penduduk miskin dan tidak mampu, iurannya dibayar oleh pemerintah pusat (APBN) yang di sebut Penerima Bantuan Iuran (PBI). Sementara 37,3 juta jiwa lainnya iurannya dibayarkan oleh Pemda (APBD) melalui kepesertaan penduduk yang didaftarkan oleh Pemda (yang terkadang disebut juga PBI Daerah).
“Dengan demikian, ada sekitar 134 juta jiwa yang iurannya dibayarkan oleh APBN dan APBD,” ungkap Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Nufransa Wira Sakti di Jakarta kemarin.
Nufransa mengatakan, untuk pekerja penerima upah, baik ASN Pusat/Daerah, TNI, Polri, maupun pekerja swasta, penyesuaian iuran akan ditanggung bersama oleh pekerja dan pemberi kerja. Sementara khusus untuk peserta mandiri kelas 3 hanya akan naik menjadi sebesar Rp42.000, sama dengan iuran bagi orang miskin dan tidak mampu yang iurannya di bayar oleh pemerintah.
Menurut dia, bagi peserta mandiri kelas 3 yang merasa tidak mampu dengan besaran iuran ini dan nyata-nyata tidak mampu, dapat dimasukkan ke da lam Basis Data Terpadu Kemensos sehingga berhak untuk masuk PBI yang iurannya dibayarkan oleh pemerintah.
“Kenaikan kelas 2 dan kelas 1 juga dipertimbangkan dalam batas kemampuan bayar masyarakat (ability to pay).Dalam hal ada peserta yang merasa benar-benar berat membayar, bisa saja peserta yang bersangkutan melakukan penurunan kelas, misalnya dari semula kelas 1 menjadi kelas 2 atau kelas 3; atau dari kelas 2 turun ke kelas 3,“ jelasnya.
Nufransa menuturkan, kenaikan iuran BPJS ini diiringi dengan perbaikan sistem JKN secara keseluruhan sebagaimana rekomendasi BPKP, baik terkait kepesertaan dan manajemen iuran, sistem layanan dan manajemen klaim, maupun strategic purchasing.
Rencana kenaikan iuran ini juga adalah hasil pembahasan bersama oleh unit-unit terkait, seperti Kemenko PMK, Kemenkeu, Kemenkes, dan DJSN. Bukan hanya ketetapan dari Menteri Keuangan dan nantinya akan ditetapkan de ngan Peraturan Presiden (Perpres).
Tentang kenaikan iuran, lanjut dia, perlu diperhatikan bahwa di antara penyebab utama terjadinya defisit program JKN yang sudah terjadi sejak awal pelaksanaannya adalah besaran iuran yang under priced dan adverse selection pada peserta mandiri.
“Banyak peserta mandiri yang hanya mendaftar pada saat sakit dan memerlukan layanan kesehatan yang berbiaya mahal dan setelah sembuh berhenti iuran,” tuturnya. Perlu diketahui, sejak 2014, setiap tahun program JKN selalu mengalami defisit.
Sebelum memperhitungkan intervensi pemerintah baik dalam bentuk PMN (penanaman modal negara) maupun bantuan APBN, besaran defisit JKN masing-masing Rp1,9 triliun (2014), Rp9,4 triliun (2015), Rp6,7 triliun (2016), Rp13,8 triliun (2017), dan Rp19,4 triliun (2018).
Dia mengungkapkan, dalam rangka mengatasi defisit JKN tersebut, pemerintah memberikan bantuan dalam bentuk PMN sebesar Rp5 triliun (2015) dan Rp6,8 triliun (2016) serta bantuan dalam bentuk bantuan belanja APBN sebesar Rp3,6 triliun (2017) dan Rp10,3 triliun (2018).
Tanpa dilakukan kenaikan iuran, Nufransa memastikan defisit JKN akan terus meningkat, yang diperkirakan akan mencapai Rp32 triliun pa da 2019 dan meningkat menjadi Rp44 triliun pada 2020 dan Rp56 triliun pada 2021.
“Dalam rangka menjaga keberlangsungan program JKN, maka kenaikan iuran itu memang diperlukan. Jangan sampai program JKN yang manfaatnya telah dirasakan oleh sebagian besar penduduk Indonesia terganggu keberlangsungannya,” papar Nufransa.
Sementara Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berencana menaikkan anggaran untuk kesehatan menjadi Rp132 triliun pada tahun depan. Kenaikan anggaran kesehatan ini di alokasikan untuk kelompok masyarakat miskin dan masyarakat hampir miskin.
“Dibandingkan kenaikan rata-rata sektor lain, kenaikan alokasi dana kesehatan termasuk yang tertinggi,” ujar Sri Mulyani. Menurut dia, pemerintah terus meningkatkan anggaran untuk sektor kesehatan masyarakat.
Dalam lima tahun belakangan, alokasi dana untuk sektor kesehatan terus meningkat. Sebelumnya, pada 2014, alokasi dana untuk kesehatan sebesar Rp59,7 triliun. Pada 2019 meningkat lebih 100% yaitu menjadi Rp123,1 triliun.
Agar pelayanan kesehatan tepat sasaran, maka pemerintah akan menerapkan teknologi digital dengan mendesain sistem kesehatan nasional yang menyeluruh dan berkelanjutan. Sri Mulyani menuturkan, pemerintah akan mengidentifikasi masyarakat peserta jaminan kesehatan, berupa data yang berisi nama, tempat/ tanggal lahir, tinggi dan berat badan, jenis kelamin, alamat, juga rekam medis peserta.
“Jika kita mampu mengidentifikasi sekitar 267 juta kondisi rekam medis masyarakat Indonesia, maka kita akan mampu mengidentifikasi kebutuhan, alokasi dana, premi yang tepat dari tiap individu sesuai risiko dan kebutuhannya,” kata Sri Mulyani.
Dengan demikian, lanjut dia, tujuan utama alokasi anggaran kesehatan dapat tercapai, di mana semua masyarakat Indonesia memperoleh manfaat sistem kesehatan nasional.(Oktiani Endarwati/Rina Anggraeni)
Saat ini, sebanyak 96,6 juta penduduk miskin dan tidak mampu, iurannya dibayar oleh pemerintah pusat (APBN) yang di sebut Penerima Bantuan Iuran (PBI). Sementara 37,3 juta jiwa lainnya iurannya dibayarkan oleh Pemda (APBD) melalui kepesertaan penduduk yang didaftarkan oleh Pemda (yang terkadang disebut juga PBI Daerah).
“Dengan demikian, ada sekitar 134 juta jiwa yang iurannya dibayarkan oleh APBN dan APBD,” ungkap Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Nufransa Wira Sakti di Jakarta kemarin.
Nufransa mengatakan, untuk pekerja penerima upah, baik ASN Pusat/Daerah, TNI, Polri, maupun pekerja swasta, penyesuaian iuran akan ditanggung bersama oleh pekerja dan pemberi kerja. Sementara khusus untuk peserta mandiri kelas 3 hanya akan naik menjadi sebesar Rp42.000, sama dengan iuran bagi orang miskin dan tidak mampu yang iurannya di bayar oleh pemerintah.
Menurut dia, bagi peserta mandiri kelas 3 yang merasa tidak mampu dengan besaran iuran ini dan nyata-nyata tidak mampu, dapat dimasukkan ke da lam Basis Data Terpadu Kemensos sehingga berhak untuk masuk PBI yang iurannya dibayarkan oleh pemerintah.
“Kenaikan kelas 2 dan kelas 1 juga dipertimbangkan dalam batas kemampuan bayar masyarakat (ability to pay).Dalam hal ada peserta yang merasa benar-benar berat membayar, bisa saja peserta yang bersangkutan melakukan penurunan kelas, misalnya dari semula kelas 1 menjadi kelas 2 atau kelas 3; atau dari kelas 2 turun ke kelas 3,“ jelasnya.
Nufransa menuturkan, kenaikan iuran BPJS ini diiringi dengan perbaikan sistem JKN secara keseluruhan sebagaimana rekomendasi BPKP, baik terkait kepesertaan dan manajemen iuran, sistem layanan dan manajemen klaim, maupun strategic purchasing.
Rencana kenaikan iuran ini juga adalah hasil pembahasan bersama oleh unit-unit terkait, seperti Kemenko PMK, Kemenkeu, Kemenkes, dan DJSN. Bukan hanya ketetapan dari Menteri Keuangan dan nantinya akan ditetapkan de ngan Peraturan Presiden (Perpres).
Tentang kenaikan iuran, lanjut dia, perlu diperhatikan bahwa di antara penyebab utama terjadinya defisit program JKN yang sudah terjadi sejak awal pelaksanaannya adalah besaran iuran yang under priced dan adverse selection pada peserta mandiri.
“Banyak peserta mandiri yang hanya mendaftar pada saat sakit dan memerlukan layanan kesehatan yang berbiaya mahal dan setelah sembuh berhenti iuran,” tuturnya. Perlu diketahui, sejak 2014, setiap tahun program JKN selalu mengalami defisit.
Sebelum memperhitungkan intervensi pemerintah baik dalam bentuk PMN (penanaman modal negara) maupun bantuan APBN, besaran defisit JKN masing-masing Rp1,9 triliun (2014), Rp9,4 triliun (2015), Rp6,7 triliun (2016), Rp13,8 triliun (2017), dan Rp19,4 triliun (2018).
Dia mengungkapkan, dalam rangka mengatasi defisit JKN tersebut, pemerintah memberikan bantuan dalam bentuk PMN sebesar Rp5 triliun (2015) dan Rp6,8 triliun (2016) serta bantuan dalam bentuk bantuan belanja APBN sebesar Rp3,6 triliun (2017) dan Rp10,3 triliun (2018).
Tanpa dilakukan kenaikan iuran, Nufransa memastikan defisit JKN akan terus meningkat, yang diperkirakan akan mencapai Rp32 triliun pa da 2019 dan meningkat menjadi Rp44 triliun pada 2020 dan Rp56 triliun pada 2021.
“Dalam rangka menjaga keberlangsungan program JKN, maka kenaikan iuran itu memang diperlukan. Jangan sampai program JKN yang manfaatnya telah dirasakan oleh sebagian besar penduduk Indonesia terganggu keberlangsungannya,” papar Nufransa.
Sementara Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berencana menaikkan anggaran untuk kesehatan menjadi Rp132 triliun pada tahun depan. Kenaikan anggaran kesehatan ini di alokasikan untuk kelompok masyarakat miskin dan masyarakat hampir miskin.
“Dibandingkan kenaikan rata-rata sektor lain, kenaikan alokasi dana kesehatan termasuk yang tertinggi,” ujar Sri Mulyani. Menurut dia, pemerintah terus meningkatkan anggaran untuk sektor kesehatan masyarakat.
Dalam lima tahun belakangan, alokasi dana untuk sektor kesehatan terus meningkat. Sebelumnya, pada 2014, alokasi dana untuk kesehatan sebesar Rp59,7 triliun. Pada 2019 meningkat lebih 100% yaitu menjadi Rp123,1 triliun.
Agar pelayanan kesehatan tepat sasaran, maka pemerintah akan menerapkan teknologi digital dengan mendesain sistem kesehatan nasional yang menyeluruh dan berkelanjutan. Sri Mulyani menuturkan, pemerintah akan mengidentifikasi masyarakat peserta jaminan kesehatan, berupa data yang berisi nama, tempat/ tanggal lahir, tinggi dan berat badan, jenis kelamin, alamat, juga rekam medis peserta.
“Jika kita mampu mengidentifikasi sekitar 267 juta kondisi rekam medis masyarakat Indonesia, maka kita akan mampu mengidentifikasi kebutuhan, alokasi dana, premi yang tepat dari tiap individu sesuai risiko dan kebutuhannya,” kata Sri Mulyani.
Dengan demikian, lanjut dia, tujuan utama alokasi anggaran kesehatan dapat tercapai, di mana semua masyarakat Indonesia memperoleh manfaat sistem kesehatan nasional.(Oktiani Endarwati/Rina Anggraeni)
(nfl)