Cukai Naik Picu Rokok Ilegal, Pemerintah Intensifkan Penindakan
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah menegaskan akan mengintensifkan penindakan di bidang cukai guna menekan peredaran rokok ilegal. Langkah ini menyusul kenaikan tarif cukai dan harga jual eceran rokok yang dikhawatirkan banyak pihak akan memicu peningkatan rokok ilegal.
Sebagai catatan, mulai 1 Januari 2020, pemerintah menetapkan kenaikan tarif cukai dengan rata-rata sekitar 23% dan menaikkan harga jual eceran (harga banderol) dengan rata-rata sekitar 35%.
Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan Nufransa Wira Sakti mengatakan, pada prinsipnya besaran kenaikan tarif dan harga banderol dikenakan secara berjenjang dimana tarif dan harga banderol sigaret kretek tangan lebih rendah daripada sigaret kretek mesin dan sigaret putih mesin.
"Untuk mengamankan kebijakan tersebut agar efektif di lapangan, pemerintah tetap dan terus berkomitmen untuk melakukan pengawasan dan penindakan atas pelanggaran di bidang cukai," ujarnya dalam keterangan resmi di Jakarta, Sabtu (14/9/2019).
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh lembaga independen (UGM), dalam tiga tahun terakhir Bea dan Cukai berhasil menekan peredaran rokok ilegal dari 12,1% menjadi 7% di tahun 2018, dan di tahun 2019 diperkirakan akan berhasil ditekan menjadi 3%.
Dengan adanya kebijakan kenaikan cukai ini, kata Nufransa, dimungkinkan akan berpotensi meningkatkan peredaran rokok ilegal. "Oleh sebab itu perlu penguatan sinergi dengan TNI, Polri, PPATK, dan aparat penegak hukum lainnya dalam mencegah tumbuhnya kembali peredaran rokok ilegal," tegasnya.
Dia menambahkan, penindakan di bidang cukai yang lebih intensif ini, selain diharapkan mampu menekan jumlah peredaran rokok ilegal di masyarakat juga dapat memberikan kepastian berusaha industri hasil tembakau. Selain itu, masyarakat juga terhindar dari mengonsumsi barang kena cukai ilegal, dan mencegah potensi kebocoran penerimaan negara dari peredaran rokok ilegal.
Menyoal kenaikan tarif cukai, pemerintah menyadari sektor cukai rokok banyak keterkaitannya dengan sektor lainnya yaitu industri, tenaga kerja, dan petani baik petani tembakau maupun cengkeh. Oleh karenanya, pemerintah perlu mempertimbangkan semua sektor tersebut dalam mengambil kebijakan cukai hasil tembakau.
Menurut Nufransa, kebijakan kenaikan tarif cukai dan harga banderol tersebut telah mempertimbangkan beberapa hal, antara lain jenis hasil tembakau (buatan mesin dan tangan), golongan pabrikan rokok (besar, menengah, dan kecil), jenis industri (padat modal dan padat karya), asal bahan baku (lokal dan impor).
Sebagaimana diketahui fungsi dari pungutan cukai hasil tembakau diantaranya untuk pengendalian konsumsi rokok (legal maupun ilegal). Secara global saat ini terjadi prevalensi perokok dari 32,8% menjadi 33,8%. Perokok usia anak dan remaja juga mengalami peningkatan dari 7,2% menjadi 9,1%, demikian halnya untuk perokok perempuan dari 1,3% menjadi 4,8%.
Fungsi lain dari pungutan cukai adalah menjamin keberlangsungan industri dengan menjaga keseimbangan antara industri padat modal dan padat karya, serta untuk mengoptimalkan penerimaan negara.
Sebagai catatan, mulai 1 Januari 2020, pemerintah menetapkan kenaikan tarif cukai dengan rata-rata sekitar 23% dan menaikkan harga jual eceran (harga banderol) dengan rata-rata sekitar 35%.
Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan Nufransa Wira Sakti mengatakan, pada prinsipnya besaran kenaikan tarif dan harga banderol dikenakan secara berjenjang dimana tarif dan harga banderol sigaret kretek tangan lebih rendah daripada sigaret kretek mesin dan sigaret putih mesin.
"Untuk mengamankan kebijakan tersebut agar efektif di lapangan, pemerintah tetap dan terus berkomitmen untuk melakukan pengawasan dan penindakan atas pelanggaran di bidang cukai," ujarnya dalam keterangan resmi di Jakarta, Sabtu (14/9/2019).
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh lembaga independen (UGM), dalam tiga tahun terakhir Bea dan Cukai berhasil menekan peredaran rokok ilegal dari 12,1% menjadi 7% di tahun 2018, dan di tahun 2019 diperkirakan akan berhasil ditekan menjadi 3%.
Dengan adanya kebijakan kenaikan cukai ini, kata Nufransa, dimungkinkan akan berpotensi meningkatkan peredaran rokok ilegal. "Oleh sebab itu perlu penguatan sinergi dengan TNI, Polri, PPATK, dan aparat penegak hukum lainnya dalam mencegah tumbuhnya kembali peredaran rokok ilegal," tegasnya.
Dia menambahkan, penindakan di bidang cukai yang lebih intensif ini, selain diharapkan mampu menekan jumlah peredaran rokok ilegal di masyarakat juga dapat memberikan kepastian berusaha industri hasil tembakau. Selain itu, masyarakat juga terhindar dari mengonsumsi barang kena cukai ilegal, dan mencegah potensi kebocoran penerimaan negara dari peredaran rokok ilegal.
Menyoal kenaikan tarif cukai, pemerintah menyadari sektor cukai rokok banyak keterkaitannya dengan sektor lainnya yaitu industri, tenaga kerja, dan petani baik petani tembakau maupun cengkeh. Oleh karenanya, pemerintah perlu mempertimbangkan semua sektor tersebut dalam mengambil kebijakan cukai hasil tembakau.
Menurut Nufransa, kebijakan kenaikan tarif cukai dan harga banderol tersebut telah mempertimbangkan beberapa hal, antara lain jenis hasil tembakau (buatan mesin dan tangan), golongan pabrikan rokok (besar, menengah, dan kecil), jenis industri (padat modal dan padat karya), asal bahan baku (lokal dan impor).
Sebagaimana diketahui fungsi dari pungutan cukai hasil tembakau diantaranya untuk pengendalian konsumsi rokok (legal maupun ilegal). Secara global saat ini terjadi prevalensi perokok dari 32,8% menjadi 33,8%. Perokok usia anak dan remaja juga mengalami peningkatan dari 7,2% menjadi 9,1%, demikian halnya untuk perokok perempuan dari 1,3% menjadi 4,8%.
Fungsi lain dari pungutan cukai adalah menjamin keberlangsungan industri dengan menjaga keseimbangan antara industri padat modal dan padat karya, serta untuk mengoptimalkan penerimaan negara.
(ind)