Kenaikan Iuran JKN Harus Disertai dengan Perbaikan Layanan
A
A
A
JAKARTA - Pengamat kebijakan publik menilai kebijakan pemerintah dalam penyesuaian tarif iuran program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) sudah sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 82 tahun 2018. Dimana iuran JKN-KIS harus disesuaikan setiap dua tahun sekali.
Direktur Eksekutif Center of Social Security Studies (CSSS) Agung Prihatna mengatakan, persoalan defisit yang membesar pada BPJS Kesehatan akan mengganggu pelayanan kesehatan masyarakat. Maka kondisi ini butuh solusi agar pelayanan dapat jadi lebih baik. Sementara sejak tahun 2014 dilakukan program JKN-KIS, besaran iuran belum sesuai dengan penghitungan aktuaria.
"Jika iuran masih di bawah perhitungan aktuaria tentu defisit akan tetap terjadi. Kalau kita ikut aturan yang ada, maka kenaikan iuran sudah sesuai Perpres 82/2018, besaran iuran bisa disesuaikan setiap dua tahun," kata Agung di Jakarta, Selasa (17/9/2019).
Dia menjelaskan, penyesuaian iuran itu sudah sebanding dengan pelayanan kesehatan yang diterima ketika ada peserta yang sakit. Di sisi lain, masyarakat miskin dan tidak mampu iurannya sudah ditanggung oleh Pemerintah baik melalui APBN maupun APBD. Namun dia juga mengingatkan dengan adanya penyesuaian iuran, harus disertai komitmen antara BPJS Kesehatan dan penyedia layanan.
"Kedua pihak itu harus memperbaiki sarana dan prasarana, khususnya menambah Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP), serta tidak boleh ada lagi diskriminasi dan penolakan pasien di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL)," tegasnya.
Sebelumnya Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kementerian Kesehatan Kalsum Komaryani juga menjelaskan JKN saat ini merupakan program asuransi terbesar di dunia dengan peserta per 1 Agustus 2019 mencapai 223,3 juta jiwa atau masih 84% yang dilindungi. Data per Agustus juga menunjukkan terdapat Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) mencapai 23.075 unit yang bekerja sama.
Sementara untuk Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) mencapai 2.508 unit. Jumlah pemanfaatan program JKN sejak awal tahun ini hingga Juli 2019 sudah mencapai 239,6 juta kunjungan, atau lebih besar dari jumlah total kunjungan sepanjang tahun 2018 mencapai 233,75 juta kunjungan.
"Di tahun ini juga terdapat 189,4 juta kunjungan ke FTKP, melonjak dibandingkan 148,4 juta kunjungan sepanjang tahun 2018," ujar Kalsum beberapa waktu lalu di Jakarta.
Dia menyebutkan kasus katastrofi yang berbiaya besar seperti kanker, gagal ginjal dan cuci darah, ataupun sakit jantung. Sakit berat tersebut terus menghasilkan jumlah kunjungan dan biaya yang meningkat. Sehingga meskipun di satu sisi masyarakat sudah terlayani tapi juga harus prihatin masyarakat sakitnya banyak yang berat. "Sehingga harus digalakkan strategi pencegahan dengan promotif," tambahnya.
Biaya untuk sakit katastrofi disebutnya menyedot biaya yang besar. Dari 100% biaya pelayanan BPJS Kesehatan, setidaknya 84% disedot untuk pelayanan primer di RS dan sisanya di puskesmas, klinik swasta, dan lainnya. Lalu dari angka 84% tersebut sebesar 26% digunakan untuk penyakit katastrofi. Masyarakat yang sakit berat cukup membayar uang iuran BPJS Kesehatan sekitar Rp80 ribu dan mendapatkan pengobatan harga jutaan.
"Namun ini yang akan diatur pemerintah untuk menyesuaikan besaran iuran. Karena sudah tidak seimbang lagi antara pemasukan dan pengeluaran BPJS kesehatan," ujarnya.
Direktur Eksekutif Center of Social Security Studies (CSSS) Agung Prihatna mengatakan, persoalan defisit yang membesar pada BPJS Kesehatan akan mengganggu pelayanan kesehatan masyarakat. Maka kondisi ini butuh solusi agar pelayanan dapat jadi lebih baik. Sementara sejak tahun 2014 dilakukan program JKN-KIS, besaran iuran belum sesuai dengan penghitungan aktuaria.
"Jika iuran masih di bawah perhitungan aktuaria tentu defisit akan tetap terjadi. Kalau kita ikut aturan yang ada, maka kenaikan iuran sudah sesuai Perpres 82/2018, besaran iuran bisa disesuaikan setiap dua tahun," kata Agung di Jakarta, Selasa (17/9/2019).
Dia menjelaskan, penyesuaian iuran itu sudah sebanding dengan pelayanan kesehatan yang diterima ketika ada peserta yang sakit. Di sisi lain, masyarakat miskin dan tidak mampu iurannya sudah ditanggung oleh Pemerintah baik melalui APBN maupun APBD. Namun dia juga mengingatkan dengan adanya penyesuaian iuran, harus disertai komitmen antara BPJS Kesehatan dan penyedia layanan.
"Kedua pihak itu harus memperbaiki sarana dan prasarana, khususnya menambah Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP), serta tidak boleh ada lagi diskriminasi dan penolakan pasien di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL)," tegasnya.
Sebelumnya Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kementerian Kesehatan Kalsum Komaryani juga menjelaskan JKN saat ini merupakan program asuransi terbesar di dunia dengan peserta per 1 Agustus 2019 mencapai 223,3 juta jiwa atau masih 84% yang dilindungi. Data per Agustus juga menunjukkan terdapat Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) mencapai 23.075 unit yang bekerja sama.
Sementara untuk Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) mencapai 2.508 unit. Jumlah pemanfaatan program JKN sejak awal tahun ini hingga Juli 2019 sudah mencapai 239,6 juta kunjungan, atau lebih besar dari jumlah total kunjungan sepanjang tahun 2018 mencapai 233,75 juta kunjungan.
"Di tahun ini juga terdapat 189,4 juta kunjungan ke FTKP, melonjak dibandingkan 148,4 juta kunjungan sepanjang tahun 2018," ujar Kalsum beberapa waktu lalu di Jakarta.
Dia menyebutkan kasus katastrofi yang berbiaya besar seperti kanker, gagal ginjal dan cuci darah, ataupun sakit jantung. Sakit berat tersebut terus menghasilkan jumlah kunjungan dan biaya yang meningkat. Sehingga meskipun di satu sisi masyarakat sudah terlayani tapi juga harus prihatin masyarakat sakitnya banyak yang berat. "Sehingga harus digalakkan strategi pencegahan dengan promotif," tambahnya.
Biaya untuk sakit katastrofi disebutnya menyedot biaya yang besar. Dari 100% biaya pelayanan BPJS Kesehatan, setidaknya 84% disedot untuk pelayanan primer di RS dan sisanya di puskesmas, klinik swasta, dan lainnya. Lalu dari angka 84% tersebut sebesar 26% digunakan untuk penyakit katastrofi. Masyarakat yang sakit berat cukup membayar uang iuran BPJS Kesehatan sekitar Rp80 ribu dan mendapatkan pengobatan harga jutaan.
"Namun ini yang akan diatur pemerintah untuk menyesuaikan besaran iuran. Karena sudah tidak seimbang lagi antara pemasukan dan pengeluaran BPJS kesehatan," ujarnya.
(fjo)