Bank Indonesia Jaga Ketahanan Ekonomi Nasional
A
A
A
SURAKARTA - Bank Indonesia (BI) berkomitmen untuk terus memperkuat bauran kebijakan guna memperkukuh ketahanan ekonomi nasional. Hal ini diperlukan dalam menghadapi berbagai risiko yang timbul akibat dampak ekonomi global yang hingga saat ini belum kondusif.
“Bauran kebijakan Bank Indonesia tersebut tentunya mendukung kebijakan ekonomi nasional, termasuk dalam rangka perbaikan struktur perekonomian dan defisit transaksi berjalan,” ungkap Kepala Grup Sektoral dan Regional Departemen Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia Endy Dwi Tjahjono saat menjadi pembicara kunci dalam Diseminasi Laporan Nusantara “Mendorong Perbaikan Iklim Usaha untuk Mendukung Perbaikan Transaksi Berjalan & Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan, di Surakarta, Jumat (20/9).
Selain Endy, acara ini juga dihadiri oleh Staf Khusus Kepresidenan Bidang Ekonomi Prof Ahmad Erani Yustika serta Edwin Zulkarnain dari Direktorat Perencanaan Industri Agrobisnis dan Sumber Daya Alam lainnya, Kedeputian Bidang Perencanaan Penanaman Modal, BKPM. Acara ini mengundang puluhan pengusaha di seputaran Surakarta dan sekitarnya.
Lebih jauh Endy mengatakan, untuk memperkuat ketahanan ekonomi nasional tersebut diperlukan koordinasi lintas lembaga yang kuat, baik dengan pemangku kepentingan di tingkat pusat maupun di daerah.
“Sinergi kebijakan BI, pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan, serta berbagai otoritas lainnya diharapkan dapat menjaga stabilitas makroekonomi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang kuat dan berkelanjutan,” jelasnya.
Menurut Endy, sejumlah daerah menunjukkan tren pergerakan ekonomi yang bagus, bahkan membaiknya ekonomi beberapa daerah tersebut telah menjadi salah satu penopang pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,05% di tengah berbagai tekanan ekonomi global yang tidak menentu.
“Terjaganya pertumbuhan ekonomi nasional didukung oleh perbaikan pertumbuhan di sebagian besar wilayah. Wilayah Sumatera, Kalimantan, dan Balinusra tumbuh meningkat pada kuartal II/2019,” ungkap Endy.
Lebih jauh, Endy menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi Jawa, yang pangsanya men capai 59% perekonomian nasional, tumbuh relatif stabil dibandingkan triwulan sebelumnya. Sebagai catatan, wilayah Sumatera ekonominya tumbuh 4,62% atau naik 22% dari kuartal sebelumnya. Kalimantan juga tumbuh 5,60% atau meningkat 8% dari kuartal sebelumnya.
Adapun untuk kawasan Bali dan Nusa Tenggara, ekonomi menumbuh 5,05% dan ini meningkat 3% dari kuartal sebelumnya. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Sulawesi, Maluku, dan Papua melambat. Hal ini disebabkan kontraksi perekonomian Papua dan Papua Barat yang terkendala kinerja lapangan usaha pertambangan di kedua provinsi tersebut.
Selain itu, lanjut Endy, perkembangan inflasi daerah yang terjaga dengan baik turut mewarnai perekonomian nasional. Hal ini berkat dukungan koordinasi aktif Tim Pengendalian Inflasi Daerah, tingkat inflasi di hampir seluruh provinsi sejalan dengan penca paian sasaran inflasi nasional.
“Beberapa provinsi memang perlu mendapatkan perhatian, yakni Sumatera Utara, Maluku, dan Sulawesi Tengah, yang tercatat mengalami tekanan inflasi cukup tinggi dari komoditas pangan seperti aneka cabai dan ikan segar,” jelasnya.
Menurut Endy, BI mem perkirakan ke depan prospek pertumbuhan ekonomi domestik akan tetap kuat. Pertumbuhan ekonomi pada 2019 diperki rakan berada pada kisaran 5,0- 5,4% (yoy), dengan tingkat inflasi yang tetap rendah dan stabil di kisaran 3,5+1%.
Defisit transaksi berjalan terjaga dalam tingkat yang sehat, disertai dukungan pertumbuhan kredit dan DPK yang sejalan dengan kuatnya prospek pertumbuhan ekonomi domestik.
Endy mengungkapkan, meskipun prospek perekonomian nasional masih cukup baik, terdapat beberapa risiko yang tetap perlu diwaspadai, antara lain pertumbuhan ekonomi global yang melambat, ketegangan hubungan dagang, risiko geo politik di beberapa negara, volume per dagangan dunia yang melambat, dan harga komoditas ekspor yang turun.
“Risiko dari dalam negeri terutama muncul dari neraca transaksi berjalan yang masih defisit. Hal tersebut perlu segera kita benahi dengan berbagai upaya untuk memperkuat sektor riil domestik,” paparnya.
Lebih lanjut, dia menuturkan bahwa Indonesia perlu belajar dari kondisi transaksi berjalan beberapa negara di ASEAN, yakni Malaysia, Thailand, dan Vietnam, yang telah mencatatkan surplus pada 2018. Dari sisi neraca barang, ketiga negara tersebut mengandalkan ekspor manufaktur sebagai penopang surplus pada neraca tersebut.
Dari sisi neraca jasa, hanya Thailand yang memiliki surplus besar, khususnya didorong oleh ekspor jasa pariwisata yang kuat. “Berkaca pada ketiga negara tersebut maka penguatan ekspor manufaktur serta jasa pariwisata dapat menjadi fokus dalam upaya untuk memperbaiki neraca transaksi berjalan nasional,” ungkapnya.
Endy menyarankan untuk memperkuat industri manufaktur dan pariwisata adalah meningkatkan investasi berorientasi ekspor. Peningkatan investasi dibutuhkan untuk menjaga pertumbuhan ekonomi nasional tetap kuat di tengah berbagai tekanan global yang menekan kinerja ekspor.
Untuk itu, lanjut dia, dibutuhkan perbaikan iklim usaha untuk menjaga daya tarik Indonesia sebagai lokasi investasi, baik oleh investor domestik maupun luar negeri. Di tempat yang sama, Staf Khusus Kepresidenan Bidang Ekonomi Ahmad Erani Yustika juga menyoroti iklim investasi di Indonesia yang masih belum ideal.
Menurut dia, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, diperlukan pembenahan iklim investasi yang serius. Salah satunya dengan cara menyederhanakan izin investasi yang masih panjang dan banyaknya aturan yang tumpang tindih. Ahmad Erani mengungkapkan, pada laporan Nusantara edisi Agustus 2019 ini, Bank Indonesia memberikan pernyataan perlunya reformasi struktural untuk mendorong sektor industri pengolahan di daerah. Salah satu ganjalan tidak berkembangnya sektor industri di daerah diakibatkan investasi yang tidak mengucur ke daerah, khususnya di luar Jawa.
“Jika merujuk pada indikator Ease of Doing Business, setidaknya terdapat tiga indikator yang perlu diperbaiki agar iklim investasi di daerah menjadi lebih baik, yakni starting business, dealing with construction permit, dan registering property. Rekomendasi pada isu ini diharapkan membantu pemerintah untuk mengidentifikasi bottleneck pada ketiga indikator ini,” jelasnya.
Menurut dia, banyak investor yang mundur ketika melihat panjang dan rumitnya per izinan di Indonesia. Senada, Edwin Zulkarnain dari BKPM juga sependapat dengan masih banyaknya hambatan investasi yang ada. Menurut dia, setidaknya ada lima hal yang menjadi hambatan para investor. Salah satunya adalah regulasi yang tidak pasti.
“Ini yang masih dirasakan oleh investor, adanya tumpang tindih kebijakan-kebijakan baik di pusat maupun di daerah,” kata Edwin.
Kemudian, soal penarikan pajak yang rumit. Selanjutnya, insentif fiskal yang relatif tidak menarik. Kemudian, soal pembebasan lahan yang sulit dan spekulasi harga tanah yang tidak jelas. Fenomena ini sifatnya nasional. Karena itu, perlu perhatian pejabat-pejabat di daerah tersebut terkait sulitnya pembebasan lahan. Faktor lainnya adalah jumlah tenaga teram pil di Indonesia yang terbatas.
“Sulitnya perizinan tenaga asing, dwelling time yang lambat di pelabuhan, serta infrastruktur yang terbatas. Inilah tantangan kita bersama untuk mengurangi hambatan di sektor investasi,” jelasnya.
Pemerintah sendiri sudah melakukan banyak hal untuk perbaikan iklim investasi tersebut. Misalnya selama empat tahun terakhir, posisi Indonesia di peringkat Indonesia dalam Ease of Doing Business telah naik 41. Tahun 2015, posisi Indonesia di nomor 120, kini tahun 2019 menjadi 73.
“Selama empat tahun terakhir Indonesia telah naik hingga 41 posisi. Artinya, Indonesia telah menjadi negara tujuan yang jauh lebih mudah dan kondusif untuk membangun dan mengembangkan usaha,” papar Edwin. (Dwi Sasongko)
“Bauran kebijakan Bank Indonesia tersebut tentunya mendukung kebijakan ekonomi nasional, termasuk dalam rangka perbaikan struktur perekonomian dan defisit transaksi berjalan,” ungkap Kepala Grup Sektoral dan Regional Departemen Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia Endy Dwi Tjahjono saat menjadi pembicara kunci dalam Diseminasi Laporan Nusantara “Mendorong Perbaikan Iklim Usaha untuk Mendukung Perbaikan Transaksi Berjalan & Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan, di Surakarta, Jumat (20/9).
Selain Endy, acara ini juga dihadiri oleh Staf Khusus Kepresidenan Bidang Ekonomi Prof Ahmad Erani Yustika serta Edwin Zulkarnain dari Direktorat Perencanaan Industri Agrobisnis dan Sumber Daya Alam lainnya, Kedeputian Bidang Perencanaan Penanaman Modal, BKPM. Acara ini mengundang puluhan pengusaha di seputaran Surakarta dan sekitarnya.
Lebih jauh Endy mengatakan, untuk memperkuat ketahanan ekonomi nasional tersebut diperlukan koordinasi lintas lembaga yang kuat, baik dengan pemangku kepentingan di tingkat pusat maupun di daerah.
“Sinergi kebijakan BI, pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan, serta berbagai otoritas lainnya diharapkan dapat menjaga stabilitas makroekonomi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang kuat dan berkelanjutan,” jelasnya.
Menurut Endy, sejumlah daerah menunjukkan tren pergerakan ekonomi yang bagus, bahkan membaiknya ekonomi beberapa daerah tersebut telah menjadi salah satu penopang pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,05% di tengah berbagai tekanan ekonomi global yang tidak menentu.
“Terjaganya pertumbuhan ekonomi nasional didukung oleh perbaikan pertumbuhan di sebagian besar wilayah. Wilayah Sumatera, Kalimantan, dan Balinusra tumbuh meningkat pada kuartal II/2019,” ungkap Endy.
Lebih jauh, Endy menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi Jawa, yang pangsanya men capai 59% perekonomian nasional, tumbuh relatif stabil dibandingkan triwulan sebelumnya. Sebagai catatan, wilayah Sumatera ekonominya tumbuh 4,62% atau naik 22% dari kuartal sebelumnya. Kalimantan juga tumbuh 5,60% atau meningkat 8% dari kuartal sebelumnya.
Adapun untuk kawasan Bali dan Nusa Tenggara, ekonomi menumbuh 5,05% dan ini meningkat 3% dari kuartal sebelumnya. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Sulawesi, Maluku, dan Papua melambat. Hal ini disebabkan kontraksi perekonomian Papua dan Papua Barat yang terkendala kinerja lapangan usaha pertambangan di kedua provinsi tersebut.
Selain itu, lanjut Endy, perkembangan inflasi daerah yang terjaga dengan baik turut mewarnai perekonomian nasional. Hal ini berkat dukungan koordinasi aktif Tim Pengendalian Inflasi Daerah, tingkat inflasi di hampir seluruh provinsi sejalan dengan penca paian sasaran inflasi nasional.
“Beberapa provinsi memang perlu mendapatkan perhatian, yakni Sumatera Utara, Maluku, dan Sulawesi Tengah, yang tercatat mengalami tekanan inflasi cukup tinggi dari komoditas pangan seperti aneka cabai dan ikan segar,” jelasnya.
Menurut Endy, BI mem perkirakan ke depan prospek pertumbuhan ekonomi domestik akan tetap kuat. Pertumbuhan ekonomi pada 2019 diperki rakan berada pada kisaran 5,0- 5,4% (yoy), dengan tingkat inflasi yang tetap rendah dan stabil di kisaran 3,5+1%.
Defisit transaksi berjalan terjaga dalam tingkat yang sehat, disertai dukungan pertumbuhan kredit dan DPK yang sejalan dengan kuatnya prospek pertumbuhan ekonomi domestik.
Endy mengungkapkan, meskipun prospek perekonomian nasional masih cukup baik, terdapat beberapa risiko yang tetap perlu diwaspadai, antara lain pertumbuhan ekonomi global yang melambat, ketegangan hubungan dagang, risiko geo politik di beberapa negara, volume per dagangan dunia yang melambat, dan harga komoditas ekspor yang turun.
“Risiko dari dalam negeri terutama muncul dari neraca transaksi berjalan yang masih defisit. Hal tersebut perlu segera kita benahi dengan berbagai upaya untuk memperkuat sektor riil domestik,” paparnya.
Lebih lanjut, dia menuturkan bahwa Indonesia perlu belajar dari kondisi transaksi berjalan beberapa negara di ASEAN, yakni Malaysia, Thailand, dan Vietnam, yang telah mencatatkan surplus pada 2018. Dari sisi neraca barang, ketiga negara tersebut mengandalkan ekspor manufaktur sebagai penopang surplus pada neraca tersebut.
Dari sisi neraca jasa, hanya Thailand yang memiliki surplus besar, khususnya didorong oleh ekspor jasa pariwisata yang kuat. “Berkaca pada ketiga negara tersebut maka penguatan ekspor manufaktur serta jasa pariwisata dapat menjadi fokus dalam upaya untuk memperbaiki neraca transaksi berjalan nasional,” ungkapnya.
Endy menyarankan untuk memperkuat industri manufaktur dan pariwisata adalah meningkatkan investasi berorientasi ekspor. Peningkatan investasi dibutuhkan untuk menjaga pertumbuhan ekonomi nasional tetap kuat di tengah berbagai tekanan global yang menekan kinerja ekspor.
Untuk itu, lanjut dia, dibutuhkan perbaikan iklim usaha untuk menjaga daya tarik Indonesia sebagai lokasi investasi, baik oleh investor domestik maupun luar negeri. Di tempat yang sama, Staf Khusus Kepresidenan Bidang Ekonomi Ahmad Erani Yustika juga menyoroti iklim investasi di Indonesia yang masih belum ideal.
Menurut dia, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, diperlukan pembenahan iklim investasi yang serius. Salah satunya dengan cara menyederhanakan izin investasi yang masih panjang dan banyaknya aturan yang tumpang tindih. Ahmad Erani mengungkapkan, pada laporan Nusantara edisi Agustus 2019 ini, Bank Indonesia memberikan pernyataan perlunya reformasi struktural untuk mendorong sektor industri pengolahan di daerah. Salah satu ganjalan tidak berkembangnya sektor industri di daerah diakibatkan investasi yang tidak mengucur ke daerah, khususnya di luar Jawa.
“Jika merujuk pada indikator Ease of Doing Business, setidaknya terdapat tiga indikator yang perlu diperbaiki agar iklim investasi di daerah menjadi lebih baik, yakni starting business, dealing with construction permit, dan registering property. Rekomendasi pada isu ini diharapkan membantu pemerintah untuk mengidentifikasi bottleneck pada ketiga indikator ini,” jelasnya.
Menurut dia, banyak investor yang mundur ketika melihat panjang dan rumitnya per izinan di Indonesia. Senada, Edwin Zulkarnain dari BKPM juga sependapat dengan masih banyaknya hambatan investasi yang ada. Menurut dia, setidaknya ada lima hal yang menjadi hambatan para investor. Salah satunya adalah regulasi yang tidak pasti.
“Ini yang masih dirasakan oleh investor, adanya tumpang tindih kebijakan-kebijakan baik di pusat maupun di daerah,” kata Edwin.
Kemudian, soal penarikan pajak yang rumit. Selanjutnya, insentif fiskal yang relatif tidak menarik. Kemudian, soal pembebasan lahan yang sulit dan spekulasi harga tanah yang tidak jelas. Fenomena ini sifatnya nasional. Karena itu, perlu perhatian pejabat-pejabat di daerah tersebut terkait sulitnya pembebasan lahan. Faktor lainnya adalah jumlah tenaga teram pil di Indonesia yang terbatas.
“Sulitnya perizinan tenaga asing, dwelling time yang lambat di pelabuhan, serta infrastruktur yang terbatas. Inilah tantangan kita bersama untuk mengurangi hambatan di sektor investasi,” jelasnya.
Pemerintah sendiri sudah melakukan banyak hal untuk perbaikan iklim investasi tersebut. Misalnya selama empat tahun terakhir, posisi Indonesia di peringkat Indonesia dalam Ease of Doing Business telah naik 41. Tahun 2015, posisi Indonesia di nomor 120, kini tahun 2019 menjadi 73.
“Selama empat tahun terakhir Indonesia telah naik hingga 41 posisi. Artinya, Indonesia telah menjadi negara tujuan yang jauh lebih mudah dan kondusif untuk membangun dan mengembangkan usaha,” papar Edwin. (Dwi Sasongko)
(nfl)