Bank Dunia: Kerugian Akibat Kemacetan Capai Rp56 Triliun Per Tahun
A
A
A
JAKARTA - Bank Dunia dalam laporan terbaru bertajuk "Waktunya ACT: Mewujudkan Potensi Perkotaan Indonesia" , menyoroti pesatnya urbanisasi di kota-kota di Indonesia yang dinilai belum mampu mendorong peningkatan kesejahteraan, inklusivitas dan kelayakan huni secara berkelanjutan. Salah satunya terkait kemacetan lalu lintas yang dinilai merusak kelayakan hidup dan produktivitas area metro di Indonesia.
Contohnya Ibukota Jakarta yang secara konsisten menjadi 10 kota dengan lalu lintas terpadat di dunia. Dalam Indeks Kemacetan Lalu Lintas versi TomTom, Jakarta adalah kota ketiga termacet dari 18 kota besar di seluruh dunia, dengan perkiraan tambahan waktu 58% untuk setiap perjalanan, dimanapun di dalam kota dan kapan pun waktunya.
Dengan kemacetan ini, Bank Dunia memperkirakan kerugian akibat kemacetan di kota Jakarta saja mencapai USD2,6 miliar atau sekira Rp36 triliun (asumsi kurs Rp14.000 per dolar AS) per tahun. Jika ditambah 27 kota metropolitan lainnya, total kerugian akibat kemacetan ditaksir mencapai USD4 miliar atau sekitar Rp56 triliun per tahun.
"Jumlah ini setara hingga 0,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB) nasional," kata Bank Dunia. Kerugian tersebut diantaranya dikarenakan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) yang lebih boros akibat macet.
Bank Dunia juga mengutip data Inrix Global Traffic Scorecard yang menyebut bahwa kota-kota di Indonesia termasuk yang paling padat di dunia. Bahkan, di kota-kota seperti Padang dan Yogyakarta, para pengemudi menghabiskan sekitar seperempat waktu mengemudi mereka terjebak dalam kemacetan.
Kemacetan tentunya dapat memicu masalah lain seperti polusi yang membahayakan kesehatan. Di Jakarta, kata Bank Dunia, diperkirakan 60% penduduk pernah mengalami penyakit yang dipicu udara yang tercemar.
"Dalam survey persepsi yang disertakan untuk laporan ini, 70% dari penduduk kota yang disurvei menyebut pengurangan polusi sebagai masalah lingkungan perkotaan yang paling penting untuk diperhatikan," ungkap Bank Dunia.
Guna mengatasi masalah kemacetan di perkotaan, tentunya diperlukan investasi dan kebijakan untuk transportasi umum perkotaan yang lebih baik dan manajemen lalu lintas yang lebih baik dalam kerangka kerja perencanaan perkotaan serta tata ruang yang lebih efektif.
"Guna menghubungkan kawasan perkotaan satu sama lain, dengan kawasan pedesaan di sekitarnya, juga dengan pasar internasional secara memadai, hal terkait peraturan perundang-undangan jasa transportasi pun perlu diperhatikan," kata Bank Dunia.
Untuk meningkatkan kapasitas lokal untuk merencanakan, mengoperasikan, dan memelihara sistem transportasi perkotaan, ada tiga hal yang ditekankan dalam laporan tersebut.
Pertama, memperkuat otoritas pengatur dan manajemen transit sehingga mereka bisa lebih baik mengoordinasikan layanan transportasi umum di seluruh batas administrasi.
Kedua, memperkenalkan langkah-langkah untuk meningkatkan operasi, termasuk perutean dan penjadwalan yang dioptimalkan, serta kebijakan yang memprioritaskan alokasi ruang untuk transportasi umum.
Ketiga, menerapkan peningkatan teknologi yang secara signifikan dapat meningkatkan kualitas layanan, seperti sistem smart ticketing, sistem manajemen armada, dan sistem informasi pengguna.
Menurut Bank Dunia, saat ini sekitar 151 juta atau 56% penduduk Indonesia hidup di daerah perkotaan. Bank Dunia memproyeksikan pada tahun 2045 atau HUT RI ke-100, sekitar 220 juta orang atau lebih dari 70% populasi penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan.
Contohnya Ibukota Jakarta yang secara konsisten menjadi 10 kota dengan lalu lintas terpadat di dunia. Dalam Indeks Kemacetan Lalu Lintas versi TomTom, Jakarta adalah kota ketiga termacet dari 18 kota besar di seluruh dunia, dengan perkiraan tambahan waktu 58% untuk setiap perjalanan, dimanapun di dalam kota dan kapan pun waktunya.
Dengan kemacetan ini, Bank Dunia memperkirakan kerugian akibat kemacetan di kota Jakarta saja mencapai USD2,6 miliar atau sekira Rp36 triliun (asumsi kurs Rp14.000 per dolar AS) per tahun. Jika ditambah 27 kota metropolitan lainnya, total kerugian akibat kemacetan ditaksir mencapai USD4 miliar atau sekitar Rp56 triliun per tahun.
"Jumlah ini setara hingga 0,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB) nasional," kata Bank Dunia. Kerugian tersebut diantaranya dikarenakan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) yang lebih boros akibat macet.
Bank Dunia juga mengutip data Inrix Global Traffic Scorecard yang menyebut bahwa kota-kota di Indonesia termasuk yang paling padat di dunia. Bahkan, di kota-kota seperti Padang dan Yogyakarta, para pengemudi menghabiskan sekitar seperempat waktu mengemudi mereka terjebak dalam kemacetan.
Kemacetan tentunya dapat memicu masalah lain seperti polusi yang membahayakan kesehatan. Di Jakarta, kata Bank Dunia, diperkirakan 60% penduduk pernah mengalami penyakit yang dipicu udara yang tercemar.
"Dalam survey persepsi yang disertakan untuk laporan ini, 70% dari penduduk kota yang disurvei menyebut pengurangan polusi sebagai masalah lingkungan perkotaan yang paling penting untuk diperhatikan," ungkap Bank Dunia.
Guna mengatasi masalah kemacetan di perkotaan, tentunya diperlukan investasi dan kebijakan untuk transportasi umum perkotaan yang lebih baik dan manajemen lalu lintas yang lebih baik dalam kerangka kerja perencanaan perkotaan serta tata ruang yang lebih efektif.
"Guna menghubungkan kawasan perkotaan satu sama lain, dengan kawasan pedesaan di sekitarnya, juga dengan pasar internasional secara memadai, hal terkait peraturan perundang-undangan jasa transportasi pun perlu diperhatikan," kata Bank Dunia.
Untuk meningkatkan kapasitas lokal untuk merencanakan, mengoperasikan, dan memelihara sistem transportasi perkotaan, ada tiga hal yang ditekankan dalam laporan tersebut.
Pertama, memperkuat otoritas pengatur dan manajemen transit sehingga mereka bisa lebih baik mengoordinasikan layanan transportasi umum di seluruh batas administrasi.
Kedua, memperkenalkan langkah-langkah untuk meningkatkan operasi, termasuk perutean dan penjadwalan yang dioptimalkan, serta kebijakan yang memprioritaskan alokasi ruang untuk transportasi umum.
Ketiga, menerapkan peningkatan teknologi yang secara signifikan dapat meningkatkan kualitas layanan, seperti sistem smart ticketing, sistem manajemen armada, dan sistem informasi pengguna.
Menurut Bank Dunia, saat ini sekitar 151 juta atau 56% penduduk Indonesia hidup di daerah perkotaan. Bank Dunia memproyeksikan pada tahun 2045 atau HUT RI ke-100, sekitar 220 juta orang atau lebih dari 70% populasi penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan.
(ind)