Lagi, HIL Tidak Bisa Tunjukan Izin Usaha yang Masih Berlaku di Indonesia
A
A
A
JAKARTA - Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kembali menegur H Infrastructure Limited (HIL), perusahaan asal Selandia Baru, lantaran belum juga bisa melengkapi sejumlah dokumen atau legal standing terkait permohonan gugatan terhadap PT Bangun Cipta Kontraktor (BCK) yang diajukannya.
"Tolong dilengkapi dokumen legal standing yang masih valid sebagaimana disebutkan oleh termohon," ujar Ketua Majelis Abdul Kohar dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Dalam persidangan yang digelar di ruang Ali Said itu, diketahui HIL membawa dokumen yang sudah tidak berlaku lagi untuk dokumen perizinan dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang mengizinkan HIL untuk menjalankan usaha di Indonesia. Adapun izin BKPM yang dimiliki sudah kadaluarsa yakni hanya hingga 31 Desember 2017.
Selain itu, HIL di Indonesia juga tidak memiliki kepala perwakilan. Lantaran pejabat yang ditunjuk menjadi kepala perwakilan sebelumnya telah berakhir masa jabatannya sejak Juli 2019 lalu. Padahal, pada persidangan sebelumnya, majelis hakim sudah meminta HIL untuk melengkapi legalitas usahanya tersebut. "Tolong dicatat agar disiapkan," kata majelis hakim pada persidangan pekan lalu.
Majelis hakim masih memberikan kesempatan kepada pemohon untuk melengkapi dokumen-dokumen tersebut hingga sidang pekan depan, Kamis 17 Oktober.
Kuasa hukum BCK, Hendry Muliana Hendrawan dari AKHH Lawyers menyayangkan HIL belum bisa melengkapi dokumen dokumen tersebut dan membuat persidangan menjadi molor. "Ini kan mereka yang menggugat, tapi legal standingnya tidak ada, masa bawa dokumen legal standing yang sudah expired?," kata Hendry kepada wartawan, Jumat (11/10/2019).
Sementara itu, kuasa hukum HIL kembali berjanji akan melengkapi berkas-berkas tersebut pada sidang selanjutnya. "Kami akan bawa minggu depan," kata Ian PSSP Siregar, kuasa hukum HIL.
Namun ia juga meminta BCK untuk membawa akta pendirian perusahaan tahun 1977. Tetapi majelis hakim menyatakan legal standing BCK sudah cukup dan diakui oleh majelis karena BCK sudah membawa akta anggaran dasar perusahaan yang sudah disesuaikan dengan Undang-undang No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan akta pengangkatan Sustiono Rushendarto sebagai Direktur yang mewakili BCK dan selaku pemberi kuasa.
Seperti diketahui, HIL mengajukan gugatan pailit kepada BCK dengan nomor gugatan 46/Pdt.Sus-Pailit/2019/PN Niaga Jkt.Pst. HIL mengklaim bahwa BCK memiliki utang dan tidak mau membayar terkait kerja sama operasi (joint operation/JO) di proyek Karaha di Jawa Barat.
Klaim tersebut lantas dibantah BCK lantaran pihaknya telah menyelesaikan seluruh kewajibannya kepada para vendor sesuai porsinya, yakni 30%. Sedangkan HIL yang memiliki porsi di JO sebesar 70% dan selaku penanggung jawab proyek, justru belum memenuhi kewajibannya kepada para vendor.
Kuasa hukum BCK, Hendry, sebelumnya juga menyatakan gugatan yang diajukan oleh HIL ini masih prematur. Sebab BCK merupakan perusahaan yang sehat secara keuangan dan tengah menangani sejumlah proyek infrastruktur nasional.
Dan ada atau tidaknya utang dari BCK kepada HIL tersebut juga harus dibuktikan dulu di forum arbitrase di SIAC (Singapore International Arbitration Center). Karena sebelumnya di forum aribtrase tersebut, HIL yang tidak mau melanjutkan perkara yang diajukannya pada tahun 2017 itu.
Padahal di SIAC, BCK telah menanggapi permohonan tersebut. SIAC pun akhirnya membatalkan permohonan perkara bernomor 401 of 2017 tersebut pada November 2018 lalu setelah 11 kali pemanggilan yang tidak ditanggapi HIL.
"Tolong dilengkapi dokumen legal standing yang masih valid sebagaimana disebutkan oleh termohon," ujar Ketua Majelis Abdul Kohar dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Dalam persidangan yang digelar di ruang Ali Said itu, diketahui HIL membawa dokumen yang sudah tidak berlaku lagi untuk dokumen perizinan dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang mengizinkan HIL untuk menjalankan usaha di Indonesia. Adapun izin BKPM yang dimiliki sudah kadaluarsa yakni hanya hingga 31 Desember 2017.
Selain itu, HIL di Indonesia juga tidak memiliki kepala perwakilan. Lantaran pejabat yang ditunjuk menjadi kepala perwakilan sebelumnya telah berakhir masa jabatannya sejak Juli 2019 lalu. Padahal, pada persidangan sebelumnya, majelis hakim sudah meminta HIL untuk melengkapi legalitas usahanya tersebut. "Tolong dicatat agar disiapkan," kata majelis hakim pada persidangan pekan lalu.
Majelis hakim masih memberikan kesempatan kepada pemohon untuk melengkapi dokumen-dokumen tersebut hingga sidang pekan depan, Kamis 17 Oktober.
Kuasa hukum BCK, Hendry Muliana Hendrawan dari AKHH Lawyers menyayangkan HIL belum bisa melengkapi dokumen dokumen tersebut dan membuat persidangan menjadi molor. "Ini kan mereka yang menggugat, tapi legal standingnya tidak ada, masa bawa dokumen legal standing yang sudah expired?," kata Hendry kepada wartawan, Jumat (11/10/2019).
Sementara itu, kuasa hukum HIL kembali berjanji akan melengkapi berkas-berkas tersebut pada sidang selanjutnya. "Kami akan bawa minggu depan," kata Ian PSSP Siregar, kuasa hukum HIL.
Namun ia juga meminta BCK untuk membawa akta pendirian perusahaan tahun 1977. Tetapi majelis hakim menyatakan legal standing BCK sudah cukup dan diakui oleh majelis karena BCK sudah membawa akta anggaran dasar perusahaan yang sudah disesuaikan dengan Undang-undang No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan akta pengangkatan Sustiono Rushendarto sebagai Direktur yang mewakili BCK dan selaku pemberi kuasa.
Seperti diketahui, HIL mengajukan gugatan pailit kepada BCK dengan nomor gugatan 46/Pdt.Sus-Pailit/2019/PN Niaga Jkt.Pst. HIL mengklaim bahwa BCK memiliki utang dan tidak mau membayar terkait kerja sama operasi (joint operation/JO) di proyek Karaha di Jawa Barat.
Klaim tersebut lantas dibantah BCK lantaran pihaknya telah menyelesaikan seluruh kewajibannya kepada para vendor sesuai porsinya, yakni 30%. Sedangkan HIL yang memiliki porsi di JO sebesar 70% dan selaku penanggung jawab proyek, justru belum memenuhi kewajibannya kepada para vendor.
Kuasa hukum BCK, Hendry, sebelumnya juga menyatakan gugatan yang diajukan oleh HIL ini masih prematur. Sebab BCK merupakan perusahaan yang sehat secara keuangan dan tengah menangani sejumlah proyek infrastruktur nasional.
Dan ada atau tidaknya utang dari BCK kepada HIL tersebut juga harus dibuktikan dulu di forum arbitrase di SIAC (Singapore International Arbitration Center). Karena sebelumnya di forum aribtrase tersebut, HIL yang tidak mau melanjutkan perkara yang diajukannya pada tahun 2017 itu.
Padahal di SIAC, BCK telah menanggapi permohonan tersebut. SIAC pun akhirnya membatalkan permohonan perkara bernomor 401 of 2017 tersebut pada November 2018 lalu setelah 11 kali pemanggilan yang tidak ditanggapi HIL.
(ven)