Belum Bisa Penuhi Legal Standing, HIL Kembali Mengulur Waktu
A
A
A
JAKARTA - Setelah ditunda selama 10 hari, sidang lanjutan antara PT Bangun Cipta Kontraktor (BCK) dengan H Infrastructure Limited Representative Office (HIL RO) dilanjutkan kembali di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat (PN Jakpus), Senin (28/10/2019). Namun sidang yang seharusnya beragendakan jawaban dari PT BCK, tidak terlaksana.
Penyebabnya, masih ada beberapa hal yang belum bisa dilengkapi oleh HIL RO. "Ini semua dokumennya sudah ada, tapi ada dokumen yang belum dilegalisasi," kata Ketua Majelis Abdul Kohar kepada Ian PSSP Siregar, kuasa hukum HIL.
Dokumen yang dimaksud oleh majelis hakim adalah dokumen mengenai kewenangan direksi HIL yang seharusnya juga dibuat oleh notaris Selandia Baru dan dilegalisasi oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI). Sementara yang baru dilegalisasi hanya anggaran dasar saja.
Menanggapi hal itu, kuasa hukum HIL, kembali meminta waktu kepada majelis hakim untuk merampungkannya sambil persidangan berjalan. "Kami izin yang mulia untuk bisa melengkapi itu sembari sidang berjalan," pintanya kepada majelis hakim.
Dalam persidangan tersebut, HIL juga memberikan ralat terhadap Permohonannya terkait kelengkapan legal standing yang sebelumnya belum dimasukkan di Permohonan.
Dalam beberapa kali persidangan sebelumnya, majelis hakim telah menegur HIL RO agar segera melengkapi sejumlah dokumen legal standing terkait permohonan yang diajukannya terhadap BCK. Namun sampai persidangan kali ini, pihak HIL tetap belum mampu memenuhi seluruhnya.
Sementara itu, kuasa hukum BCK, Hendry Muliana Hendrawan dari AKHH Lawyers, menilai bahwa HIL sengaja mengulur-ulur waktu untuk melengkapi legal standingnya. Hal tersebut kata dia, menunjukan bahwa ada kejanggalan dalam pengajuan permohonan pailit BCK oleh HIL.
Menurut Hendry, sejatinya HIL RO tidak memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan hukum apapun di Indonesia karena saat ini tidak memiliki izin perwakilan badan usaha jasa konstruksi asing sebagaimana disyaratkan oleh Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) No. 9/PRT/M/2019 tentang Pedoman Pelayanan Perizinan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing. Izin perwakilan badan usaha konstruksi asing yang dimiliki Pemohon sudah berakhir pada tanggal 31 Desember 2017.
HIL RO juga baru mengajukan permohonan izin perwakilan kepada instansi yang berwenang di Indonesia terkait dengan pergantian data alamat kantor perwakilan, dan kepala kantor perwakilan setelah permohonan pailit ini didaftarkan ke PN Jakpus pada 10 September 2019. Padahal hal ini disyaratkan dalam Pasal 5 ayat (2) dan (3) Peraturan Menteri PUPR No. 10/PRT/M/2014.
Seperti diketahui, HIL mengklaim bahwa BCK masih memiliki utang sehingga pihaknya mengajukan permohonan pailit di PN Jakpus. Namun BCK dengan tegas menolak klaim HIL tersebut. Menurut BCK, pihaknya telah menyelesaikan seluruh kewajiban sesuai porsinya, yakni sebesar 30%. Justru HIL yang belum membayar kewajibannya kepada para vendor di Indonesia.
Selain itu, HIL RO juga dinilai mencampur adukan biaya antara offshore project dengan onshore project. Dimana beban biaya offshore project dimasukkan ke dalam onshore project.
Seperti diketahui bahwa dalam pengerjaan geothermal di Karaha ini terdapat dua proyek. Pertama yaitu offshore project dimana proyek ini seluruhnya atau 100% ditangani oleh HIL Singapura. Lalu yang kedua yaitu onshore project yang merupakan joint operation antara HIL RO (Hawkins Infrastructure Limited Representative Office) dengen persetase kepemilikan 70%, dan dan BCK hanya 30%.
"Tindakan tersebut tentu merugikan BCK yang memang tidak terlibat di offshore project," kata Hendry. Terkait adanya kecurangan pencampuran biaya tersebut, BCK telah melaporkan HIL RO ke Polres Jakarta Selatan. Rencananya, persidangan akan dilanjutkan pada Senin (4/11/2019) pekan depan.
Penyebabnya, masih ada beberapa hal yang belum bisa dilengkapi oleh HIL RO. "Ini semua dokumennya sudah ada, tapi ada dokumen yang belum dilegalisasi," kata Ketua Majelis Abdul Kohar kepada Ian PSSP Siregar, kuasa hukum HIL.
Dokumen yang dimaksud oleh majelis hakim adalah dokumen mengenai kewenangan direksi HIL yang seharusnya juga dibuat oleh notaris Selandia Baru dan dilegalisasi oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI). Sementara yang baru dilegalisasi hanya anggaran dasar saja.
Menanggapi hal itu, kuasa hukum HIL, kembali meminta waktu kepada majelis hakim untuk merampungkannya sambil persidangan berjalan. "Kami izin yang mulia untuk bisa melengkapi itu sembari sidang berjalan," pintanya kepada majelis hakim.
Dalam persidangan tersebut, HIL juga memberikan ralat terhadap Permohonannya terkait kelengkapan legal standing yang sebelumnya belum dimasukkan di Permohonan.
Dalam beberapa kali persidangan sebelumnya, majelis hakim telah menegur HIL RO agar segera melengkapi sejumlah dokumen legal standing terkait permohonan yang diajukannya terhadap BCK. Namun sampai persidangan kali ini, pihak HIL tetap belum mampu memenuhi seluruhnya.
Sementara itu, kuasa hukum BCK, Hendry Muliana Hendrawan dari AKHH Lawyers, menilai bahwa HIL sengaja mengulur-ulur waktu untuk melengkapi legal standingnya. Hal tersebut kata dia, menunjukan bahwa ada kejanggalan dalam pengajuan permohonan pailit BCK oleh HIL.
Menurut Hendry, sejatinya HIL RO tidak memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan hukum apapun di Indonesia karena saat ini tidak memiliki izin perwakilan badan usaha jasa konstruksi asing sebagaimana disyaratkan oleh Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) No. 9/PRT/M/2019 tentang Pedoman Pelayanan Perizinan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing. Izin perwakilan badan usaha konstruksi asing yang dimiliki Pemohon sudah berakhir pada tanggal 31 Desember 2017.
HIL RO juga baru mengajukan permohonan izin perwakilan kepada instansi yang berwenang di Indonesia terkait dengan pergantian data alamat kantor perwakilan, dan kepala kantor perwakilan setelah permohonan pailit ini didaftarkan ke PN Jakpus pada 10 September 2019. Padahal hal ini disyaratkan dalam Pasal 5 ayat (2) dan (3) Peraturan Menteri PUPR No. 10/PRT/M/2014.
Seperti diketahui, HIL mengklaim bahwa BCK masih memiliki utang sehingga pihaknya mengajukan permohonan pailit di PN Jakpus. Namun BCK dengan tegas menolak klaim HIL tersebut. Menurut BCK, pihaknya telah menyelesaikan seluruh kewajiban sesuai porsinya, yakni sebesar 30%. Justru HIL yang belum membayar kewajibannya kepada para vendor di Indonesia.
Selain itu, HIL RO juga dinilai mencampur adukan biaya antara offshore project dengan onshore project. Dimana beban biaya offshore project dimasukkan ke dalam onshore project.
Seperti diketahui bahwa dalam pengerjaan geothermal di Karaha ini terdapat dua proyek. Pertama yaitu offshore project dimana proyek ini seluruhnya atau 100% ditangani oleh HIL Singapura. Lalu yang kedua yaitu onshore project yang merupakan joint operation antara HIL RO (Hawkins Infrastructure Limited Representative Office) dengen persetase kepemilikan 70%, dan dan BCK hanya 30%.
"Tindakan tersebut tentu merugikan BCK yang memang tidak terlibat di offshore project," kata Hendry. Terkait adanya kecurangan pencampuran biaya tersebut, BCK telah melaporkan HIL RO ke Polres Jakarta Selatan. Rencananya, persidangan akan dilanjutkan pada Senin (4/11/2019) pekan depan.
(ven)