BPS Dituding Pakai Data Mafia Berpotensi Timbulkan Kegaduhan
A
A
A
JAKARTA - Data Badan Pusat Statistik (BPS) dituding tidak akurat terkait jumlah lahan sawah serta skema Kerangka Sampel Area (KSA) dalam meramal luas panen merupakan data Mafia. Tuduhan ini disampaikan oleh Mantan Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman saat serah terima jabatan di Kementerian Pertanian, Jakarta, Kamis (25/10), lalu.
Terkait hal itu, Pakar Hukum Pidana dari Universitas Al Azhar Indonesia Suparji Ahmad menerangkan tuduhan itu serius terhadap lembaga pemerintah. Sambung dia menegaskan, ucapan Amran soal data BPS tidak akurat dan data mafia sangat sensitif dan tidak bisa sembarangan. Apalagi, Amran mantan menteri pertanian yang merupakan pejabat negara.
"Ini berkaitan isu sensitf dan krusial dan berpotensi menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Bisa saja (BPS jika dirugikan lapor polisi). Untuk tindaklajut itu, maksudnya apa. Setidaknya melakukan klarifikasi," kata Suparji kepada wartawan, Selasa (10/28).
Suparji menambahkan, yang bisa melaporkan Amran bisa BPS atau Presiden. Apalagi Amran kini bukan pejabat publik dan mantan pembantu Presiden. "Sebagai mantan pembantunya dan warga negara, Presiden bisa minta klarifikasi dan minta buka data. Untuk perbaikan daripada menimbulkan kegaduhan," katanya.
Selanjutnya, kata dia, dari ucapan Amran itu perlu ada pendalaman serta pertanggungjawaban. Bahkan, dia menantang Amran untuk membuktikan tudingan terhadap BPS melalui proses hukum.
"Kalau dia memiliki keyakinan apa yang disampaikan sebuah kebohongan data bohong, berani enggak mengungkap melalui proses hukum. Menyampaikan bahwa ada penyebaran berita bohong yang berpotensi menimbulkan keonaran di masyarakat. Yang disampaikan ini arahnya kemana?," tukasnya.
Sambung dia menerangkan, tujuannya agar tak jadi polemik yang berlarut serta perbaikan di masa akan datang. "Kalau Amran ada data valid bandingkan saja dengan data yang terungkap di publik dan sebenarnya supaya ada kejelasan," katanya.
Di kesempatan terpisah, pengamat politik Universitas Al Azhar Ujang Komaruddin menegaskan, data yang dikeluarkan oleh BPS adalah data resmi pemerintah. Penyelenggara negara pun harus menggunakan data dari dari institusi resmi. Ujang pun mempertanyakan keabsahan kalau Amran ngotot datanya benar. Menurutnya, apa yang sampaikan Amran merupakan data yang diklaim pribadi.
"BPS itu adalah lembaga resmi negara, bukan dari data pribadi. Data BPS bisa dipertanggungjawabkan karena didapat dari proses dan pertimbangan yang panjang. Nah, kalau data pribadi kan subjektif," katanya.
Baginya, data yang diklaim oleh pribadi bisa berbahaya. Di kesempatan lain, Direktur Statistik Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Hermanto mengaku heran dengan pertanyaan Amran yang menuding data BPS adalah data mafia. Menurutnya, BPS sebenarnya enggan mengomentari pernyataan tersebut karena tidak jelas yang disebut mafia siapa.
"Kita malah enggak tahu, yang dimaksud mafia itu suruh jelasin dulu, baru kita klarifikasi. Jadi pak Amran sebut dulu mana yang mafia," ujarnya.
Ia menjelaskan, ketika BPS melakukan perbaikan penyempurnaan data, dilakukan melalui program nasional yang melibatkan sejumlah lembaga terkait. "Intinya, tim penyempurnaan data ini sifatnya nasional, BPS tidak sendiri, lembaga lain masing-masing punya kredibilitas, ada Badan Informasi Geospasial, ada Kementerian ATR/BPN, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), lintas lembaga dan kementerian, yang mafia itu apa?, kita jadi ketawa," jelas Hermanto.
Setiap rapat pembahasan data, kata dia, juga selalu ada para pakar yang mencermati data-data ini. Ia juga menegaskan semua data bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. "Bagaimana mungkin sejumlah lembaga kredibel ini melakukan yang dikatakan mafia, dan kepentingannya apa? Kami BPS selalu berusaha menjaga integritas negeri ini dengan data yang seakurat mungkin," tegasnya.
Ia menjelaskan, ketika luas baku lahan berdasarkan data BPS menunjukkan ada 7,1 juta hektar, kemudian Kementan era Amran mengaku sudah ngecek, dan menemukan ada selisih 136 ribu hektar, maka hanya 1,8% berbeda."Silakan maknai sendiri, apakah perbedaan 1,8% itu akurat, atau mafia?," tuturnya.
Sebelumnya, mantan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mencibir data lahan sawah yang diolah Badan Pusat Statistik (BPS) bersama Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN) melalui skema Kerangka Sampel Area (KSA) sangat tidak akurat.
Dia mengatakan, ketidakakuratan data lahan sawah yang dikeluarkan BPS setelah dikaji mencapai 92 persen. Dengan kesalahan tersebut akan berdampak terhadap kuota subsidi pupuk yang berkurang hingga 600 ribu ton pada 2021.
"Data pangan yang ada dengan teknologi tinggi dan satelit itu salah. Kami crosscheck dengan tim. Ternyata setelah dicek 92 persen sampel yang diambil salah," ujar dia di Gedung Kementerian Pertanian.
Amran pun menyebutkan, data yang valid di sektor pertanian itu hanya ada dua. "Jadi data itu ada dua. Kalau tidak data pertanian, itu data mafia," tegas dia.
Terkait hal itu, Pakar Hukum Pidana dari Universitas Al Azhar Indonesia Suparji Ahmad menerangkan tuduhan itu serius terhadap lembaga pemerintah. Sambung dia menegaskan, ucapan Amran soal data BPS tidak akurat dan data mafia sangat sensitif dan tidak bisa sembarangan. Apalagi, Amran mantan menteri pertanian yang merupakan pejabat negara.
"Ini berkaitan isu sensitf dan krusial dan berpotensi menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Bisa saja (BPS jika dirugikan lapor polisi). Untuk tindaklajut itu, maksudnya apa. Setidaknya melakukan klarifikasi," kata Suparji kepada wartawan, Selasa (10/28).
Suparji menambahkan, yang bisa melaporkan Amran bisa BPS atau Presiden. Apalagi Amran kini bukan pejabat publik dan mantan pembantu Presiden. "Sebagai mantan pembantunya dan warga negara, Presiden bisa minta klarifikasi dan minta buka data. Untuk perbaikan daripada menimbulkan kegaduhan," katanya.
Selanjutnya, kata dia, dari ucapan Amran itu perlu ada pendalaman serta pertanggungjawaban. Bahkan, dia menantang Amran untuk membuktikan tudingan terhadap BPS melalui proses hukum.
"Kalau dia memiliki keyakinan apa yang disampaikan sebuah kebohongan data bohong, berani enggak mengungkap melalui proses hukum. Menyampaikan bahwa ada penyebaran berita bohong yang berpotensi menimbulkan keonaran di masyarakat. Yang disampaikan ini arahnya kemana?," tukasnya.
Sambung dia menerangkan, tujuannya agar tak jadi polemik yang berlarut serta perbaikan di masa akan datang. "Kalau Amran ada data valid bandingkan saja dengan data yang terungkap di publik dan sebenarnya supaya ada kejelasan," katanya.
Di kesempatan terpisah, pengamat politik Universitas Al Azhar Ujang Komaruddin menegaskan, data yang dikeluarkan oleh BPS adalah data resmi pemerintah. Penyelenggara negara pun harus menggunakan data dari dari institusi resmi. Ujang pun mempertanyakan keabsahan kalau Amran ngotot datanya benar. Menurutnya, apa yang sampaikan Amran merupakan data yang diklaim pribadi.
"BPS itu adalah lembaga resmi negara, bukan dari data pribadi. Data BPS bisa dipertanggungjawabkan karena didapat dari proses dan pertimbangan yang panjang. Nah, kalau data pribadi kan subjektif," katanya.
Baginya, data yang diklaim oleh pribadi bisa berbahaya. Di kesempatan lain, Direktur Statistik Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Hermanto mengaku heran dengan pertanyaan Amran yang menuding data BPS adalah data mafia. Menurutnya, BPS sebenarnya enggan mengomentari pernyataan tersebut karena tidak jelas yang disebut mafia siapa.
"Kita malah enggak tahu, yang dimaksud mafia itu suruh jelasin dulu, baru kita klarifikasi. Jadi pak Amran sebut dulu mana yang mafia," ujarnya.
Ia menjelaskan, ketika BPS melakukan perbaikan penyempurnaan data, dilakukan melalui program nasional yang melibatkan sejumlah lembaga terkait. "Intinya, tim penyempurnaan data ini sifatnya nasional, BPS tidak sendiri, lembaga lain masing-masing punya kredibilitas, ada Badan Informasi Geospasial, ada Kementerian ATR/BPN, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), lintas lembaga dan kementerian, yang mafia itu apa?, kita jadi ketawa," jelas Hermanto.
Setiap rapat pembahasan data, kata dia, juga selalu ada para pakar yang mencermati data-data ini. Ia juga menegaskan semua data bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. "Bagaimana mungkin sejumlah lembaga kredibel ini melakukan yang dikatakan mafia, dan kepentingannya apa? Kami BPS selalu berusaha menjaga integritas negeri ini dengan data yang seakurat mungkin," tegasnya.
Ia menjelaskan, ketika luas baku lahan berdasarkan data BPS menunjukkan ada 7,1 juta hektar, kemudian Kementan era Amran mengaku sudah ngecek, dan menemukan ada selisih 136 ribu hektar, maka hanya 1,8% berbeda."Silakan maknai sendiri, apakah perbedaan 1,8% itu akurat, atau mafia?," tuturnya.
Sebelumnya, mantan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mencibir data lahan sawah yang diolah Badan Pusat Statistik (BPS) bersama Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN) melalui skema Kerangka Sampel Area (KSA) sangat tidak akurat.
Dia mengatakan, ketidakakuratan data lahan sawah yang dikeluarkan BPS setelah dikaji mencapai 92 persen. Dengan kesalahan tersebut akan berdampak terhadap kuota subsidi pupuk yang berkurang hingga 600 ribu ton pada 2021.
"Data pangan yang ada dengan teknologi tinggi dan satelit itu salah. Kami crosscheck dengan tim. Ternyata setelah dicek 92 persen sampel yang diambil salah," ujar dia di Gedung Kementerian Pertanian.
Amran pun menyebutkan, data yang valid di sektor pertanian itu hanya ada dua. "Jadi data itu ada dua. Kalau tidak data pertanian, itu data mafia," tegas dia.
(akr)