LVMH Tawar Tiffany & Co Senilai Rp203,4 Triliun
A
A
A
NEW YORK - Perusahaan barang mewah LVMH mencoba melebarkan sayap bisnis di Amerika Serikat (AS). Perusahaan berpendapatan 46,8 miliar euro (Rp728 triliun) pada 2018 tersebut menawar produsen perhiasan Tiffany & Co seharga USD14,5 miliar (sekitar Rp203,4 triliun). Namun, sejauh ini, negosiasi tersebut belum disepakati Tiffany.
LVMH menyatakan negosiasi pembelian Tiffany & Co masih berada pada tahap awal. LVMH berencana membeli Tiffany senilai USD120 (Rp1,6 juta) per saham, lebih mahal 20% dibanding harga saham pada penutupan akhir pekan lalu. “Kami tak dapat menjamin diskusi ini akan berhasil,” ungkap LVMH, dikutip CNN.
Meski diperhitungkan dapat mencapai total USD14,5 miliar, para ahli meyakini Tiffany akan menahan diri dan menunggu penawaran yang lebih menggiurkan. Oliver Chen dari Cowen Inc mengatakan, LVMH sedikitnya harus dapat menawar USD160 (Rp2,2 juta) per saham untuk dapat mengamankan pembelian Tiffany.
“Dengan penawaran saat ini, perusahaan barang mewah lain seperti Richemont dapat saja masuk dan menggugurkan harapan LVMH,” ujar Chen.
Sejak mencuatnya kabar itu, saham Tiffany melejit lebih dari 30% pada awal perdagangan pada awal pekan di Bursa Saham New York. Harganya mencapai USD130 (Rp1,8 juta) per saham.
Para ahli mengatakan LVMH patut tertarik dengan Tiffany. Sebab, selain dapat memasuki pasar barang mewah AS dengan lebih baik dan luas, Tiffany merupakan salah satu merek mewah terkemuka di AS dan memiliki potensi untuk tumbuh lebih besar, terutama dalam bisnis jam tangan, perhiasan berlian, dan parfum.
“Saya kira Tiffany merupakan merek yang kuat dalam perlengkapan pernikahan. Potensi bisnisnya tidak hanya dapat dikembangkan di AS, tapi juga China,” ujar Chen. LVMH merupakan perusahaan barang mewah terbesar di dunia dengan 75 merek terkenal. Mereka menjadi penjual barang berkelas tinggi terbaik.
LVMH bergerak di berbagai bidang, mulai dari wine, fashion dan barang kulit, parfum dan kosmetik, jam tangan dan perhiasan, ritel, hotel, hingga kapal pesiar. Beberapa merek terkemuka LVMH ialah Veuve Clicquot, Hennessy, Marc Jacob, Fresh, Guerlain, TAG Heuer, Bulgari, Hublot, Celine, dan Louis Vuitton.
LVMH dibentuk pada 1987 atas hasil peleburan produsen sampanye Moët & Chandon dan manufaktur cognac Hennessy. Keduanya membawahi 60 anak perusahaan yang memiliki merek berkelas dunia. Brand tertuanya ialah Château d’Yquem sejak 1593. Meski melebur, pengelolaan anak perusahaan tetap mandiri.
Pemilik utama LVMH ialah Christian Dior SE yang memiliki saham sebesar 40,9% dan hak suara 59,01%. Bernard Arnault yang menjadi pemilik saham terbesar Dior menjadi Chairman dan Chief Executive Officer (CEO) keduanya. Pada 2017, Arnault berhasil membeli sisa seluruh saham Dior senilai USD13,1 miliar.
Belakangan ini, LVMH juga aktif melakukan akuisisi dengan harga selangit. Pada tahun lalu, mereka berhasil memboyong Hotel Belmond senilai USD2,6 miliar setelah setahun sebelumnya membeli Christian Dior seharga USD13 miliar. Dengan demikian, Christian Dior Couture dan Christian Dior Parfum bersatu.
Sementara itu, Tiffany memiliki sejarah yang rumit. Dengan penjualan yang merosot, Tiffany melakukan pergantian kepemimpinan pada 2017. Sejak saat itu, Tiffany berupaya melakukan re-branding dengan menyasar pasar milenial. Namun, sampai Agustus lalu, penjualan globalnya tetap buruk, bahkan anjlok sekitar 3%.
Di bawah CEO Alessandro Bogliolo dan Kepala Artistik Reed Krakoff, Tiffany diharapkan dapat bangkit. Keduanya dituntut mampu menyukseskan Tiffany dengan berupaya menarik konsumen baru, tapi tanpa mengecewakan pelanggan setia.
Pada tahun ini, Krakoff berharap seluruh toko Tiffany akan mulai menjalani renovasi dan dapat memiliki wajah baru pada 2021. Investasi itu ditujukan untuk memberikan kesan berkelas bagi konsumen demi membedakannya dengan toko online.
Ahli strategi pemasaran, Thomai Serdari yang juga Dosen di Universiats New York mengatakan, Tiffany mengambil langkah yang berani. “Tapi memang itu yang diperlukan Tiffany yang mengantarkannya menjadi brand terkemuka pada masa lalu,” kata Serdari. Tiffany melalui tiga kali pergantian CEO sejak 2010. (Muh Shamil)
LVMH menyatakan negosiasi pembelian Tiffany & Co masih berada pada tahap awal. LVMH berencana membeli Tiffany senilai USD120 (Rp1,6 juta) per saham, lebih mahal 20% dibanding harga saham pada penutupan akhir pekan lalu. “Kami tak dapat menjamin diskusi ini akan berhasil,” ungkap LVMH, dikutip CNN.
Meski diperhitungkan dapat mencapai total USD14,5 miliar, para ahli meyakini Tiffany akan menahan diri dan menunggu penawaran yang lebih menggiurkan. Oliver Chen dari Cowen Inc mengatakan, LVMH sedikitnya harus dapat menawar USD160 (Rp2,2 juta) per saham untuk dapat mengamankan pembelian Tiffany.
“Dengan penawaran saat ini, perusahaan barang mewah lain seperti Richemont dapat saja masuk dan menggugurkan harapan LVMH,” ujar Chen.
Sejak mencuatnya kabar itu, saham Tiffany melejit lebih dari 30% pada awal perdagangan pada awal pekan di Bursa Saham New York. Harganya mencapai USD130 (Rp1,8 juta) per saham.
Para ahli mengatakan LVMH patut tertarik dengan Tiffany. Sebab, selain dapat memasuki pasar barang mewah AS dengan lebih baik dan luas, Tiffany merupakan salah satu merek mewah terkemuka di AS dan memiliki potensi untuk tumbuh lebih besar, terutama dalam bisnis jam tangan, perhiasan berlian, dan parfum.
“Saya kira Tiffany merupakan merek yang kuat dalam perlengkapan pernikahan. Potensi bisnisnya tidak hanya dapat dikembangkan di AS, tapi juga China,” ujar Chen. LVMH merupakan perusahaan barang mewah terbesar di dunia dengan 75 merek terkenal. Mereka menjadi penjual barang berkelas tinggi terbaik.
LVMH bergerak di berbagai bidang, mulai dari wine, fashion dan barang kulit, parfum dan kosmetik, jam tangan dan perhiasan, ritel, hotel, hingga kapal pesiar. Beberapa merek terkemuka LVMH ialah Veuve Clicquot, Hennessy, Marc Jacob, Fresh, Guerlain, TAG Heuer, Bulgari, Hublot, Celine, dan Louis Vuitton.
LVMH dibentuk pada 1987 atas hasil peleburan produsen sampanye Moët & Chandon dan manufaktur cognac Hennessy. Keduanya membawahi 60 anak perusahaan yang memiliki merek berkelas dunia. Brand tertuanya ialah Château d’Yquem sejak 1593. Meski melebur, pengelolaan anak perusahaan tetap mandiri.
Pemilik utama LVMH ialah Christian Dior SE yang memiliki saham sebesar 40,9% dan hak suara 59,01%. Bernard Arnault yang menjadi pemilik saham terbesar Dior menjadi Chairman dan Chief Executive Officer (CEO) keduanya. Pada 2017, Arnault berhasil membeli sisa seluruh saham Dior senilai USD13,1 miliar.
Belakangan ini, LVMH juga aktif melakukan akuisisi dengan harga selangit. Pada tahun lalu, mereka berhasil memboyong Hotel Belmond senilai USD2,6 miliar setelah setahun sebelumnya membeli Christian Dior seharga USD13 miliar. Dengan demikian, Christian Dior Couture dan Christian Dior Parfum bersatu.
Sementara itu, Tiffany memiliki sejarah yang rumit. Dengan penjualan yang merosot, Tiffany melakukan pergantian kepemimpinan pada 2017. Sejak saat itu, Tiffany berupaya melakukan re-branding dengan menyasar pasar milenial. Namun, sampai Agustus lalu, penjualan globalnya tetap buruk, bahkan anjlok sekitar 3%.
Di bawah CEO Alessandro Bogliolo dan Kepala Artistik Reed Krakoff, Tiffany diharapkan dapat bangkit. Keduanya dituntut mampu menyukseskan Tiffany dengan berupaya menarik konsumen baru, tapi tanpa mengecewakan pelanggan setia.
Pada tahun ini, Krakoff berharap seluruh toko Tiffany akan mulai menjalani renovasi dan dapat memiliki wajah baru pada 2021. Investasi itu ditujukan untuk memberikan kesan berkelas bagi konsumen demi membedakannya dengan toko online.
Ahli strategi pemasaran, Thomai Serdari yang juga Dosen di Universiats New York mengatakan, Tiffany mengambil langkah yang berani. “Tapi memang itu yang diperlukan Tiffany yang mengantarkannya menjadi brand terkemuka pada masa lalu,” kata Serdari. Tiffany melalui tiga kali pergantian CEO sejak 2010. (Muh Shamil)
(nfl)