Bangun Kapal Lebih Mahal dari Impor Bekas, Pemerintah Didesak Beri Insentif
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah diminta segera merealisasikan insentif bagi industri maritim sehingga perusahaan pelayaran nasional tertarik membangun kapal di dalam negeri dibandingkan dengan impor. Desakan itu disampaikan oleh Dewan Penasihat Ikatan Perusahaan Industri Kapal dan Lepas Pantai Indonesia (Iperindo) Bambang Haryo Soekartono menanggapi polemik impor kapal bekas, menyusul terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 76 Tahun 2019.
Permendag tersebut merupakan revisi dari Permendag No. 118 Tahun 2018 tentang Ketentuan Impor Barang Modal dalam Keadaan Tidak Baru, yang segera berlaku mulai 20 November mendatang. Dalam Permendag 76/2019, usia kapal impor ditambah menjadi maksimal 30 tahun dari aturan sebelumnya yang membatasi usia kapal bekas impor 15-20 tahun untuk jenis kapal tertentu.
Menurut Bambang Haryo, polemik soal impor kapal bekas selama ini akibat kebijakan pemerintah tidak efektif mendorong perusahaan pelayaran membangun kapal di dalam negeri.
“Permendag 118/2018 mengatur kapal bekas yang boleh diimpor maksimal usia 15-20 tahun dengan harapan pelayaran membangun kapal di dalam negeri. Tapi kenyataannya, tidak satupun yang bangun kapal di dalam negeri kecuali pemerintah,” ungkap Bambang Haryo, yang pernah menjabat anggota Komisi V dan VI DPR RI periode 2014-2019, Selasa (5/11/2019).
Kondisi ini terjadi karena pembangunan kapal di dalam negeri lebih mahal dibandingkan dengan impor bekas. Penyebabnya, antara lain suku bunga di Indonesia tinggi dan masa pengembalian pinjaman pendek, beban pajak dan bea masuk, serta harga komponen mahal karena sebagian besar impor.
Dia mengatakan, Permendag 118/2018 tidak efektif karena pelayaran sulit mencari kapal bekas usia 15-20 tahun di pasar dunia. “Kapal usia itu masih produktif dan harganya mahal. Kalaupun ada yang jual, harganya sama dengan bangun kapal baru di China,” ungkapnya.
Akibatnya, banyak pelayaran nasional yang memilih bangun kapal baru di China karena harganya sama dengan kapal bekas usia 15-20 tahun. Kebutuhan reparasi kapal-kapal baru itu sangat minum sehingga galangan kapal di dalam negeri tidak mendapat manfaat apa-apa.
“Selain tidak bangun kapal di sini, mereka juga tidak docking di galangan lokal karena kapalnya masih baru, tidak butuh banyak perawatan. Jadi, Permendag 118/2018 itu justru membunuh galangan dalam negeri,” ujar Bambang Haryo, yang juga Ketua Dewan Penasihat Gabungan Pengusaha Nasional Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (Gapasdap).
Di dunia pelayaran, kelayakan kapal dilihat dari usia teknisnya atau pemenuhan terhadap standar keselamatan minimum konstruksi, peralatan dan operasi kapal sebagaimana diatur dalam SOLAS (Safety Of Life At Sea). Berdasarkan data www.equasis.org dan Llyod Register, saat ini masih banyak kapal usia di atas 30 tahun di negara-negara maju yang beroperasi. Bukan hanya kapal niaga, tetapi justru kapal penumpang seperti kapal pesiar.
Sebagai contoh, MV Forest (1966) Siprus, MV Queenie (1960) Italia, roro kargo Queen of Sydney (1960), Twinkling Star (1964) Hong Kong, ferry Goshoura (1972) Jepang, dan War Artist (1918) milik AL AS. Menurut Bambang Haryo, impor kapal bekas bisa ditolerir karena Indonesia sebagai negara maritim membutuhkan kapal dalam jumlah besar untuk mendukung kegiatan ekonomi. Kapal bekas juga masih dibutuhkan karena biaya membangun kapal baru sangat mahal.
“Pelayaran nasional belum mampu beli kapal baru di dalam negeri karena tarif jasa angkutan kapal kita rendah. Pelayaran harus menyesuaikan dengan daya beli masyarakat yang sangat rendah, ditambah kondisi ekonomi sedang merosot,” ungkapnya.
Kebijakan impor kapal usia 30 tahun justru bisa memberikan manfaat bagi industri galangan kapal di dalam negeri, seperti untuk reparasi, modifikasi, overhaul, docking, dan sebagainya. “Semua kapal wajib docking rutin dan harus di galangan kapal dalam negeri. Semua kapal bekas harus ikut standar ketat di pelayaran sesuai SOLAS dan masuk klas. Biayanya cukup besar dan bisa memberikan dampak ekonomi bagi galangan lokal,” paparnya.
Apabila perekonomian nasional dan daya beli masyarakat sudah kuat, impor kapal baru ataupun bekas bisa dibatasi sehingga industri galangan kapal dalam negeri menjadi tuan rumah di negeri sendiri. “Untuk mempercepat tujuan itu, pemerintah harus segera merealisasikan insentif untuk industri galangan kapal,” ujarnya.
Adapun untuk mencegah membanjirnya kapal bekas impor, pemerintah bisa membatasi dengan menjaga keseimbangan antara supply dan demand karena kapal masuk ke dalam negeri harus mendapat izin Kementerian Perhubungan (Kemenhub).
Permendag tersebut merupakan revisi dari Permendag No. 118 Tahun 2018 tentang Ketentuan Impor Barang Modal dalam Keadaan Tidak Baru, yang segera berlaku mulai 20 November mendatang. Dalam Permendag 76/2019, usia kapal impor ditambah menjadi maksimal 30 tahun dari aturan sebelumnya yang membatasi usia kapal bekas impor 15-20 tahun untuk jenis kapal tertentu.
Menurut Bambang Haryo, polemik soal impor kapal bekas selama ini akibat kebijakan pemerintah tidak efektif mendorong perusahaan pelayaran membangun kapal di dalam negeri.
“Permendag 118/2018 mengatur kapal bekas yang boleh diimpor maksimal usia 15-20 tahun dengan harapan pelayaran membangun kapal di dalam negeri. Tapi kenyataannya, tidak satupun yang bangun kapal di dalam negeri kecuali pemerintah,” ungkap Bambang Haryo, yang pernah menjabat anggota Komisi V dan VI DPR RI periode 2014-2019, Selasa (5/11/2019).
Kondisi ini terjadi karena pembangunan kapal di dalam negeri lebih mahal dibandingkan dengan impor bekas. Penyebabnya, antara lain suku bunga di Indonesia tinggi dan masa pengembalian pinjaman pendek, beban pajak dan bea masuk, serta harga komponen mahal karena sebagian besar impor.
Dia mengatakan, Permendag 118/2018 tidak efektif karena pelayaran sulit mencari kapal bekas usia 15-20 tahun di pasar dunia. “Kapal usia itu masih produktif dan harganya mahal. Kalaupun ada yang jual, harganya sama dengan bangun kapal baru di China,” ungkapnya.
Akibatnya, banyak pelayaran nasional yang memilih bangun kapal baru di China karena harganya sama dengan kapal bekas usia 15-20 tahun. Kebutuhan reparasi kapal-kapal baru itu sangat minum sehingga galangan kapal di dalam negeri tidak mendapat manfaat apa-apa.
“Selain tidak bangun kapal di sini, mereka juga tidak docking di galangan lokal karena kapalnya masih baru, tidak butuh banyak perawatan. Jadi, Permendag 118/2018 itu justru membunuh galangan dalam negeri,” ujar Bambang Haryo, yang juga Ketua Dewan Penasihat Gabungan Pengusaha Nasional Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (Gapasdap).
Di dunia pelayaran, kelayakan kapal dilihat dari usia teknisnya atau pemenuhan terhadap standar keselamatan minimum konstruksi, peralatan dan operasi kapal sebagaimana diatur dalam SOLAS (Safety Of Life At Sea). Berdasarkan data www.equasis.org dan Llyod Register, saat ini masih banyak kapal usia di atas 30 tahun di negara-negara maju yang beroperasi. Bukan hanya kapal niaga, tetapi justru kapal penumpang seperti kapal pesiar.
Sebagai contoh, MV Forest (1966) Siprus, MV Queenie (1960) Italia, roro kargo Queen of Sydney (1960), Twinkling Star (1964) Hong Kong, ferry Goshoura (1972) Jepang, dan War Artist (1918) milik AL AS. Menurut Bambang Haryo, impor kapal bekas bisa ditolerir karena Indonesia sebagai negara maritim membutuhkan kapal dalam jumlah besar untuk mendukung kegiatan ekonomi. Kapal bekas juga masih dibutuhkan karena biaya membangun kapal baru sangat mahal.
“Pelayaran nasional belum mampu beli kapal baru di dalam negeri karena tarif jasa angkutan kapal kita rendah. Pelayaran harus menyesuaikan dengan daya beli masyarakat yang sangat rendah, ditambah kondisi ekonomi sedang merosot,” ungkapnya.
Kebijakan impor kapal usia 30 tahun justru bisa memberikan manfaat bagi industri galangan kapal di dalam negeri, seperti untuk reparasi, modifikasi, overhaul, docking, dan sebagainya. “Semua kapal wajib docking rutin dan harus di galangan kapal dalam negeri. Semua kapal bekas harus ikut standar ketat di pelayaran sesuai SOLAS dan masuk klas. Biayanya cukup besar dan bisa memberikan dampak ekonomi bagi galangan lokal,” paparnya.
Apabila perekonomian nasional dan daya beli masyarakat sudah kuat, impor kapal baru ataupun bekas bisa dibatasi sehingga industri galangan kapal dalam negeri menjadi tuan rumah di negeri sendiri. “Untuk mempercepat tujuan itu, pemerintah harus segera merealisasikan insentif untuk industri galangan kapal,” ujarnya.
Adapun untuk mencegah membanjirnya kapal bekas impor, pemerintah bisa membatasi dengan menjaga keseimbangan antara supply dan demand karena kapal masuk ke dalam negeri harus mendapat izin Kementerian Perhubungan (Kemenhub).
(akr)