Tantangan Swasembada Pangan di Zaman Milenial, Mampukah Indonesia
A
A
A
JAKARTA - UNTUK negara sebesar Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 260 juta jiwa, isu seputar pangan masih jadi perhatian utama. Dengan jumlah penduduk terbesar di Asia Tenggara membuat Indonesia butuh ketahanan pangan, jadi isu swasembada pangan memang perlu diperjuangkan sekuat mungkin. Ini menjadi salah satu tugas besar Kabinet Indonesia Maju yang sangat fundamental dan krusial.
Apalagi di zaman milenial yang sangat didasari pesatnya perkembangan teknologi digital, swasembada pangan sepatutnya tidak bisa diabaikan begitu saja. Dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang lebih dinamis, fokus pemerintah ke arah sumber daya manusia (SDM) dan infrastruktur, masalah pangan tidak bisa dipandang sebelah mata.
Permasalahan krusial pangan sebenarnya telah disadari Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo. Bahkan, Mentan Syahrul Yasin Limpo memperkirakan dari 582 kabupaten dan kota di Indonesia, ada 88 kabupaten dan kota yang rentan rawan pangan atau setara 7-8 juta masyarakat Indonesia yang rentan rawan pangan. Benar-benar kondisi yang cukup memprihatinkan.
“Indonesia memang mempunyai banyak titik rawan, salah satunya titik rentan rawan pangan. Daerah rentan rawan pangan ialah daerah yang mempunyai angka kemiskinan dan angka balita stunting tinggi,” ujar Mentan Syahrul di Jakarta.
Pernyataan mentan itu menggambarkan kondisi riil sektor pangan di negeri ini. Penuh tantangan memang dan butuh kerja keras. Tapi kejujuran mentan perlu diapresiasi sehingga bisa menjadi perbaikan ke depan. Peluang untuk perbaikan itu masih terbuka.
Sejarah mencatat, Indonesia pernah mencapai swasembada pangan dan menjadi pengekspor beras. Medali From Rice Importer To Self Sufficiency dari Food and Agriculture Organization (FAO) pada 1984 yang diterima Presiden RI kedua Soeharto menjadi tonggak bersejarah negeri ini. Medali itu menjadi warisan puncak dalam pencapaian di sektor pangan yang perlu ditiru.
Tapi, jangan salah selama memimpin Indonesia selama 32 tahun, kenyataannya tidak mudah bagi Soeharto berswasembada pangan. Buktinya, Ia membawa Indonesia swasembada setelah 16 tahun memimpin, yakni pada 1984. Butuh kerja keras, perencanaan yang akurat, serta implementasi terarah di lapangan.
Tanpa itu sulit rasanya swasembada pangan kembali direngkuh negeri ini. Padahal, negara yang tak mampu mencukupi kebutuhan pangannya sangat rentan terhadap gejolak, baik gejolak harga hingga tergantung pada pasokan negara lain. Artinya, kedaulatan negara sebenarnya dalam konteks praktis bertumpu pada swasembada pangan.
Sejumlah tokoh dan ekonom sebenarnya telah berulang kali menyodorkan solusi swasembada pangan kepada pemerintah, agar peta jalan dapat terwujud secara riil. Namun, hal itu belum bisa dijalankan secara konkret.
Swasembada pangan sampai kini masih dianggap sebagai impian puncak yang belum bisa terwujud kembali pasca-Orde Baru. Bahkan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga pernah menargetkan swasembada pangan pada 2014. Namun, kenyataannya tidak semudah yang dibayangkan.
Berdasarkan data Ombudsman RI, total impor beras dalam kurun waktu 4 tahun (2015-2018) sebesar 4,7 juta ton, sedangkan pada kurun waktu 2010-2014 mencapai 6,5 juta ton. Sedangkan total impor gula selama kurun waktu 2015-2018 mencapai 17,2 juta ton, lebih tinggi 4,5 juta ton dibandingkan periode 2010-2014 yang mencapai 12,7 juta ton.
Memang, tidak dapat dipungkiri, kondisi antara Orde Baru saat mencapai swasembada pangan dan saat ini berbeda. Benar, jumlah penduduk dan luas lahan berbeda. Tapi itu tidak menjadi justifikasi upaya yang dilakukan tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Proses untuk mencapai mimpi swasembada pangan harus benar-benar tertata apik, dengan road map yang realistis, serta terukur dalam hal sisi keunggulan dan kelemahan.
Menyinggung sisi lemah Indonesia dalam upaya mencapai swasembada pangan ke depan, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Rusli Abdullah mengungkapkan satu fakta yang mengejutkan. Berdasarkan data INDEF, jumlah petani saat ini yang berusia di bawah 35 tahun hanya 12%. Data INDEF yang diambil dari data sensus pertanian 2013 menunjukkan, 60% rumah tangga usaha pertanian, 60%-nya berusia 45 tahun ke atas.
“Fakta di atas merupakan hal yang perlu diantisipasi mulai saat ini. Apabila tidak ada regenerasi petani, maka akan ada kelangkaan SDM petani yang berakibat pada tingginya upah di sektor pertanian,” ujar Rusli Abdullah di Jakarta.
Menurut dia, solusi untuk ancaman kelangkaan SDM pertanian itu harus dengan mekanisasi pertanian serta penggunaan teknologi informasi untuk sektor pertanian. Generasi milenial sangat suka apabila ada hal-hal yang berbau teknologi informasi. Penggunaan teknologi informasi bisa menjadi salah satu penarik milenial untuk bertani.
Di sinilah peran pemerintah mesti masuk untuk menjembatani rancangan menuju swasembada pangan dan SDM milenial di sektor pertanian. Jika hal ini dapat diatasi, maka impian swasembada pangan akan selangkah lebih mudah untuk dapat dicapai. Jangan sampai kaum milenial justru tidak sadar dengan sejarah negeri yang pernah swasembada pangan di zaman Orde Baru. Ini yang harus diubah sehingga paradigma kaum milenial lebih terbuka.
Dengan kesadaran kaum milenial yang akan menjadi pemimpin bangsa ke depan, semestinya mimpi swasembada pangan bisa terulang semoga dapat tercapai. Bukan tidak mungkin dengan inovasi baru ataupun dengan dukungan teknologi digital baru, dapat ditemukan strategi baru ataupun cara baru menggapai mimpi swasembada pangan sekali lagi di negeri tercinta ini. Itu mimpi besar bersama yang harus diperjuangkan. Siapa pun yang mengemban tugas untuk mewujudkan mimpi besar tersebut.
Apalagi di zaman milenial yang sangat didasari pesatnya perkembangan teknologi digital, swasembada pangan sepatutnya tidak bisa diabaikan begitu saja. Dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang lebih dinamis, fokus pemerintah ke arah sumber daya manusia (SDM) dan infrastruktur, masalah pangan tidak bisa dipandang sebelah mata.
Permasalahan krusial pangan sebenarnya telah disadari Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo. Bahkan, Mentan Syahrul Yasin Limpo memperkirakan dari 582 kabupaten dan kota di Indonesia, ada 88 kabupaten dan kota yang rentan rawan pangan atau setara 7-8 juta masyarakat Indonesia yang rentan rawan pangan. Benar-benar kondisi yang cukup memprihatinkan.
“Indonesia memang mempunyai banyak titik rawan, salah satunya titik rentan rawan pangan. Daerah rentan rawan pangan ialah daerah yang mempunyai angka kemiskinan dan angka balita stunting tinggi,” ujar Mentan Syahrul di Jakarta.
Pernyataan mentan itu menggambarkan kondisi riil sektor pangan di negeri ini. Penuh tantangan memang dan butuh kerja keras. Tapi kejujuran mentan perlu diapresiasi sehingga bisa menjadi perbaikan ke depan. Peluang untuk perbaikan itu masih terbuka.
Sejarah mencatat, Indonesia pernah mencapai swasembada pangan dan menjadi pengekspor beras. Medali From Rice Importer To Self Sufficiency dari Food and Agriculture Organization (FAO) pada 1984 yang diterima Presiden RI kedua Soeharto menjadi tonggak bersejarah negeri ini. Medali itu menjadi warisan puncak dalam pencapaian di sektor pangan yang perlu ditiru.
Tapi, jangan salah selama memimpin Indonesia selama 32 tahun, kenyataannya tidak mudah bagi Soeharto berswasembada pangan. Buktinya, Ia membawa Indonesia swasembada setelah 16 tahun memimpin, yakni pada 1984. Butuh kerja keras, perencanaan yang akurat, serta implementasi terarah di lapangan.
Tanpa itu sulit rasanya swasembada pangan kembali direngkuh negeri ini. Padahal, negara yang tak mampu mencukupi kebutuhan pangannya sangat rentan terhadap gejolak, baik gejolak harga hingga tergantung pada pasokan negara lain. Artinya, kedaulatan negara sebenarnya dalam konteks praktis bertumpu pada swasembada pangan.
Sejumlah tokoh dan ekonom sebenarnya telah berulang kali menyodorkan solusi swasembada pangan kepada pemerintah, agar peta jalan dapat terwujud secara riil. Namun, hal itu belum bisa dijalankan secara konkret.
Swasembada pangan sampai kini masih dianggap sebagai impian puncak yang belum bisa terwujud kembali pasca-Orde Baru. Bahkan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga pernah menargetkan swasembada pangan pada 2014. Namun, kenyataannya tidak semudah yang dibayangkan.
Berdasarkan data Ombudsman RI, total impor beras dalam kurun waktu 4 tahun (2015-2018) sebesar 4,7 juta ton, sedangkan pada kurun waktu 2010-2014 mencapai 6,5 juta ton. Sedangkan total impor gula selama kurun waktu 2015-2018 mencapai 17,2 juta ton, lebih tinggi 4,5 juta ton dibandingkan periode 2010-2014 yang mencapai 12,7 juta ton.
Memang, tidak dapat dipungkiri, kondisi antara Orde Baru saat mencapai swasembada pangan dan saat ini berbeda. Benar, jumlah penduduk dan luas lahan berbeda. Tapi itu tidak menjadi justifikasi upaya yang dilakukan tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Proses untuk mencapai mimpi swasembada pangan harus benar-benar tertata apik, dengan road map yang realistis, serta terukur dalam hal sisi keunggulan dan kelemahan.
Menyinggung sisi lemah Indonesia dalam upaya mencapai swasembada pangan ke depan, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Rusli Abdullah mengungkapkan satu fakta yang mengejutkan. Berdasarkan data INDEF, jumlah petani saat ini yang berusia di bawah 35 tahun hanya 12%. Data INDEF yang diambil dari data sensus pertanian 2013 menunjukkan, 60% rumah tangga usaha pertanian, 60%-nya berusia 45 tahun ke atas.
“Fakta di atas merupakan hal yang perlu diantisipasi mulai saat ini. Apabila tidak ada regenerasi petani, maka akan ada kelangkaan SDM petani yang berakibat pada tingginya upah di sektor pertanian,” ujar Rusli Abdullah di Jakarta.
Menurut dia, solusi untuk ancaman kelangkaan SDM pertanian itu harus dengan mekanisasi pertanian serta penggunaan teknologi informasi untuk sektor pertanian. Generasi milenial sangat suka apabila ada hal-hal yang berbau teknologi informasi. Penggunaan teknologi informasi bisa menjadi salah satu penarik milenial untuk bertani.
Di sinilah peran pemerintah mesti masuk untuk menjembatani rancangan menuju swasembada pangan dan SDM milenial di sektor pertanian. Jika hal ini dapat diatasi, maka impian swasembada pangan akan selangkah lebih mudah untuk dapat dicapai. Jangan sampai kaum milenial justru tidak sadar dengan sejarah negeri yang pernah swasembada pangan di zaman Orde Baru. Ini yang harus diubah sehingga paradigma kaum milenial lebih terbuka.
Dengan kesadaran kaum milenial yang akan menjadi pemimpin bangsa ke depan, semestinya mimpi swasembada pangan bisa terulang semoga dapat tercapai. Bukan tidak mungkin dengan inovasi baru ataupun dengan dukungan teknologi digital baru, dapat ditemukan strategi baru ataupun cara baru menggapai mimpi swasembada pangan sekali lagi di negeri tercinta ini. Itu mimpi besar bersama yang harus diperjuangkan. Siapa pun yang mengemban tugas untuk mewujudkan mimpi besar tersebut.
(akr)