Tarif BPJS Naik, Masyarakat Tak Mampu Bisa Pindah Kelas Iuran BPJS Kesehatan
A
A
A
JAKARTA - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) membuka peluang bagi peserta Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan peserta bukan pekerja untuk pindah kelas iuran BPJS Kesehatan. Hal itu dilakukan guna menekan beban masyarakat yang tergolong tak mampu.
"Jadi kalau kita miskin kelas tiga Rp42.000 tidak mampu, ada kuota penerima bantuan iuran kalau betul-betul tidak mampu. Agar supaya sistem ini bisa berjalan dengan baik," kata Deputi Direksi Bidang Riset dan Pengembangan BPJS Pusat, Andi Afdal Abdullah dalam diskusi bertajuk "Mengapa Tarif BPJS Kesehatan Harus Naik?" yang digelar di Cikini, Jakarta, Minggu (17/11/2019).
Dia menjelaskan, bagi warga yang keberatan dengan tarif iuran BPJS yang naik hingga 100% bisa mengajukan diri sebagai peserta bantuan iuran (PBI). Caranya, kata dia, warga bisa mengurus surat keterangan tidak mampu yang diajjkan ke dinas sosial (Dinsos).
"Jadi kalau kita miskin kelas tiga Rp42.000 tidak mampu, ada kuota penerima bantuan iuran kalau betul-betul tidak mampu. Begitu dengan pemda untuk peserta yang didaftarkan oleh pemda. Jumlahnya hampir setengah yang didampingi oleh pemerintah," terangnya.
Dia juga mengatakan, pemerintah menyediakan kuota dalam membiayai PBI di luar dari kewajiban sebagai pemberi kerja yakni mencapai 96,8 juta yangbdigunakan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sementara 37,3 juta dibiayai melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
"PBI naik menjadi Rp42.000, tapi dibayar oleh pemerintah. Begitu dengan pemda untuk peserta yang didaftarkan oleh pemda. Jumlahnya hampir setengah yang didampingi oleh pemerintah," jelas dia.
Di tempat yang sama, Excecutive Director of Indef, Tauhid Ahmad menyayangkan sikap pemerintah yang menaikan iuran BPJS Kesehatan hingga mencapai 100%. Dia juga mempertanyakan kenaikan iuran itu.
"Pemerintah harus bisa menjelaskan antara perhitungan aktuaria yang diakui oleh BPK terhadap besaran perubahan presentasi kenaikan," kata dia.
Sebelum adanya Kenaikan, peserta PBPU dan BP untuk kelas I bebannya hanya Rp80.000, kelas II Rp63.000 dan kelas III sebesar Rp53.000. Sementara lewat Perpres 75 tahun 2019 yang bakal naik pada 1 Januari 2020 nanti kelas I menjadi Rp160.000, kelas II Rp110.000 dan kelas III Rp42.000.
"Beban itu tentu saja menjadi tidak adil bagi golongan 1 dan II dengan kenaikan hampir dua kali lipat jauh lebih tinggi dari perhitungan orang-orang aktuaria yang jelas menghitung secara profesional," jelas dia.
Menurut dia, pemerintah jauh lebih tinggi menyusun perpres tersebut dengan kenaikan iuran secara sepihak dibandingkan kelompok-kelompok profesional yang telah menghitung biaya kenaikan ini melihat dari biaya keekonomian BPJS, khususnya bagi peserta mandiri. Sehingga selisih jauh ini dianggap menimbulkan persoalan.
"Kalau saya tangkap adalah pemerintah berusaha menambal defisit dengan kenaikan jauh lebih tinggi dari pada biaya keekonomian. Beban itu ditanggung untuk menambal defisit diperkirakan sebesar Rp32,8 triliun pada 2019," katanya.
"Jadi kalau kita miskin kelas tiga Rp42.000 tidak mampu, ada kuota penerima bantuan iuran kalau betul-betul tidak mampu. Agar supaya sistem ini bisa berjalan dengan baik," kata Deputi Direksi Bidang Riset dan Pengembangan BPJS Pusat, Andi Afdal Abdullah dalam diskusi bertajuk "Mengapa Tarif BPJS Kesehatan Harus Naik?" yang digelar di Cikini, Jakarta, Minggu (17/11/2019).
Dia menjelaskan, bagi warga yang keberatan dengan tarif iuran BPJS yang naik hingga 100% bisa mengajukan diri sebagai peserta bantuan iuran (PBI). Caranya, kata dia, warga bisa mengurus surat keterangan tidak mampu yang diajjkan ke dinas sosial (Dinsos).
"Jadi kalau kita miskin kelas tiga Rp42.000 tidak mampu, ada kuota penerima bantuan iuran kalau betul-betul tidak mampu. Begitu dengan pemda untuk peserta yang didaftarkan oleh pemda. Jumlahnya hampir setengah yang didampingi oleh pemerintah," terangnya.
Dia juga mengatakan, pemerintah menyediakan kuota dalam membiayai PBI di luar dari kewajiban sebagai pemberi kerja yakni mencapai 96,8 juta yangbdigunakan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sementara 37,3 juta dibiayai melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
"PBI naik menjadi Rp42.000, tapi dibayar oleh pemerintah. Begitu dengan pemda untuk peserta yang didaftarkan oleh pemda. Jumlahnya hampir setengah yang didampingi oleh pemerintah," jelas dia.
Di tempat yang sama, Excecutive Director of Indef, Tauhid Ahmad menyayangkan sikap pemerintah yang menaikan iuran BPJS Kesehatan hingga mencapai 100%. Dia juga mempertanyakan kenaikan iuran itu.
"Pemerintah harus bisa menjelaskan antara perhitungan aktuaria yang diakui oleh BPK terhadap besaran perubahan presentasi kenaikan," kata dia.
Sebelum adanya Kenaikan, peserta PBPU dan BP untuk kelas I bebannya hanya Rp80.000, kelas II Rp63.000 dan kelas III sebesar Rp53.000. Sementara lewat Perpres 75 tahun 2019 yang bakal naik pada 1 Januari 2020 nanti kelas I menjadi Rp160.000, kelas II Rp110.000 dan kelas III Rp42.000.
"Beban itu tentu saja menjadi tidak adil bagi golongan 1 dan II dengan kenaikan hampir dua kali lipat jauh lebih tinggi dari perhitungan orang-orang aktuaria yang jelas menghitung secara profesional," jelas dia.
Menurut dia, pemerintah jauh lebih tinggi menyusun perpres tersebut dengan kenaikan iuran secara sepihak dibandingkan kelompok-kelompok profesional yang telah menghitung biaya kenaikan ini melihat dari biaya keekonomian BPJS, khususnya bagi peserta mandiri. Sehingga selisih jauh ini dianggap menimbulkan persoalan.
"Kalau saya tangkap adalah pemerintah berusaha menambal defisit dengan kenaikan jauh lebih tinggi dari pada biaya keekonomian. Beban itu ditanggung untuk menambal defisit diperkirakan sebesar Rp32,8 triliun pada 2019," katanya.
(ven)