Dampak Suku Bunga BI Baru Dapat Dirasakan Awal Tahun Depan

Jum'at, 22 November 2019 - 06:32 WIB
Dampak Suku Bunga BI...
Dampak Suku Bunga BI Baru Dapat Dirasakan Awal Tahun Depan
A A A
JAKARTA - Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada Kamis (21/11/2019) memutuskan mempertahankan suku bunga acuan di 5%. Meski tren suku bunga sudah rendah, namun belum banyak berdampak terhadap suku bunga kredit perbankan. Padahal pelaku industri membutuhkan permodalan dari perbankan dengan suku bunga yang "ramah".

Terkait ini, Head of Danareksa Research Institute, Moekti Prasetiani Soejachmoen, mengatakan dampak penurunan suku bunga BI baru dapat dirasakan sekitar awal tahun depan.

"Penurunan suku bunga BI harus di-adopt ke bank-bank, biasanya transmisinya butuh waktu hingga 9 bulan. Walaupun suku bunga acuan BI telah rendah, namun bank tidak dapat serta merta langsung menurunkan bunga (sticky price)," terang Moekti di Jakarta, Kamis (21/11/2019).

Selain itu, meskipun bank-bank memiliki uang berlebih untuk menyalurkan kreditnya namun saat ini mereka lebih berhati-hati untuk memberikan kredit lantaran sejak beberapa tahun lalu NPL atau tingkat kredit bermasalah di beberapa bank cukup tinggi.

Sebelumnya, BI sudah empat bulan beruntun menurunkan suku bunga acuan, masing-masing 25 basis poin (bps). Ini menjadi penurunan paling agresif sejak 2016. Tak hanya suku bunga, Moekti juga menyoroti beberapa sektor di tengah belum kondusifnya pasar modal Tanah Air.

Sektor yang paling terdampak dengan adanya perlambatan ekonomi ialah sektor manufaktur dan komoditas. Pada sektor komoditas, apabila harganya turun (harga komoditas dunia), maka akan berdampak ke sektor pendukung lain misalnya untuk minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), akan berimbas ke petani sawit, pemilik kapal tongkang, logistik, serta dapat berdampak pula ke kredit macet di perbankan, dan lainnya.

"Di kuartal empat ini, harga komoditas dunia masih turun. Jadi saat ini rasanya masih susah untuk dapat lebih baik. Dan untuk memperbaiki current account deficit (CAD) atau neraca transaksi berjalan, saat ini adalah dengan menaikkan investasi yang untuk sektor ekspor," ungkap Moekti.

Dia menegaskan sektor konsumer mikro tidak terlalu berpengaruh atas perlambatan ekonomi. "Konsumen sektor mikro adalah kelas menengah ke bawah. Selama daya beli kelas menengah ke bawah tidak berkurang, maka sektor mikro tidak terlalu berpengaruh," katanya.

Moekti mengungkapkan apalagi sektor mikro yang memproduksi makanan atau kebutuhan sehari-hari. Biasanya apabila terjadi perlambatan ekonomi, sektor makanan, minuman tidak banyak menurun karena sebagai kebutuhan pokok.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6402 seconds (0.1#10.140)