Ahok Jadi Komisaris Utama Pertamina, Pengamat: Pemerintah Ini Ugal Ugalan
A
A
A
JAKARTA - Menteri Badan Usaha Milik Negara(BUMN) Erick Thohir menunjuk Basuki Tjahaja Purnama, yang akrab disapa Ahok, untuk menempati jabatan Komisaris Utama PT Pertamina (Persero). Ini tentunya mengundang pro dan kontra di pandangan publik, terlebih karena ada isu bahwa Komisaris Utama akan menjadi pengawas dan pembina BUMN setelah deputi menteri ditiadakan.
Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies Marwan Batubara mengatakan penunjukkan Ahok sarat dengan kepentingan. "Saya kira yang perlu kita catat dari pemerintahan ini, kalau mereka sudah punya agenda atau kepentingan, maka UU dan peraturan bisa saja dilanggar atau diabaikan," ujar Marwan kepada SINDOnews di Jakarta, Jumat (22/11/2019).
Menurut Marwan, apabila pemerintah ingin konsisten dengan aturan yang ada, peran komisaris harusnya sesuai dengan peran yang sudah dijalankan selama ini.
"Ini kan berarti penyelenggara negara ugal-ugalan, mengakomodasi kepentingan Ahok, yang namanya fit and proper test saja tidak dijalankan," ungkapnya.
Ia mengatakan bahwa bisa saja nanti terjadi dualisme jika Komisaris Utama berperan menjadi pengawas dan pembina BUMN, karena di era ini, posisi apapun bisa diubah untuk melakukan apa saja.
"Kalau bicara soal kegaduhan, ya pasti gaduh. Semua tergantung pemerintah sebagai penyelenggara negara, mau mengikuti konstitusi dan aturan main, atau suka-suka saja," jelasnya.
Marwan memberikan contoh kasus terkait penggunaan dana haji untuk infrastruktur, yang kemudian berujung pada tambahan kuota dan masih ada yang tidak diberangkatkan.
"Sementara itu, DPR yang seharusnya melakukan pengawasan malah diam. Kenapa? Semuanya jadi geng, geng yang tidak mempedulikan nasib rakyat banyak," terang Marwan.
Kondisi ini, menurut dia, bisa menjadi semakin parah. "Ahok tidak punya kualifikasi ataupun pengalaman, dia orang yang harusnya diadili karena banyak kasus dugaan korupsi. Dia tidak memenuhi kriteria governance yang harusnya diperhatikan pemerintah," tegas Marwan.
Hal ini, kata dia, disebabkan oleh KPK yang tidak memproses Ahok, oleh karena itu Ahok dianggap bersih, padahal prosesnya tidak benar.
"Rakyat dipaksa untuk menerima proses hukum yang sesat di KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan karena proses yang tidak seharusnya. Kita dipaksa menerima bahwa dia bersih, apakah itu hal yang benar?," tutur Marwan.
Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies Marwan Batubara mengatakan penunjukkan Ahok sarat dengan kepentingan. "Saya kira yang perlu kita catat dari pemerintahan ini, kalau mereka sudah punya agenda atau kepentingan, maka UU dan peraturan bisa saja dilanggar atau diabaikan," ujar Marwan kepada SINDOnews di Jakarta, Jumat (22/11/2019).
Menurut Marwan, apabila pemerintah ingin konsisten dengan aturan yang ada, peran komisaris harusnya sesuai dengan peran yang sudah dijalankan selama ini.
"Ini kan berarti penyelenggara negara ugal-ugalan, mengakomodasi kepentingan Ahok, yang namanya fit and proper test saja tidak dijalankan," ungkapnya.
Ia mengatakan bahwa bisa saja nanti terjadi dualisme jika Komisaris Utama berperan menjadi pengawas dan pembina BUMN, karena di era ini, posisi apapun bisa diubah untuk melakukan apa saja.
"Kalau bicara soal kegaduhan, ya pasti gaduh. Semua tergantung pemerintah sebagai penyelenggara negara, mau mengikuti konstitusi dan aturan main, atau suka-suka saja," jelasnya.
Marwan memberikan contoh kasus terkait penggunaan dana haji untuk infrastruktur, yang kemudian berujung pada tambahan kuota dan masih ada yang tidak diberangkatkan.
"Sementara itu, DPR yang seharusnya melakukan pengawasan malah diam. Kenapa? Semuanya jadi geng, geng yang tidak mempedulikan nasib rakyat banyak," terang Marwan.
Kondisi ini, menurut dia, bisa menjadi semakin parah. "Ahok tidak punya kualifikasi ataupun pengalaman, dia orang yang harusnya diadili karena banyak kasus dugaan korupsi. Dia tidak memenuhi kriteria governance yang harusnya diperhatikan pemerintah," tegas Marwan.
Hal ini, kata dia, disebabkan oleh KPK yang tidak memproses Ahok, oleh karena itu Ahok dianggap bersih, padahal prosesnya tidak benar.
"Rakyat dipaksa untuk menerima proses hukum yang sesat di KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan karena proses yang tidak seharusnya. Kita dipaksa menerima bahwa dia bersih, apakah itu hal yang benar?," tutur Marwan.
(ven)