Satgas Waspada Investasi Mengedukasi Bahaya Investasi Abal-abal
A
A
A
JAKARTA - SINTIA tidak menyangka kehidupannya kini hanya fokus membayar utang ke bank. Sang suami pun harus menambah pekerjaan menjadi pengojek online pada akhir pekan hanya untuk melunasi pinjaman.
"Cicilan ke bank Rp5 juta sebulan. Bisa dibayangkan, belum untuk kehidupan sehari-hari dengan anak tiga. Cicilan ke bank itu masih 6 tahun lagi," ungkapnya.
Dia mengatakan, dia berutang ke bank karena ulah sang suami yang meminjam uang untuk disetorkan kepada sebuah perusahaan investasi. Pada 2016 sahabat suaminya semasa sekolah menawarkan investasi. Semakin besar menyetor uang, benefit yang didapat pun akan semakin besar pula.
Karena itu suami Sintia pun rela mengikuti arisan Rp20 juta hanya untuk disetor ke perusahaan tersebut. Dia terus semakin tergiur mendapatkan keuntungan berlipat sampai meminjam uang ke bank hingga Rp300 juta.
Setahun berselang, keuntungan yang diharapkan setiap bulan jumlahnya kian menurun. Bahkan belakangan tidak ada transferan sama sekali. Padahal semula setiap bulan rutin ada dana hingga belasan juta masuk ke rekeningnya.
Hingga kini dana yang sudah disetor tidak kunjung kembali. Karena itu Sintia pun curiga kena tipu. Apalagi selama ini suaminya menyetor uang bukan atas nama perusahaan, tetapi atas nama sahabatnya, Heri.
Hingga kini Sintia dan suami belum mengetahui kejelasan investasi yang ditanamkannya. Apakah itu karena perusahaan investasi dari luar negeri itu yang bodong atau justru sahabat suami telah menipunya. "Beberapa teman kami juga tertipu, Heri sendiri mengaku tertipu sehingga kami tidak bisa menuntut Heri yang katanya juga menjadi korban," tutur Sintia.
Pertemanan kawan lama pun hancur akibat investasi yang tidak jelas. Semua kini menanggung akibatnya, suami Sintia pun rela pergi pagi pulang larut malam setiap harinya hanya untuk membayar pinjaman ke bank. Sintia juga enggan membahas keteledoran sang suami yang percaya begitu saja dengan sahabat lamanya.
"Pembahasan masalah ini justru semakin menambah konflik rumah tangga. Pelajaran untuk semua, jangan mudah menyerahkan uang begitu saja, terlebih hasil meminjam ke bank," Sintia berpesan.
Lain lagi yang terjadi pada Diah dengan koperasi langganan sang ayah. Awalnya ayah Diah sering menabung pada sebuah koperasi simpan pinjam di Depok. Awal menabung serta pinjam-meminjam tidak ada masalah hingga ditawari bagi hasil dengan nilai yang lumayan.
"Bapak tergiur hingga menyimpan seluruh uang pensiunnya sebesar Rp70 juta. Suatu saat adik saya menikah, mengambil uang Rp30 juta saja sangat sulit," cerita Diah.
Alasan yang diungkapkan koperasi itu, dana tidak bisa dicairkan sekaligus, tetapi dicicil setiap bulan. Ternyata hanya tiga bulan uang itu dibayarkan, setelah itu tidak ada lagi dana yang bisa diambil seperti yang dijanjikan.
"Rasanya kasihan dengan bapak saya. Uang hasil kerja keras bertahun-tahun ingin diambil seperti ngemis kalau di sana. Anehnya kalau nasabah yang pinjam dana bisa keluar, tetapi untuk dana bapak saya tidak bisa," jelasnya.
Diah hanya bisa pasrah, sebab sangat sulit meminta kembali uangnya. Dia pun penasaran dengan aturan yang jelas mengenai sistem investasi di koperasi. Selama ini tidak ada transparansi sistem bagi hasil yang selama ini ditawarkan.
Kriminolog Eva Achjani Zulfa menilai banyak masyarakat Indonesia yang kini ingin berinvestasi dengan uang langsung dan mengharapkan keuntungan dengan cepat. Padahal jika mengetahui lebih dalam maksud investasi adalah dapat menikmati hasil dalam waktu yang tidak sebentar.Menurutnya, masyarakat dapat mencoba berinvestasi konvensional yang sudah jelas. "Seperti reksadana dari perusahaan yang sudah dijamin pemerintah. Itu akan jauh lebih aman daripada dari lembaga-lembaga yang tidak jelas asal usulnya. Masyarakat harus lebih rasional melihat tawaran keuntungan," ungkapnya.
Bentuk usaha yang dijanjikan juga harus dipahami sebagai seorang investor. Setiap kemungkinan juga harus dilihat apakah mungkin akan dapat mengembalikan uang investasi.
Maraknya kasus investasi bodong di Indonesia membawa Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masuk dalam pusaran. OJK dinilai menjadi pihak yang seharusnya dapat melindungi masyarakat. Padahal kasus investasi bodong yang terjadi ini bukan ranah mereka karena tidak berasal dari sektor keuangan.
Berdasarkan UU No 21/2011 OJK berfungsi untuk mengatur dan mengawasi jasa keuangan. Jasa keuangan terdiri atas perbankan, pasar modal, dan industri keuangan nonbank. Investasi bodong yang banyak merugikan masyarakat mayoritas aktivitas mereka berada di sektor perdagangan, forex, koperasi, travel, investasi uang, peternakan, perkebunan, juga properti.
Konotasi masyarakat saat ini selalu mengaitkan investasi dengan penghimpunan dana masyarakat. Contohnya, kasus Kampung Kurma yang akhir-akhir ini menyita perhatian termasuk investasi perdagangan properti bukan penghimpunan dana atau investasi.
Investasi konvensional yang masuk dalam jasa keuangan seperti saham, reksadana, tabungan deposito itulah yang menjadi tanggung jawab sepenuhnya OJK. Meski begitu, investasi sudah erat kaitannya dengan sektor keuangan yang diawasi OJK. Maka, OJK pun turut ambil bagian membentuk Satgas Waspada Investasi menggandeng 13 institusi lain dari kementerian dan lembaga negara.Antara lain Kepolisian, Kejaksaan Agung, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Kementerian Perdagangan, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Bank Indonesia, Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), dan Kementerian Dalam Negeri.
Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam L Tobing mengatakan, satgas kembali bertugas pada kasus Kampung Kurma. Mereka bukan jasa keuangan, tetapi masuk sektor perdagangan. Mereka menjual kaveling yang kemudian dijanjikan dapat digunakan untuk berinvestasi.
"Satgas menghentikan kegiatan mereka karena legalitas tidak ada. Kalau mereka melakukan aktivitas perdagangan, tentu harus ada surat izin usaha. Bila masuk ke penjualan lahan bisa izin ke Kemen-PUPR. Jika perkebunan, seharusnya mereka izin ke Kementerian Pertanian," ujar Tongam.
Sejak dibentuk pada 2016, Satgas Waspada Investasi selalu mengedukasi masyarakat untuk hati-hati dalam setiap penawaran yang menjanjikan keuntungan besar dalam waktu cepat. Itu termasuk ciri-ciri investasi bodong.
Aktivitas lain yang berkedok investasi yakni dengan mengumpulkan sejumlah uang yang cukup banyak nanti akan menghasilkan berkali kali lipat dari uang tersebut. "Hal tersebut bukan investasi, tapi money game, termasuk penipuan, penggelapan, harus ditangani oleh kepolisian. Apalagi yang tidak dijelaskan risikonya hanya keuntungan semata itu sudah bentuk penipuan," ujarnya.
Tongam mengatakan, Satgas Waspada Investasi juga membuka Warung Waspada Investasi. Hal ini sebagai strategi untuk jemput bola agar masyarakat dapat bertemu langsung dengan anggota Satgas Waspada Investasi. "Kami siap menerima laporan dan pengaduan dari masyarakat terkait persoalan yang menjadi kewenangan satgas untuk ditindaklanjuti," ungkap Tongam.
Sebagai tahap awal, Warung Waspada Investasi akan dibuka setiap hari Jumat pukul 09.00–11.00 WIB di The Gade Coffee & Gold, Jalan H Agus Salim, Jakarta Pusat. (Ananda Nararya)
"Cicilan ke bank Rp5 juta sebulan. Bisa dibayangkan, belum untuk kehidupan sehari-hari dengan anak tiga. Cicilan ke bank itu masih 6 tahun lagi," ungkapnya.
Dia mengatakan, dia berutang ke bank karena ulah sang suami yang meminjam uang untuk disetorkan kepada sebuah perusahaan investasi. Pada 2016 sahabat suaminya semasa sekolah menawarkan investasi. Semakin besar menyetor uang, benefit yang didapat pun akan semakin besar pula.
Karena itu suami Sintia pun rela mengikuti arisan Rp20 juta hanya untuk disetor ke perusahaan tersebut. Dia terus semakin tergiur mendapatkan keuntungan berlipat sampai meminjam uang ke bank hingga Rp300 juta.
Setahun berselang, keuntungan yang diharapkan setiap bulan jumlahnya kian menurun. Bahkan belakangan tidak ada transferan sama sekali. Padahal semula setiap bulan rutin ada dana hingga belasan juta masuk ke rekeningnya.
Hingga kini dana yang sudah disetor tidak kunjung kembali. Karena itu Sintia pun curiga kena tipu. Apalagi selama ini suaminya menyetor uang bukan atas nama perusahaan, tetapi atas nama sahabatnya, Heri.
Hingga kini Sintia dan suami belum mengetahui kejelasan investasi yang ditanamkannya. Apakah itu karena perusahaan investasi dari luar negeri itu yang bodong atau justru sahabat suami telah menipunya. "Beberapa teman kami juga tertipu, Heri sendiri mengaku tertipu sehingga kami tidak bisa menuntut Heri yang katanya juga menjadi korban," tutur Sintia.
Pertemanan kawan lama pun hancur akibat investasi yang tidak jelas. Semua kini menanggung akibatnya, suami Sintia pun rela pergi pagi pulang larut malam setiap harinya hanya untuk membayar pinjaman ke bank. Sintia juga enggan membahas keteledoran sang suami yang percaya begitu saja dengan sahabat lamanya.
"Pembahasan masalah ini justru semakin menambah konflik rumah tangga. Pelajaran untuk semua, jangan mudah menyerahkan uang begitu saja, terlebih hasil meminjam ke bank," Sintia berpesan.
Lain lagi yang terjadi pada Diah dengan koperasi langganan sang ayah. Awalnya ayah Diah sering menabung pada sebuah koperasi simpan pinjam di Depok. Awal menabung serta pinjam-meminjam tidak ada masalah hingga ditawari bagi hasil dengan nilai yang lumayan.
"Bapak tergiur hingga menyimpan seluruh uang pensiunnya sebesar Rp70 juta. Suatu saat adik saya menikah, mengambil uang Rp30 juta saja sangat sulit," cerita Diah.
Alasan yang diungkapkan koperasi itu, dana tidak bisa dicairkan sekaligus, tetapi dicicil setiap bulan. Ternyata hanya tiga bulan uang itu dibayarkan, setelah itu tidak ada lagi dana yang bisa diambil seperti yang dijanjikan.
"Rasanya kasihan dengan bapak saya. Uang hasil kerja keras bertahun-tahun ingin diambil seperti ngemis kalau di sana. Anehnya kalau nasabah yang pinjam dana bisa keluar, tetapi untuk dana bapak saya tidak bisa," jelasnya.
Diah hanya bisa pasrah, sebab sangat sulit meminta kembali uangnya. Dia pun penasaran dengan aturan yang jelas mengenai sistem investasi di koperasi. Selama ini tidak ada transparansi sistem bagi hasil yang selama ini ditawarkan.
Kriminolog Eva Achjani Zulfa menilai banyak masyarakat Indonesia yang kini ingin berinvestasi dengan uang langsung dan mengharapkan keuntungan dengan cepat. Padahal jika mengetahui lebih dalam maksud investasi adalah dapat menikmati hasil dalam waktu yang tidak sebentar.Menurutnya, masyarakat dapat mencoba berinvestasi konvensional yang sudah jelas. "Seperti reksadana dari perusahaan yang sudah dijamin pemerintah. Itu akan jauh lebih aman daripada dari lembaga-lembaga yang tidak jelas asal usulnya. Masyarakat harus lebih rasional melihat tawaran keuntungan," ungkapnya.
Bentuk usaha yang dijanjikan juga harus dipahami sebagai seorang investor. Setiap kemungkinan juga harus dilihat apakah mungkin akan dapat mengembalikan uang investasi.
Maraknya kasus investasi bodong di Indonesia membawa Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masuk dalam pusaran. OJK dinilai menjadi pihak yang seharusnya dapat melindungi masyarakat. Padahal kasus investasi bodong yang terjadi ini bukan ranah mereka karena tidak berasal dari sektor keuangan.
Berdasarkan UU No 21/2011 OJK berfungsi untuk mengatur dan mengawasi jasa keuangan. Jasa keuangan terdiri atas perbankan, pasar modal, dan industri keuangan nonbank. Investasi bodong yang banyak merugikan masyarakat mayoritas aktivitas mereka berada di sektor perdagangan, forex, koperasi, travel, investasi uang, peternakan, perkebunan, juga properti.
Konotasi masyarakat saat ini selalu mengaitkan investasi dengan penghimpunan dana masyarakat. Contohnya, kasus Kampung Kurma yang akhir-akhir ini menyita perhatian termasuk investasi perdagangan properti bukan penghimpunan dana atau investasi.
Investasi konvensional yang masuk dalam jasa keuangan seperti saham, reksadana, tabungan deposito itulah yang menjadi tanggung jawab sepenuhnya OJK. Meski begitu, investasi sudah erat kaitannya dengan sektor keuangan yang diawasi OJK. Maka, OJK pun turut ambil bagian membentuk Satgas Waspada Investasi menggandeng 13 institusi lain dari kementerian dan lembaga negara.Antara lain Kepolisian, Kejaksaan Agung, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Kementerian Perdagangan, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Bank Indonesia, Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), dan Kementerian Dalam Negeri.
Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam L Tobing mengatakan, satgas kembali bertugas pada kasus Kampung Kurma. Mereka bukan jasa keuangan, tetapi masuk sektor perdagangan. Mereka menjual kaveling yang kemudian dijanjikan dapat digunakan untuk berinvestasi.
"Satgas menghentikan kegiatan mereka karena legalitas tidak ada. Kalau mereka melakukan aktivitas perdagangan, tentu harus ada surat izin usaha. Bila masuk ke penjualan lahan bisa izin ke Kemen-PUPR. Jika perkebunan, seharusnya mereka izin ke Kementerian Pertanian," ujar Tongam.
Sejak dibentuk pada 2016, Satgas Waspada Investasi selalu mengedukasi masyarakat untuk hati-hati dalam setiap penawaran yang menjanjikan keuntungan besar dalam waktu cepat. Itu termasuk ciri-ciri investasi bodong.
Aktivitas lain yang berkedok investasi yakni dengan mengumpulkan sejumlah uang yang cukup banyak nanti akan menghasilkan berkali kali lipat dari uang tersebut. "Hal tersebut bukan investasi, tapi money game, termasuk penipuan, penggelapan, harus ditangani oleh kepolisian. Apalagi yang tidak dijelaskan risikonya hanya keuntungan semata itu sudah bentuk penipuan," ujarnya.
Tongam mengatakan, Satgas Waspada Investasi juga membuka Warung Waspada Investasi. Hal ini sebagai strategi untuk jemput bola agar masyarakat dapat bertemu langsung dengan anggota Satgas Waspada Investasi. "Kami siap menerima laporan dan pengaduan dari masyarakat terkait persoalan yang menjadi kewenangan satgas untuk ditindaklanjuti," ungkap Tongam.
Sebagai tahap awal, Warung Waspada Investasi akan dibuka setiap hari Jumat pukul 09.00–11.00 WIB di The Gade Coffee & Gold, Jalan H Agus Salim, Jakarta Pusat. (Ananda Nararya)
(nfl)