IPC Memiliki Modal Besar Menjadi Trade Facilitator Kelas Dunia
A
A
A
JAKARTA - Hari sudah mulai senja, namun aktifitas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara pada Jumat (22/11/2019) masih terlihat ramai. Truk-truk berukuran besar yang mengangkut kontainer masih hilir mudik di pelabuhan tersibuk di Tanah Air itu. Dulu, orang begitu mudah masuk pelabuhan yang dikelola oleh PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II atau yang dikenal dengan Indonesia Port Corporations (IPC) itu dari pos 1 maupun pos 9.
Namun, sejak diterapkan penggunaan e-smart card dengan nama IPC Smart Card, sekarang tak sembarang orang bisa mengakses pelabuhan dengan leluasa. Hanya pihak-pihak yang berkepentingan saja yang bisa masuk. Penggunaan IPC Smart Card sendiri dimaksudkan menjaga ketertiban dan membatasi pihak-pihak yang tidak berkepentingan yang selama ini bisa bebas keluar masuk area pelabuhan.
Kesan semrawut dan kotor yang menjadi salah satu ciri khas pelabuhan zaman dulu kini sudah hilang. Tanjung Priok terlihat semakin bersih, rapih dan modern. Tak ada lagi penjaja kopi dan rokok yang bisa leluasa masuk ke area pelabuhan. Juga tak ada lagi kemacetan parah di sekitar pelabuhan seperti yang kerap terjadi beberapa tahun lalu. ‘’Sekarang tidak ada macet, kecuali jika ada truk kontainer yang mogok,’’ujar Mu’min Setiaji (38) warga Tanjung Priok, kepada SINDOnews, Jumat (22/11/2019).
Mu’min yang berprofesi sebagai driver GoJek itu mengungkapkan, setiap hari dirinya melintasi kawasan pelabuhan untuk mengantarkan istrinya bekerja di Pluit, Jakarta Utara. ‘’Pagi antar istri bekerja, sorenya jemput. Setiap hari saya lewat sekitar pelabuhan, tidak ada macet seperti dulu. Karena truk dari tol sudah langsung masuk ke pelabuhan,’’ungkapnya.
Pembenahan infrastruktur di luar pelabuhan maupun di dalam pelabuhan yang dilakukan oleh IPC di kawasan Tanjung Priok tak hanya dirasakan oleh warga sekitar saja, tapi juga oleh para pengguna jasa kepelabuhanan. Di dalam pelabuhan, IPC terus melakukan transformasi berupa digitalisasi di seluruh layanan kepelabuhanan.
“Sudah sejak tahun lalu masuk ke pelabuhan menggunakan smart card. Kartunya bisa juga untuk bayar tol,’’ujar Eri Sobari (47), pengemudi truk yang ditemui SINDOnews di kawasan Jl RE Martadinata, Jakarta Utara Jumat (22/11/2019).
Eri yang bekerja di salah satu perusahaan logistik yang berkantor di ruko Megah, Bandengan Utara, Penjaringan, Jakarta Utara itu mengaku, penggunaan IPC smart card memudahkan dirinya untuk masuk dan keluar pelabuhan tanpa antrean yang panjang dan melelahkan. ‘’Tidak perlu lagi menyiapkan uang tunai dan saldonya sudah diisi oleh perusahaan,’’ungkapnya.
Kendati tak mau menyebutkan barang apa yang dia kapalkan, namun Eri mengaku setiap hari mengirimkan satu kontainer barang dengan tujuan Kalimantan. Eri mengungkapkan, sejak tiga tahun lalu, proses pengiriman barang melalui pelabuhan Tanjung Priok jauh lebih lancar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. ‘’Sekarang semuanya cepat karena menggunakan elektronik. Saya tidak perlu lagi berlama-lama di pelabuhan,’’ungkapnya.
Truk yang dikemudikan Eri juga telah dipasangi nomor identifikasi. Waktu tunggu di tempat parkir (buffer parking) pun dirasakannya lebih cepat. ‘’Gerbangnya juga sudah otomatis, jadi semakin baik lah pelayanan di Tanjung Priok,’’paparnya.
Sejak tiga tahun lalu, sejumlah langkah strategis untuk memacu produktivitas logistik dengan digitalisasi telah dilakukan IPC. Tak hanya di pelabuhan Tanjung Priok saja, tetapi juga di seluruh pelabuhan yang dikelolanya. Misalnya, sistem informasi layanan tunggal secara elektronik berbasis internet yang dinamai inaportnet. Sistem tersebut mencakup layanan e-registration, e-tracking dan tracing, e-booking, e-payment, e-billing dan e-care. IPC juga menghadirkan fitur vessel traffic system (VTS), platform marine operating system (MOS), juga peti kemas dan non peti kemas terminal operation system. Ada juga aplikasi auto tally, auto gate serta e-service. ‘’Digitalisasi layanan kepelabuhan di Tanjung Priok sudah sangat bagus dan bisa diterima oleh pengguna jasa termasuk anggota kami. Dengan digitalisasi ini semuanya menjadi lebih efisien," tegas Direktur Eksekutif DPP Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Budi Wiyono kepada SINDOnews.
Senada dengan Budi, Direktur Marketing PT Suzuki Indomobil Sales (SIS) Donny Saputra menilai, digitalisasi yang dilakukan oleh IPC tersebut dirasakan sangat membantu kelancaran kegiatan ekspor mobil dan komponen Suzuki dari Indonesia ke banyak negara di dunia. "Kami mengekspor mobil dan komponen lewat pelabuhan khusus mobil yang dikelola anak perusahaan IPC di Tanjung Priok. Fasilitas dan layanannya sudah setara dengan pelabuhan-pelabuhan besar lain di dunia. Ekspor mobil dan komponen yang kami lakukan tidak pernah mengalami masalah,’’ungkapnya.
Bahkan, Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Kukuh Kumara menilai, digitalisasi yang dilakukan IPC membantu produktivitas dan menghadirkan efisiensi dalam kegiatan ekspor mobil, baik secara utuh (completely built up/CBU) maupun terurai (completely knocked down/CKD). ‘’Saat ini ekspor mobil CBU naik 28% dan ekspor CKD naik 400%. Semua dikirim dari Tanjung Priok. Peningkatan ini memang salah satunya karena dukungan kelancaran proses di pelabuhan,’’paparnya.
Dengan adanya auto gate system yang diterapkan di pelabuhan khusus ekspor mobil yang dikelola anak usaha IPC yakni PT Indonesia Kendaraan Terminal Tbk. (IKT) yang terintegrasi dengan pelayanan bea dan cukai, ekspor kendaraan bermotor dalam bentuk CBU anggota Gaikindo menjadi lebih cepat karena waktu pelayanan yang lebih singkat. Dengan integrasi tersebut, proses pengurusan dokumen yang meliputi nota pelayanan ekspor (NPE), persetujuan konsolidasi barang ekspor (PKBE) dan lainnya juga menjadi lebih singat. "Mobil tidak perlu menunggu lama dan langsung masuk ke kapal," ungkap Kukuh.
Transformasi yang dilakukan oleh IPC pun tak berhenti pada proses digitalisasi saja, tetapi lebih dari itu. Manajemen IPC memiliki agenda besar menjadikan pelabuhan yang dikelolanya tak hanya sebagai Digital Port yang mampu menghadirkan efisiensi waktu dan biaya logistik saja, tetapi juga berfungsi sebagai pelabuhan fasilitator perdagangan (trade facilitator) dan mampu bersaing dengan pelabuhan-pelabuhan lain di dunia.
Direktur Utama IPC Elvyn G Masassya di Gedung Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rabu (20/11/2019) menegaskan, IPC tak akan berhenti sebagai pengelola dan penyedia jasa kepelabuhanan saja, tetapi lebih dari itu, manajemen IPC akan menjadikan pelabuhan yang dikelola menjadi trade facilitator kelas dunia. ‘’Kami tidak hanya melakukan transformasi digital saja tetapi juga melakukan transformasi menjadi trade facilitator. Bahkan ke depan menjadi trade accelerator,’’tegasnya. Dia optimistis transformasi sebagai fasilitator perdagangan tak hanya akan menurunkan biaya logistik tetapi juga bisa menghadirkan ekosistem kepelabuhanan yang memiliki daya saing tinggi.
Transformasi digital yang sudah dilakukan, menjadi langkah awal IPC untuk menggapai pencapaian lebih tinggi lagi. Dengan transformasi digital, pelayanan kepelabuhanan yang terkait dengan logistic kini menjadi lebih murah, dan lebih cepat. Biaya logistik turun, sehingga daya saing industri yang mengirimkan barang menggunakan jasa pelabuhan meningkat. Tak hanya itu, keuntungan lain dari digitalisasi itu akan membuat harga barang menjadi lebih murah karena biaya distribusi turun akibat proses pendistribusian barang yang lebih cepat.
Untuk menjadi fasilitator perdagangan, IPC telah menyiapkan peta jalan 2020-2024, dimana setelah berhasil menjadi Digital Port berkelas dunia, IPC akan menjadi fasilitator perdagangan kelas dunia pada 2024. Dengan demikian, ke depan, kata Elvyn, para pengguna jasa kepelabuhanan akan bersinergi dengan penyedia jasa dalam satu platform. Sehingga para pengguna jasa dan layanan kepelabuhanan bisa memilih jasa dan layanan sesuai dengan yang dibutuhkan.
Direktur The National Maritime Institute (Namarin) Siswanto Rusdi menilai, transformasi digital yang dilakukan oleh IPC dibawah komando Elvyn G Masassya tersebut merupakan modal besar untuk mencapai target sebagai fasilitator perdagangan. ‘’Saya menilai IPC sukses melakukan transformasi digital, dan itu menjadi modal sangat benting bagi IPC dalam rangka menuju sebagai trade facilitator,’’tegasnya.
Dengan transformasi digital tersebut, IPC sudah bisa bersaing dengan pelabuhan-pelabuhan besar lain di dunia. Bahkan, IPC diyakini bisa menyaingi pelabuhan lainnya di kawasan Asia Tenggara seperti pelabuhan Singapura yang dikelola PSA Singapore dan Jurong Port yang saat ini sudah terhubung dengan 600 pelabuhan lainnya di dunia, atau pelabuhan Laem Chabang di Thailand.
Transformasi digital yang dilakukan IPC, dinilai juga menjadi modal besar untuk menjadikan IPC menjadi alternatif hub internasional di kawasan Asia Tenggara. "Apalagi sekarang Tanjung Priok sudah mampu disinggahi kapal besar sehingga pengiriman barang bisa langsung dilakukan ke negara tujuan. Misalnya ke Amerika, Eropa, China maupun Rusia," tegasnya.
Namun demikian, Siswanto menilai, IPC perlu memperluas kerjasama dan memperkuat jaringan dengan perusahaan-perusahaan pelayaran global. ‘’IPC kan tidak punya kapal, sehingga pak Elvyn perlu untuk sering melakukan komunikasi dengan perusahaan pelayaran dunia yang melakukan aktivitas perdagangan lintas benua," tegasnya.
Siswanto menambahkan, pemerintah juga perlu memberikan dukungan penuh terhadap langkah yang telah diambil IPC dalam rangka melakukan transformasi menjadi fasilitator perdagangan dunia. "Biarkan saja IPC menjalankan agenda-agenda besarnya. Jangan diganggu dengan kebijakan-kebijakan atau aturan yang justru membatasi ruang gerak IPC," tegas Siswanto.
Pelabuhan-pelabuhan di dunia, saat ini sudah banyak yang bertransformasi menjadi fasilitator perdagangan. Pelabuhan Rotterdam di Belanda misalnya, tak hanya menerapkan teknologi otomatisasi saja di layanan kepelabuhanan, tetapi juga mengintegrasikan berbagai pemangku kepentingan dalam sebuah ekosistem pelabuhan. Sehingga proses pengambilan keputusan yang melibatkan para pemangku kepentingan bisa diambil lebih cepat. Hal yang sama juga dilakukan di pelabuhan Hamburg, Jerman. Di pelabuhan ini, penggunaan jaringan 5G mampu mempercepat proses layanan kepelabuhanan dan pengurusan dokumen. "Jadi, pemerintah perlu memberikan dukungan total kepada IPC," tegas Siswanto.
Sinergi dan Dukungan Pemerintah
Langkah IPC untuk menjadi fasilitator perdagangan kelas dunia memang tinggal selangkah lagi. Proses digitalisasi pelabuhan telah membuat IPC setara dengan pengelola pelabuhan lainnya di seluruh penjuru dunia. Pengguna jasa kepelabuhanan telah merasakan dampak positif dari proses digitalisasi tersebut. Sejumlah pihak menilai, di masa depan, IPC diyakini mampu melangkah lebih maju lagi dari sekadar menjadi pelabuhan kelas dunia. "Tetapi dia (IPC) perlu bersinergi dan berkolaborasi dengan stakeholder (pemangku kepentingan) yang lain," ujar Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Industri Manufaktur Johnny Darmawan kepada SINDOnews.
Stakeholder lain seperti perusahaan pelayaran, industri, dan regulator perlu diajak duduk bersama untuk membicarakan mengenai apa yang ingin dicapai pengelola pelabuhan di masa mendatang. Johnny, yang juga mantan anggota Komite Ekonomi dan Industri (KEIN) ini menilai, IPC memiliki kemampuan untuk terus berkembang. Tak sekadar sebagai pengelola dan penyedia jasa kepelabuhanan saja tetapi lebih dari itu, termasuk sebagai fasilitator perdagangan. "Mereka mengelola pelabuhan dengan baik. Kapal-kapal besar sudah bisa masuk di Tanjung Priok dan bisa melakukan pengiriman direct ke negara tujuan," tegasnya.
Menurut Johnny, yang perlu diperhatikan ke depan, bukan pada persoalan fasilitas atau fitur di pelabuhan tetapi masalah sinkronisasi regulasi, sehingga keterhubungan antar pelabuhan tidak mengalami hambatan. "Misalnya pelabuhan-pelabuhan di daerah, itu aturan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah kadang tidak sinkron dengan yang ada di pusat. Ini yang bisa menghambat, dan perlu menjadi perhatian ke depan. Bukan pada pelabuhannya, pelabuhan sudah bagus," tuturnya. Johnny juga menilai, pengelola pelabuhan seperti IPC harus mendapatkan dukungan penuh tak hanya dari pemerintah pusat tetapi juga pemerintah daerah.
Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Zaldi Ilham Masita berpendapat, proses digitaliasi yang dilakukan oleh IPC harus terintegrasi dengan pemangku kepentingan lainnya. Sehingga tercipta ekosistem kepelabuhanan yang saling terkoneksi. Misalnya dengan pihak yang berwenang untuk melakukan otorisasi dokumen. "Kami sudah melakukan penyesuaian dengan proses digitalisasi itu. Harapan kami agar lebih cepat lagi, proses-proses yang sekarang masih manual perlu ditiadakan secepatnya," tegasnya.
Zaldi menilai, masih adanya ego sektoral antara stakeholder pelabuhan akan menyebabkan proses integrasi tidak berjalan lancar. Sehingga para stakeholder perlu duduk bersama untuk menyelesaikan persoalan tersebut.
Senada dengan Zaldi, Budi Wiyono mengungkapkan, saat ini ALFI memiliki anggota sebanyak 1.200 perusahaan. Dalam menjalankan kegiatan logistik, perusahaan-perusahaan logistik masih merasakan panjangnya proses yang harus dilalui. "Ada 15 kementerian dan tiga lembaga negara yang terlibat dalam ekosistem kepelabuhanan, dan belum terintegrasi secara online semuanya. Padahal, di pelabuhan yang dikelola IPC semua sudah online," tegasnya.
Budi menegaskan, untuk mendukung suksesnya IPC menjadi fasilitator perdagangan, maka peran pemerintah dinilai sangat penting. Khususnya dalam mensinergikan dan mengintegrasikan kementerian dan lembaga yang terkait ke dalam satu sistem. "Di Singapura otoritas untuk izin ekspor maupun impor dilakukan hanya oleh satu divisi di pelabuhan, dan selesai dalam hitungan menit. Di kita prosesnya panjang, karena itu ego sektoral harus dihilangkan, apalagi pelabuhannya sudah maju. Regulator perlu saling sinergi dengan IPC," tegasnya.
Pelabuhan di Singapura memang masih menjadi salah satu pelabuhan transhipment untuk komoditas atau produk-produk tertentu yang dikirimkan dalam jumlah besar. Toyota misalnya, melakukan pengapalan beberapa jenis mobil yang di ekspor melalui Singapura. "Jadi untuk beberapa produk setelah kami kirimkan dari Tanjung Priok kemudian dipindahkan di Singapura. Lalu dikapalkan berbarengan dengan produk lain dari pabrik di Thailand dan Jepang ke negara-negara tujuan ekspor," ungkap Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Bob Azam.
Menurut Bob, peluang IPC untuk menggantikan menjadi hub bagi produk-produk Toyota terbuka lebar dengan fasilitas yang dimiliki oleh IPC saat ini. "Tinggal bagaimana pemerintah melakukan pendekatan ke pihak principal kami (Toyota Motor Corp.). Misalnya, pemerintah menyampaikan kepada principal kami bahwa Indonesia sudah memiliki pelabuhan yang besar dan canggih. Sehingga mereka tertarik untuk mengapalkan mobil dari Thailand dan Jepang untuk dikirim ke negara tujuan melalui Indonesia," katanya.
Laut, tak sekadar sebagai lalu lintas pengiriman barang dan jasa saja. Tetapi lebih dari itu, laut kini menjadi salah satu arah masa depan Indonesia dengan cita-cita menjadi Poros Maritim Dunia seperti yang dicanangkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 2014 silam. Pilar ketiga Indonesia menjadi Poros Maritim Dunia adalah mendorong pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim yang dicapai dengan membangun tol laut, pelabuhan yang handal, dan logistik yang efisien. Sebagai salah satu yang memiliki peran dalam mencapai tujuan tersebut, termasuk dalam meningkatkan perekonomian nasional melalui perdagangan, pengelola pelabuhan termasuk IPC tak boleh berhenti untuk terus melakukan inovasi. "Dan yang paling penting, dukungan penuh dari pemerintah agar pelabuhan bisa menjadi fasilitator perdagangan seperti yang sekarang dilakukan oleh negara lain," ujar Siswanto Rusdi.
Namun, sejak diterapkan penggunaan e-smart card dengan nama IPC Smart Card, sekarang tak sembarang orang bisa mengakses pelabuhan dengan leluasa. Hanya pihak-pihak yang berkepentingan saja yang bisa masuk. Penggunaan IPC Smart Card sendiri dimaksudkan menjaga ketertiban dan membatasi pihak-pihak yang tidak berkepentingan yang selama ini bisa bebas keluar masuk area pelabuhan.
Kesan semrawut dan kotor yang menjadi salah satu ciri khas pelabuhan zaman dulu kini sudah hilang. Tanjung Priok terlihat semakin bersih, rapih dan modern. Tak ada lagi penjaja kopi dan rokok yang bisa leluasa masuk ke area pelabuhan. Juga tak ada lagi kemacetan parah di sekitar pelabuhan seperti yang kerap terjadi beberapa tahun lalu. ‘’Sekarang tidak ada macet, kecuali jika ada truk kontainer yang mogok,’’ujar Mu’min Setiaji (38) warga Tanjung Priok, kepada SINDOnews, Jumat (22/11/2019).
Mu’min yang berprofesi sebagai driver GoJek itu mengungkapkan, setiap hari dirinya melintasi kawasan pelabuhan untuk mengantarkan istrinya bekerja di Pluit, Jakarta Utara. ‘’Pagi antar istri bekerja, sorenya jemput. Setiap hari saya lewat sekitar pelabuhan, tidak ada macet seperti dulu. Karena truk dari tol sudah langsung masuk ke pelabuhan,’’ungkapnya.
Pembenahan infrastruktur di luar pelabuhan maupun di dalam pelabuhan yang dilakukan oleh IPC di kawasan Tanjung Priok tak hanya dirasakan oleh warga sekitar saja, tapi juga oleh para pengguna jasa kepelabuhanan. Di dalam pelabuhan, IPC terus melakukan transformasi berupa digitalisasi di seluruh layanan kepelabuhanan.
“Sudah sejak tahun lalu masuk ke pelabuhan menggunakan smart card. Kartunya bisa juga untuk bayar tol,’’ujar Eri Sobari (47), pengemudi truk yang ditemui SINDOnews di kawasan Jl RE Martadinata, Jakarta Utara Jumat (22/11/2019).
Eri yang bekerja di salah satu perusahaan logistik yang berkantor di ruko Megah, Bandengan Utara, Penjaringan, Jakarta Utara itu mengaku, penggunaan IPC smart card memudahkan dirinya untuk masuk dan keluar pelabuhan tanpa antrean yang panjang dan melelahkan. ‘’Tidak perlu lagi menyiapkan uang tunai dan saldonya sudah diisi oleh perusahaan,’’ungkapnya.
Kendati tak mau menyebutkan barang apa yang dia kapalkan, namun Eri mengaku setiap hari mengirimkan satu kontainer barang dengan tujuan Kalimantan. Eri mengungkapkan, sejak tiga tahun lalu, proses pengiriman barang melalui pelabuhan Tanjung Priok jauh lebih lancar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. ‘’Sekarang semuanya cepat karena menggunakan elektronik. Saya tidak perlu lagi berlama-lama di pelabuhan,’’ungkapnya.
Truk yang dikemudikan Eri juga telah dipasangi nomor identifikasi. Waktu tunggu di tempat parkir (buffer parking) pun dirasakannya lebih cepat. ‘’Gerbangnya juga sudah otomatis, jadi semakin baik lah pelayanan di Tanjung Priok,’’paparnya.
Sejak tiga tahun lalu, sejumlah langkah strategis untuk memacu produktivitas logistik dengan digitalisasi telah dilakukan IPC. Tak hanya di pelabuhan Tanjung Priok saja, tetapi juga di seluruh pelabuhan yang dikelolanya. Misalnya, sistem informasi layanan tunggal secara elektronik berbasis internet yang dinamai inaportnet. Sistem tersebut mencakup layanan e-registration, e-tracking dan tracing, e-booking, e-payment, e-billing dan e-care. IPC juga menghadirkan fitur vessel traffic system (VTS), platform marine operating system (MOS), juga peti kemas dan non peti kemas terminal operation system. Ada juga aplikasi auto tally, auto gate serta e-service. ‘’Digitalisasi layanan kepelabuhan di Tanjung Priok sudah sangat bagus dan bisa diterima oleh pengguna jasa termasuk anggota kami. Dengan digitalisasi ini semuanya menjadi lebih efisien," tegas Direktur Eksekutif DPP Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Budi Wiyono kepada SINDOnews.
Senada dengan Budi, Direktur Marketing PT Suzuki Indomobil Sales (SIS) Donny Saputra menilai, digitalisasi yang dilakukan oleh IPC tersebut dirasakan sangat membantu kelancaran kegiatan ekspor mobil dan komponen Suzuki dari Indonesia ke banyak negara di dunia. "Kami mengekspor mobil dan komponen lewat pelabuhan khusus mobil yang dikelola anak perusahaan IPC di Tanjung Priok. Fasilitas dan layanannya sudah setara dengan pelabuhan-pelabuhan besar lain di dunia. Ekspor mobil dan komponen yang kami lakukan tidak pernah mengalami masalah,’’ungkapnya.
Bahkan, Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Kukuh Kumara menilai, digitalisasi yang dilakukan IPC membantu produktivitas dan menghadirkan efisiensi dalam kegiatan ekspor mobil, baik secara utuh (completely built up/CBU) maupun terurai (completely knocked down/CKD). ‘’Saat ini ekspor mobil CBU naik 28% dan ekspor CKD naik 400%. Semua dikirim dari Tanjung Priok. Peningkatan ini memang salah satunya karena dukungan kelancaran proses di pelabuhan,’’paparnya.
Dengan adanya auto gate system yang diterapkan di pelabuhan khusus ekspor mobil yang dikelola anak usaha IPC yakni PT Indonesia Kendaraan Terminal Tbk. (IKT) yang terintegrasi dengan pelayanan bea dan cukai, ekspor kendaraan bermotor dalam bentuk CBU anggota Gaikindo menjadi lebih cepat karena waktu pelayanan yang lebih singkat. Dengan integrasi tersebut, proses pengurusan dokumen yang meliputi nota pelayanan ekspor (NPE), persetujuan konsolidasi barang ekspor (PKBE) dan lainnya juga menjadi lebih singat. "Mobil tidak perlu menunggu lama dan langsung masuk ke kapal," ungkap Kukuh.
Transformasi yang dilakukan oleh IPC pun tak berhenti pada proses digitalisasi saja, tetapi lebih dari itu. Manajemen IPC memiliki agenda besar menjadikan pelabuhan yang dikelolanya tak hanya sebagai Digital Port yang mampu menghadirkan efisiensi waktu dan biaya logistik saja, tetapi juga berfungsi sebagai pelabuhan fasilitator perdagangan (trade facilitator) dan mampu bersaing dengan pelabuhan-pelabuhan lain di dunia.
Direktur Utama IPC Elvyn G Masassya di Gedung Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rabu (20/11/2019) menegaskan, IPC tak akan berhenti sebagai pengelola dan penyedia jasa kepelabuhanan saja, tetapi lebih dari itu, manajemen IPC akan menjadikan pelabuhan yang dikelola menjadi trade facilitator kelas dunia. ‘’Kami tidak hanya melakukan transformasi digital saja tetapi juga melakukan transformasi menjadi trade facilitator. Bahkan ke depan menjadi trade accelerator,’’tegasnya. Dia optimistis transformasi sebagai fasilitator perdagangan tak hanya akan menurunkan biaya logistik tetapi juga bisa menghadirkan ekosistem kepelabuhanan yang memiliki daya saing tinggi.
Transformasi digital yang sudah dilakukan, menjadi langkah awal IPC untuk menggapai pencapaian lebih tinggi lagi. Dengan transformasi digital, pelayanan kepelabuhanan yang terkait dengan logistic kini menjadi lebih murah, dan lebih cepat. Biaya logistik turun, sehingga daya saing industri yang mengirimkan barang menggunakan jasa pelabuhan meningkat. Tak hanya itu, keuntungan lain dari digitalisasi itu akan membuat harga barang menjadi lebih murah karena biaya distribusi turun akibat proses pendistribusian barang yang lebih cepat.
Untuk menjadi fasilitator perdagangan, IPC telah menyiapkan peta jalan 2020-2024, dimana setelah berhasil menjadi Digital Port berkelas dunia, IPC akan menjadi fasilitator perdagangan kelas dunia pada 2024. Dengan demikian, ke depan, kata Elvyn, para pengguna jasa kepelabuhanan akan bersinergi dengan penyedia jasa dalam satu platform. Sehingga para pengguna jasa dan layanan kepelabuhanan bisa memilih jasa dan layanan sesuai dengan yang dibutuhkan.
Direktur The National Maritime Institute (Namarin) Siswanto Rusdi menilai, transformasi digital yang dilakukan oleh IPC dibawah komando Elvyn G Masassya tersebut merupakan modal besar untuk mencapai target sebagai fasilitator perdagangan. ‘’Saya menilai IPC sukses melakukan transformasi digital, dan itu menjadi modal sangat benting bagi IPC dalam rangka menuju sebagai trade facilitator,’’tegasnya.
Dengan transformasi digital tersebut, IPC sudah bisa bersaing dengan pelabuhan-pelabuhan besar lain di dunia. Bahkan, IPC diyakini bisa menyaingi pelabuhan lainnya di kawasan Asia Tenggara seperti pelabuhan Singapura yang dikelola PSA Singapore dan Jurong Port yang saat ini sudah terhubung dengan 600 pelabuhan lainnya di dunia, atau pelabuhan Laem Chabang di Thailand.
Transformasi digital yang dilakukan IPC, dinilai juga menjadi modal besar untuk menjadikan IPC menjadi alternatif hub internasional di kawasan Asia Tenggara. "Apalagi sekarang Tanjung Priok sudah mampu disinggahi kapal besar sehingga pengiriman barang bisa langsung dilakukan ke negara tujuan. Misalnya ke Amerika, Eropa, China maupun Rusia," tegasnya.
Namun demikian, Siswanto menilai, IPC perlu memperluas kerjasama dan memperkuat jaringan dengan perusahaan-perusahaan pelayaran global. ‘’IPC kan tidak punya kapal, sehingga pak Elvyn perlu untuk sering melakukan komunikasi dengan perusahaan pelayaran dunia yang melakukan aktivitas perdagangan lintas benua," tegasnya.
Siswanto menambahkan, pemerintah juga perlu memberikan dukungan penuh terhadap langkah yang telah diambil IPC dalam rangka melakukan transformasi menjadi fasilitator perdagangan dunia. "Biarkan saja IPC menjalankan agenda-agenda besarnya. Jangan diganggu dengan kebijakan-kebijakan atau aturan yang justru membatasi ruang gerak IPC," tegas Siswanto.
Pelabuhan-pelabuhan di dunia, saat ini sudah banyak yang bertransformasi menjadi fasilitator perdagangan. Pelabuhan Rotterdam di Belanda misalnya, tak hanya menerapkan teknologi otomatisasi saja di layanan kepelabuhanan, tetapi juga mengintegrasikan berbagai pemangku kepentingan dalam sebuah ekosistem pelabuhan. Sehingga proses pengambilan keputusan yang melibatkan para pemangku kepentingan bisa diambil lebih cepat. Hal yang sama juga dilakukan di pelabuhan Hamburg, Jerman. Di pelabuhan ini, penggunaan jaringan 5G mampu mempercepat proses layanan kepelabuhanan dan pengurusan dokumen. "Jadi, pemerintah perlu memberikan dukungan total kepada IPC," tegas Siswanto.
Sinergi dan Dukungan Pemerintah
Langkah IPC untuk menjadi fasilitator perdagangan kelas dunia memang tinggal selangkah lagi. Proses digitalisasi pelabuhan telah membuat IPC setara dengan pengelola pelabuhan lainnya di seluruh penjuru dunia. Pengguna jasa kepelabuhanan telah merasakan dampak positif dari proses digitalisasi tersebut. Sejumlah pihak menilai, di masa depan, IPC diyakini mampu melangkah lebih maju lagi dari sekadar menjadi pelabuhan kelas dunia. "Tetapi dia (IPC) perlu bersinergi dan berkolaborasi dengan stakeholder (pemangku kepentingan) yang lain," ujar Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Industri Manufaktur Johnny Darmawan kepada SINDOnews.
Stakeholder lain seperti perusahaan pelayaran, industri, dan regulator perlu diajak duduk bersama untuk membicarakan mengenai apa yang ingin dicapai pengelola pelabuhan di masa mendatang. Johnny, yang juga mantan anggota Komite Ekonomi dan Industri (KEIN) ini menilai, IPC memiliki kemampuan untuk terus berkembang. Tak sekadar sebagai pengelola dan penyedia jasa kepelabuhanan saja tetapi lebih dari itu, termasuk sebagai fasilitator perdagangan. "Mereka mengelola pelabuhan dengan baik. Kapal-kapal besar sudah bisa masuk di Tanjung Priok dan bisa melakukan pengiriman direct ke negara tujuan," tegasnya.
Menurut Johnny, yang perlu diperhatikan ke depan, bukan pada persoalan fasilitas atau fitur di pelabuhan tetapi masalah sinkronisasi regulasi, sehingga keterhubungan antar pelabuhan tidak mengalami hambatan. "Misalnya pelabuhan-pelabuhan di daerah, itu aturan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah kadang tidak sinkron dengan yang ada di pusat. Ini yang bisa menghambat, dan perlu menjadi perhatian ke depan. Bukan pada pelabuhannya, pelabuhan sudah bagus," tuturnya. Johnny juga menilai, pengelola pelabuhan seperti IPC harus mendapatkan dukungan penuh tak hanya dari pemerintah pusat tetapi juga pemerintah daerah.
Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Zaldi Ilham Masita berpendapat, proses digitaliasi yang dilakukan oleh IPC harus terintegrasi dengan pemangku kepentingan lainnya. Sehingga tercipta ekosistem kepelabuhanan yang saling terkoneksi. Misalnya dengan pihak yang berwenang untuk melakukan otorisasi dokumen. "Kami sudah melakukan penyesuaian dengan proses digitalisasi itu. Harapan kami agar lebih cepat lagi, proses-proses yang sekarang masih manual perlu ditiadakan secepatnya," tegasnya.
Zaldi menilai, masih adanya ego sektoral antara stakeholder pelabuhan akan menyebabkan proses integrasi tidak berjalan lancar. Sehingga para stakeholder perlu duduk bersama untuk menyelesaikan persoalan tersebut.
Senada dengan Zaldi, Budi Wiyono mengungkapkan, saat ini ALFI memiliki anggota sebanyak 1.200 perusahaan. Dalam menjalankan kegiatan logistik, perusahaan-perusahaan logistik masih merasakan panjangnya proses yang harus dilalui. "Ada 15 kementerian dan tiga lembaga negara yang terlibat dalam ekosistem kepelabuhanan, dan belum terintegrasi secara online semuanya. Padahal, di pelabuhan yang dikelola IPC semua sudah online," tegasnya.
Budi menegaskan, untuk mendukung suksesnya IPC menjadi fasilitator perdagangan, maka peran pemerintah dinilai sangat penting. Khususnya dalam mensinergikan dan mengintegrasikan kementerian dan lembaga yang terkait ke dalam satu sistem. "Di Singapura otoritas untuk izin ekspor maupun impor dilakukan hanya oleh satu divisi di pelabuhan, dan selesai dalam hitungan menit. Di kita prosesnya panjang, karena itu ego sektoral harus dihilangkan, apalagi pelabuhannya sudah maju. Regulator perlu saling sinergi dengan IPC," tegasnya.
Pelabuhan di Singapura memang masih menjadi salah satu pelabuhan transhipment untuk komoditas atau produk-produk tertentu yang dikirimkan dalam jumlah besar. Toyota misalnya, melakukan pengapalan beberapa jenis mobil yang di ekspor melalui Singapura. "Jadi untuk beberapa produk setelah kami kirimkan dari Tanjung Priok kemudian dipindahkan di Singapura. Lalu dikapalkan berbarengan dengan produk lain dari pabrik di Thailand dan Jepang ke negara-negara tujuan ekspor," ungkap Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Bob Azam.
Menurut Bob, peluang IPC untuk menggantikan menjadi hub bagi produk-produk Toyota terbuka lebar dengan fasilitas yang dimiliki oleh IPC saat ini. "Tinggal bagaimana pemerintah melakukan pendekatan ke pihak principal kami (Toyota Motor Corp.). Misalnya, pemerintah menyampaikan kepada principal kami bahwa Indonesia sudah memiliki pelabuhan yang besar dan canggih. Sehingga mereka tertarik untuk mengapalkan mobil dari Thailand dan Jepang untuk dikirim ke negara tujuan melalui Indonesia," katanya.
Laut, tak sekadar sebagai lalu lintas pengiriman barang dan jasa saja. Tetapi lebih dari itu, laut kini menjadi salah satu arah masa depan Indonesia dengan cita-cita menjadi Poros Maritim Dunia seperti yang dicanangkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 2014 silam. Pilar ketiga Indonesia menjadi Poros Maritim Dunia adalah mendorong pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim yang dicapai dengan membangun tol laut, pelabuhan yang handal, dan logistik yang efisien. Sebagai salah satu yang memiliki peran dalam mencapai tujuan tersebut, termasuk dalam meningkatkan perekonomian nasional melalui perdagangan, pengelola pelabuhan termasuk IPC tak boleh berhenti untuk terus melakukan inovasi. "Dan yang paling penting, dukungan penuh dari pemerintah agar pelabuhan bisa menjadi fasilitator perdagangan seperti yang sekarang dilakukan oleh negara lain," ujar Siswanto Rusdi.
(ven)