Pengolahan Sampah Plastik Belum Optimal, Produsen Harus Ambil Bagian
A
A
A
JAKARTA - Pelaku industri menerangkan, pemakaian plastik per kapita di Indonesia masih rendah yang diperkirakan sekitar 21-22 kg per tahun dengan total jumlah sekitar 5,9 juta ton per tahun. Meski volumenya terbilang lebih rendah dibandingkan Korea dan Jepang, akan tetapi sampah plastik menjadi permasalahan besar karena pengelolaan yang belum optimal.
“Korea itu pemakaian plastik sudah 141 kg per kapita per tahun, demikian juga dengan Jepang konsumsi per kapita kira-kira 80 kg per tahun,” lanjut Wakil Ketua Asosiasi Industri Olefin Aromatik dan Plastik Indonesia Edi Rivai dalam acara Social Good Summit 2019 bertajuk Climate Crisis: It’s Up to You to Stop It! yang berlangsung di Jakarta, Selasa (26/11/2019).
Edi menambahkan meski volume relatif lebih kecil dibanding negara lain, namun sampah palstik menjadi permasalahan besar, karena pengelolaannya belum optimal. “Jadi ke depan tinggal bagaimana kita mengelola dari out put (sampah) plastik itu sendiri,” sambunya.
Caranya antara lain terang dia dengan melibatkan rumah tangga untuk memilah sampah dari rumah. Terlebih menurut Edi, pada dasarnya plastik diproduksi bukan untuk sekali pakai.
Berdasarkan survei yang dihelat Katadata Insight Center (KIC) terhadap 354 responden di lima kota besar, yaitu Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya, tercatat rumah tangga yang memilah sampah di Indonesia baru mencapai 49,2%. Dalam survei ini dari 50,8% rumah tangga yang tidak memilah sampah mencapai 79%, di antaranya beralasan karena tidak ingin repot.
“Mereka berpikir ribet, milih ini jenis apa, dan mereka juga berpikir nanti di tempat pembuangan, sampah akan tercampur,” kata Franklin Michael Hutasoid dari KIC dalam paparan Kelola Sampah Mulai dari Rumah di acara Social Good Summit 2019.
Social Good Summit sendiri menampilkan para pembicara sesi dua yang bertema “Climate Change and Plastic Waste Recycling Management” menampilkan pembicara Wakil Ketua Umum ADUPI Justin Wiganda, Project Executive Waste4Change Pandu Priyambodo, Direktur Suistanable Waste Indonesia Dini Trisyanti, Wakil Ketua Asosiaso Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) Edi Rivai, dan UNDP Senior Programme Manager (Analyst) Anton Probiyantono.
Franklin menjelaskan responden yang tidak memilah sampah dengan alasan sampah akan tercampur di Tempat Pembuangan Sampah (TPS) atau Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sebanyak 17% sedangkan sebanyak 3% menyebut pemilahan tidak ada manfaatnya dan 1% mengemukakan alasan lain.
Survei juga menggambarkan cara-cara rumah tangga memilah sampah. Dari 49,2% yang memilah sampah, sebanyak 78% memilah dalam dua ketegori, 18% dalam tiga kategori dan 5% menyatakan telaten memilah sampah dalam empat kategori.
Pemilahan dengan kategori sampah basah dan kering dilakukan oleh 59% responden. "Pemisahannya sampah kering dan basah tidak cukup, karena idealnya ada pemisahan organik, anorganik, dan limbah berbahaya,” kata Franklin.
Sementara untuk pemilahan sampah oleh responen dengan kategori organik dan anorganik (19%), organik, plastik dan lainnya (13%), daur ulang dan yang lainnya (5%), plastik kaleng dan lainnya (3%), serta plastik kertas dan lainnya (1%).
Sisa makanan, plastik, dan kertas, mendominasi sampah rumah tangga responden. Dari jenis sampah ini, para responden menjawab pertanyaan multiple tentang sampah yang seharusnya dipisahkan. Untuk pemilahan sampah plastik, responden yang setuju mencakup 78% dan untuk sisa makanan/kompos, termasuk kulit buah dan potongan sayur, responden yang sepakat mencapai 62 persen.
Sejauh ini sampah yang sudah dipisahkan oleh responden, untuk sampah plastik sebsar 46% dan sisa makanan/kompos, termasuk kulit buah dan potongan sayur sebanyak 45 persen. Rumah tangga menjadi salah satu produsen sampah terbesar dari total jumlah sampah di Indonesia. Dalam satu jam, Indonesia memproduksi 7.300 ton sampah atau 175 ribu ton per hari. “Dalam satu hari, jumlah itu bisa menimbun Gelora Bung Karno,” lanjut Franklin.
Jika dikumpulkan selama 10 tahun akan mencapai 640 juta ton atau 64 juta ton per tahun dengan jenis sampah sisa makanan, sisa tumbuhan (masakan, sayuran, buah dan lain-lain) mencapai 60%. Sumbangan sampah plastik di Indonesia mencapai 14%, sampah kertas 9% dan 17% merupakan sampah lainnya, seperti karet dan logam.
Dalam survei, KIC melontarkan pertanyaan, apakah sampah plastik perlu segera diatasi? Dengan sistem skoring skor 1 sangat tidak setuju dan skor 5 untuk jawaban sangat setuju, diperoleh angka 4,4 untuk responden yang sepakat sampah plastik perlu segera diatasi.
Untuk pernyataan plastik dalam bentuk apapun (tidak hanya kantong plastik) memiliki banyak manfaaf, skor yang diperolah 3.8. Sedangkan pernyataan emisi karbon plastik jauh lebih kecil dibandingkah material penggantinya, seperti kertas, alumunium, kaca, didapat skor 3.3.
Dalam pengelolan sampah, Indonesia bisa merujuk ke Swedia. Berdasarkan data Avfall Sverige 2018, di negara itu sebanyak 6,17 juta ton sampah plastik, makanan, kayu, dan lain-lain dijadikan sumber energi dan menghasilkan listrik sebesar 18,3 Terawatt Hours (TWh). Listrik sebesar itu digunakan untuk pemanas ruangan 1,2 juta apartemen dan kebutuhan listrik 680 ribu apartemen.
Capaian Swedia ini didukung aturan pemerintah kota yang wajib memiliki regulasi yang jelas dan fasilitas untuk pengelolaan sampah dan produsen diwajibkan untuk mengumpulkan kembali sampah dari produknya. Selain itu masyarakat umum diwajibkan untuk memilah sampah rumah tangga dan menaruhnya di tempat pengumpulan sampah yang disediakan pemerintah setempat.
Lalu apa langkah selanjutnya untuk menggerakan masyarakat Indonesia menjadi pemilah sampah sejak dari rumah, seperti yang dilakukan di Swedia? Hasil survei Katadata menyebut 54% responden menginginkan ada infrastruktur daur ulang di TPS dekat rumah. Sebanyak 26% menjawab ada insentif bagi rumah tangga yang memilah sampah.
Sedangkan usulan pembatasan penggunaan kantong plastik di ritel/supermarket disampaikan 19% responden, dan hanya 1% yang menyebut perlunya insentif bagi perusahaan yang mengelola sampah. Tanpa insentif, sebanyak 79% menyatakan ya, akan memilah sampah. Sedangkan jika ada insentif, jumlah responden yang menyatakan akan memilah sampah meningkat menjadi 98%.
Dari survei yang dihelat antara 28 September hingga 1 Oktober 2019, Katadata menyimpulkan, pengelolaan sampah perlu dilakukan dengan memilah sampah mulai dari rumah. Untuk mendorong partipasi publik menjadi bagian pengelolaan sampah sejak dari rumah, dibutuhkan penyediaan insfrastruktur daur ulang dan sistem sirkular sampah.
Selain itu dibutuhkan penegakkan hukum terkait pengelolaan sampah. Belajar dari Swedia, kewajiban perlu diterapkan di setiap lini dan disertai penegakkan hukum atas kewajiban. Sebagai pendorong partisipasi semua pihak, insentif bagi yang mengelola sampah juga perlu diberikan. “Kita jangan skeptis, sebab pemilahan sampah dari rumah dengan sederhana akan memberi kontribusi pada ekonomi sirkular,” lanjut Franklin dari KIC.
Pandu Priyambodo dari Project Executif Waste4Change mengatakan, kesadaran masyarakat mengelola masih kecil, sehingga harus mulai didorong melalui edukasi. “Masyarakat kita harus bisa naik kelas,dari yang tagline-nya buang sampah pada tempat mnjadi pilahlah sampah sesuai jenisnya,” tambah Pandu.
Sementara Anton Probiyantono, UNDP Senior Programme Manager (Analyst), berharap dunia usaha turut ambil bagian. “Kita dorong produsen untuk menggunakan atau menghasilkan bahan yang lebih ramah linkungan,” tutup Anton.
“Korea itu pemakaian plastik sudah 141 kg per kapita per tahun, demikian juga dengan Jepang konsumsi per kapita kira-kira 80 kg per tahun,” lanjut Wakil Ketua Asosiasi Industri Olefin Aromatik dan Plastik Indonesia Edi Rivai dalam acara Social Good Summit 2019 bertajuk Climate Crisis: It’s Up to You to Stop It! yang berlangsung di Jakarta, Selasa (26/11/2019).
Edi menambahkan meski volume relatif lebih kecil dibanding negara lain, namun sampah palstik menjadi permasalahan besar, karena pengelolaannya belum optimal. “Jadi ke depan tinggal bagaimana kita mengelola dari out put (sampah) plastik itu sendiri,” sambunya.
Caranya antara lain terang dia dengan melibatkan rumah tangga untuk memilah sampah dari rumah. Terlebih menurut Edi, pada dasarnya plastik diproduksi bukan untuk sekali pakai.
Berdasarkan survei yang dihelat Katadata Insight Center (KIC) terhadap 354 responden di lima kota besar, yaitu Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya, tercatat rumah tangga yang memilah sampah di Indonesia baru mencapai 49,2%. Dalam survei ini dari 50,8% rumah tangga yang tidak memilah sampah mencapai 79%, di antaranya beralasan karena tidak ingin repot.
“Mereka berpikir ribet, milih ini jenis apa, dan mereka juga berpikir nanti di tempat pembuangan, sampah akan tercampur,” kata Franklin Michael Hutasoid dari KIC dalam paparan Kelola Sampah Mulai dari Rumah di acara Social Good Summit 2019.
Social Good Summit sendiri menampilkan para pembicara sesi dua yang bertema “Climate Change and Plastic Waste Recycling Management” menampilkan pembicara Wakil Ketua Umum ADUPI Justin Wiganda, Project Executive Waste4Change Pandu Priyambodo, Direktur Suistanable Waste Indonesia Dini Trisyanti, Wakil Ketua Asosiaso Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) Edi Rivai, dan UNDP Senior Programme Manager (Analyst) Anton Probiyantono.
Franklin menjelaskan responden yang tidak memilah sampah dengan alasan sampah akan tercampur di Tempat Pembuangan Sampah (TPS) atau Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sebanyak 17% sedangkan sebanyak 3% menyebut pemilahan tidak ada manfaatnya dan 1% mengemukakan alasan lain.
Survei juga menggambarkan cara-cara rumah tangga memilah sampah. Dari 49,2% yang memilah sampah, sebanyak 78% memilah dalam dua ketegori, 18% dalam tiga kategori dan 5% menyatakan telaten memilah sampah dalam empat kategori.
Pemilahan dengan kategori sampah basah dan kering dilakukan oleh 59% responden. "Pemisahannya sampah kering dan basah tidak cukup, karena idealnya ada pemisahan organik, anorganik, dan limbah berbahaya,” kata Franklin.
Sementara untuk pemilahan sampah oleh responen dengan kategori organik dan anorganik (19%), organik, plastik dan lainnya (13%), daur ulang dan yang lainnya (5%), plastik kaleng dan lainnya (3%), serta plastik kertas dan lainnya (1%).
Sisa makanan, plastik, dan kertas, mendominasi sampah rumah tangga responden. Dari jenis sampah ini, para responden menjawab pertanyaan multiple tentang sampah yang seharusnya dipisahkan. Untuk pemilahan sampah plastik, responden yang setuju mencakup 78% dan untuk sisa makanan/kompos, termasuk kulit buah dan potongan sayur, responden yang sepakat mencapai 62 persen.
Sejauh ini sampah yang sudah dipisahkan oleh responden, untuk sampah plastik sebsar 46% dan sisa makanan/kompos, termasuk kulit buah dan potongan sayur sebanyak 45 persen. Rumah tangga menjadi salah satu produsen sampah terbesar dari total jumlah sampah di Indonesia. Dalam satu jam, Indonesia memproduksi 7.300 ton sampah atau 175 ribu ton per hari. “Dalam satu hari, jumlah itu bisa menimbun Gelora Bung Karno,” lanjut Franklin.
Jika dikumpulkan selama 10 tahun akan mencapai 640 juta ton atau 64 juta ton per tahun dengan jenis sampah sisa makanan, sisa tumbuhan (masakan, sayuran, buah dan lain-lain) mencapai 60%. Sumbangan sampah plastik di Indonesia mencapai 14%, sampah kertas 9% dan 17% merupakan sampah lainnya, seperti karet dan logam.
Dalam survei, KIC melontarkan pertanyaan, apakah sampah plastik perlu segera diatasi? Dengan sistem skoring skor 1 sangat tidak setuju dan skor 5 untuk jawaban sangat setuju, diperoleh angka 4,4 untuk responden yang sepakat sampah plastik perlu segera diatasi.
Untuk pernyataan plastik dalam bentuk apapun (tidak hanya kantong plastik) memiliki banyak manfaaf, skor yang diperolah 3.8. Sedangkan pernyataan emisi karbon plastik jauh lebih kecil dibandingkah material penggantinya, seperti kertas, alumunium, kaca, didapat skor 3.3.
Dalam pengelolan sampah, Indonesia bisa merujuk ke Swedia. Berdasarkan data Avfall Sverige 2018, di negara itu sebanyak 6,17 juta ton sampah plastik, makanan, kayu, dan lain-lain dijadikan sumber energi dan menghasilkan listrik sebesar 18,3 Terawatt Hours (TWh). Listrik sebesar itu digunakan untuk pemanas ruangan 1,2 juta apartemen dan kebutuhan listrik 680 ribu apartemen.
Capaian Swedia ini didukung aturan pemerintah kota yang wajib memiliki regulasi yang jelas dan fasilitas untuk pengelolaan sampah dan produsen diwajibkan untuk mengumpulkan kembali sampah dari produknya. Selain itu masyarakat umum diwajibkan untuk memilah sampah rumah tangga dan menaruhnya di tempat pengumpulan sampah yang disediakan pemerintah setempat.
Lalu apa langkah selanjutnya untuk menggerakan masyarakat Indonesia menjadi pemilah sampah sejak dari rumah, seperti yang dilakukan di Swedia? Hasil survei Katadata menyebut 54% responden menginginkan ada infrastruktur daur ulang di TPS dekat rumah. Sebanyak 26% menjawab ada insentif bagi rumah tangga yang memilah sampah.
Sedangkan usulan pembatasan penggunaan kantong plastik di ritel/supermarket disampaikan 19% responden, dan hanya 1% yang menyebut perlunya insentif bagi perusahaan yang mengelola sampah. Tanpa insentif, sebanyak 79% menyatakan ya, akan memilah sampah. Sedangkan jika ada insentif, jumlah responden yang menyatakan akan memilah sampah meningkat menjadi 98%.
Dari survei yang dihelat antara 28 September hingga 1 Oktober 2019, Katadata menyimpulkan, pengelolaan sampah perlu dilakukan dengan memilah sampah mulai dari rumah. Untuk mendorong partipasi publik menjadi bagian pengelolaan sampah sejak dari rumah, dibutuhkan penyediaan insfrastruktur daur ulang dan sistem sirkular sampah.
Selain itu dibutuhkan penegakkan hukum terkait pengelolaan sampah. Belajar dari Swedia, kewajiban perlu diterapkan di setiap lini dan disertai penegakkan hukum atas kewajiban. Sebagai pendorong partisipasi semua pihak, insentif bagi yang mengelola sampah juga perlu diberikan. “Kita jangan skeptis, sebab pemilahan sampah dari rumah dengan sederhana akan memberi kontribusi pada ekonomi sirkular,” lanjut Franklin dari KIC.
Pandu Priyambodo dari Project Executif Waste4Change mengatakan, kesadaran masyarakat mengelola masih kecil, sehingga harus mulai didorong melalui edukasi. “Masyarakat kita harus bisa naik kelas,dari yang tagline-nya buang sampah pada tempat mnjadi pilahlah sampah sesuai jenisnya,” tambah Pandu.
Sementara Anton Probiyantono, UNDP Senior Programme Manager (Analyst), berharap dunia usaha turut ambil bagian. “Kita dorong produsen untuk menggunakan atau menghasilkan bahan yang lebih ramah linkungan,” tutup Anton.
(akr)