Apindo Menilai Revisi PP 109/2012 Pengaruhi Perekonomian
A
A
A
JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) menilai revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi kesehatan, tidak bisa hanya memihak satu sektor tertentu dan mengesampingkan urgensi kepentingan yang lebih besar.
“Negara tidak bisa diatur oleh satu kepentingan tertentu. Harus berimbang antara berbagai urgensi. Ada hal yang lebih mendesak daripada revisi PP 109/2012,” kata Direktur Eksekutif Apindo Danang Giriwardana di Jakarta, kemarin.
Dengan merevisi PP 109/2012, industri hasil tembakau (IHT) dikhawatirkan akan semakin tertekan dan menyebabkan target cukai 2020 tidak akan tercapai. Apalagi baru-baru ini melalui PMK No. 152/2019, pemerintah memutuskan untuk menaikkan tarif cukai yang sangat tinggi sebesar 23% dan harga jual eceran (HJE) sebesar 35% pada Januari 2020. Ini merupakan kenaikan tertinggi dalam sepuluh tahun terakhir.
“Kalau kementerian pengusung revisi tidak memahami kepentingan ekonomi secara makro nasional, maka cenderung akan menerbitkan kebijakan-kebijakan yang tidak peduli dengan kepentingan lain. Pihak birokrasi bisa mempelajari data bahwa PDB didongkrak oleh cukai tembakau. Serapan tenaga kerja dari sektor ini juga masif. Rantai supply chain dalam IHT juga sangat terkait erat dengan pertumbuhan ekonomi,” kata Danang.
Menurut Danang, ekosistem ekonomi akan mengalami tantangan lebih berat tahun depan. Hal ini berarti pendapatan negara dari pajak, cukai, dan utang luar negeri, akan terganggu dan sangat berpotensi menurun. Pemerintah tengah mempersiapkan berbagai cara untuk menjaga kestabilan ekonomi.
Tekanan pada industri tentu akan mengancam seluruh mata rantai produksi yang terlibat mulai dari tenaga kerja dan bisnis di bidang perkebunan, pertanian tembakau dan cengkeh; pabrikan; hingga ritel; serta lini usaha lain yang terkait. Selama lima tahun terakhir, terdapat lebih dari 90.000 tenaga kerja pabrikan yang telah mengalami PHK. Jumlah produsen juga mengalami penurunan dari 4.000an pelaku industri pada 2007 hingga kini hanya tersisa 700an.
Danang mengaku hingga kini belum diajak membahas terkait rencana revisi PP 109/2012. “Saya sebagai Direktur Eksekutif Apindo belum diajak membahas terkait rencana perubahan PP 109/2012, meskipun pada intinya saya sudah membaca berita-berita tentang substansi perubahan itu,” ujarnya.
Sebelumnya, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) juga telah menyampaikan penolakan revisi PP 109/2012. Alasannya, PP 109/2012 dinilai sudah cukup mengendalikan konsumsi rokok di masyarakat. Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Abdul Rochim menjelaskan, saat ini yang diperlukan adalah pengawasan dan penegakan hukum atas peraturan pemerintah itu. “Kemenperin memandang revisi PP Nomor 109/2012 belum diperlukan,“ kata Rochim di Jakarta.
“Negara tidak bisa diatur oleh satu kepentingan tertentu. Harus berimbang antara berbagai urgensi. Ada hal yang lebih mendesak daripada revisi PP 109/2012,” kata Direktur Eksekutif Apindo Danang Giriwardana di Jakarta, kemarin.
Dengan merevisi PP 109/2012, industri hasil tembakau (IHT) dikhawatirkan akan semakin tertekan dan menyebabkan target cukai 2020 tidak akan tercapai. Apalagi baru-baru ini melalui PMK No. 152/2019, pemerintah memutuskan untuk menaikkan tarif cukai yang sangat tinggi sebesar 23% dan harga jual eceran (HJE) sebesar 35% pada Januari 2020. Ini merupakan kenaikan tertinggi dalam sepuluh tahun terakhir.
“Kalau kementerian pengusung revisi tidak memahami kepentingan ekonomi secara makro nasional, maka cenderung akan menerbitkan kebijakan-kebijakan yang tidak peduli dengan kepentingan lain. Pihak birokrasi bisa mempelajari data bahwa PDB didongkrak oleh cukai tembakau. Serapan tenaga kerja dari sektor ini juga masif. Rantai supply chain dalam IHT juga sangat terkait erat dengan pertumbuhan ekonomi,” kata Danang.
Menurut Danang, ekosistem ekonomi akan mengalami tantangan lebih berat tahun depan. Hal ini berarti pendapatan negara dari pajak, cukai, dan utang luar negeri, akan terganggu dan sangat berpotensi menurun. Pemerintah tengah mempersiapkan berbagai cara untuk menjaga kestabilan ekonomi.
Tekanan pada industri tentu akan mengancam seluruh mata rantai produksi yang terlibat mulai dari tenaga kerja dan bisnis di bidang perkebunan, pertanian tembakau dan cengkeh; pabrikan; hingga ritel; serta lini usaha lain yang terkait. Selama lima tahun terakhir, terdapat lebih dari 90.000 tenaga kerja pabrikan yang telah mengalami PHK. Jumlah produsen juga mengalami penurunan dari 4.000an pelaku industri pada 2007 hingga kini hanya tersisa 700an.
Danang mengaku hingga kini belum diajak membahas terkait rencana revisi PP 109/2012. “Saya sebagai Direktur Eksekutif Apindo belum diajak membahas terkait rencana perubahan PP 109/2012, meskipun pada intinya saya sudah membaca berita-berita tentang substansi perubahan itu,” ujarnya.
Sebelumnya, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) juga telah menyampaikan penolakan revisi PP 109/2012. Alasannya, PP 109/2012 dinilai sudah cukup mengendalikan konsumsi rokok di masyarakat. Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Abdul Rochim menjelaskan, saat ini yang diperlukan adalah pengawasan dan penegakan hukum atas peraturan pemerintah itu. “Kemenperin memandang revisi PP Nomor 109/2012 belum diperlukan,“ kata Rochim di Jakarta.
(don)