Iuran 134 Juta Peserta JKN-KIS Dibayari Pemerintah
A
A
A
JAKARTA - Terbitnya Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019, penyesuaian iuran JKN-KIS resmi berlaku. Melalui kebijakan baru ini pemerintah terkena beban paling besar, yaitu 73,63 persen dari total iuran.
Dari 222 juta peserta JKN-KIS, sekitar 60 persen peserta dibiayai oleh pemerintah. Tepatnya, ada 96,8 juta penduduk miskin dan tidak mampu yang iuran JKN-KIS-nya ditanggung negara lewat APBN dan 37,3 juta penduduk yang ditanggung oleh APBD. Selain itu, juga ada iuran untuk aparatur sipil negara maupun TNI dan Polri.
“Cakupan kepesertaan untuk JKN-KIS dari 133 juta orang di 2014, sekarang sudah 222 juta orang. Dari keseluruhan itu, 96 juta adalah masyarakat yang tidak mampu yang digratiskan oleh pemerintah, yang iurannya dibantu pemerintah. Perlu juga saya sampaikan, hingga 2018 pemerintah telah mengeluarkan dana Rp kurang lebih Rp 115 triliun. Belum lagi iuran yang disubsidi oleh pemerintah daerah. Itu 37 juta orang,” kata Presiden RI Joko Widodo.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris menjelaskan, di tahun 2019 saja, total biaya yang dibayar pemerintah untuk segmen PBI APBN sebesar Rp 48,71 triliun. Sementara untuk tahun 2020, pemerintah akan membayari segmen PBI APBN sebesar Rp 48,74 triliun. Belum lagi untuk segmen PBI APBD.
Di sisi lain, berdasarkan kajian Persatuan Aktuaris Indonesia (PAI), iuran peserta JKN-KIS segmen Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) atau peserta mandiri kelas 1 seharusnya sebesar Rp 274.204,- per orang per bulan, kelas 2 adalah Rp 190.639,- per orang per bulan, dan kelas 3 adalah Rp 131.195,- per orang per bulan. Hasil perhitungan besaran iuran segmen PBPU ini relatif tinggi sehingga pemerintah turun tangan agar iuran JKN-KIS untuk segmen PBPU ini tak sebesar semestinya.
Melalui Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019, pemerintah menetapkan iuran peserta mandiri kelas 1 sebesar Rp 160.000, kelas 2 sebesar Rp 110.000, dan kelas 3 sebesar Rp 42.000. Artinya, pemerintah menyubsidi sekitar Rp 89.000,- per orang untuk kelas 3, sekitar Rp 80.000,- per orang untuk kelas 2, dan sekitar Rp 114.000,- per orang untuk kelas 1. Hal ini dilakukan pemerintah agar besaran iuran JKN-KIS yang baru masih bisa dijangkau peserta mandiri.
“Jadi jangan bilang pemerintah tidak berpihak pada rakyat, justru pemerintah sudah sangat memperhatikan kondisi rakyatnya. Negara justru sangat hadir, selain membayari segmen PBI juga memberi subsidi untuk segmen PBPU,” tegas Fachmi.
Keseriusan pemerintah dalam menjaga keberlangsungan Program JKN-KIS bukan hanya dilakukan lewat penyesuaian iuran saja. Dengan angka pemanfaatan pelayanan kesehatan yang meningkat dari tahun ke tahun, pemerintah sudah beberapa kali memberikan suntikan dana agar perputaran roda manfaat Program JKN-KIS bisa terus dirasakan masyarakat Indonesia yang membutuhkan akses layanan kesehatan. Tahun 2015, pemerintah menggelontorkan suntikan dana sebesar Rp 5 triliun, tahun 2016 sebesar Rp 6,82 triliun, tahun 2017 sebesar Rp 3,6 triliun, dan pada tahun 2018 sebesar 10,26 triliun.
“Hal ini menunjukkan komitmen pemerintah yang luar biasa agar Program JKN-KIS dapat tetap diakses oleh seluruh lapisan masyarakat,” kata Fachmi.
Fachmi menjelaskan, penyesuaian iuran JKN-KIS juga harus diikuti dengan pembenahan kualitas layanan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) maupun di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) atau rumah sakit. Pasalnya, penyesuaian iuran ini juga membawa efek domino yang positif bagi fasilitas kesehatan maupun peserta JKN-KIS. Melalui penyesuaian iuran JKN-KIS, maka ada kesesuaian antara biaya pelayanan kesehatan dengan sumber pembiayaan, sehingga likuiditas BPJS Kesehatan dapat berjalan baik. Dampaknya, pembayaran klaim fasilitas kesehatan bisa dilakukan tepat waktu sehingga cashflow fasilitas kesehatan terjaga dan kualitas layanan meningkat. Dampak lainnya, peserta JKN-KIS pun puas karena memperoleh layanan yang mudah, cepat, dan pasti. Di sisi lain, masyarakat yang belum menjadi peserta JKN-KIS diharapkan menjadi lebih yakin untuk mendaftar karena pelayanan yang semakin baik.
“Rasionalisasi iuran ini harus menjadi momentum bersama seluruh stakeholders untuk menjaga kualitas pelayanan. Agar hasilnya optimal, perbaikan layanan ini harus dilakukan secara bersama oleh semua pihak, mulai dari kementerian/lembaga, BPJS Kesehatan, pemerintah daerah, manajemen fasilitas kesehatan, hingga tenaga kesehatan,” ujar Fachmi.
Dari 222 juta peserta JKN-KIS, sekitar 60 persen peserta dibiayai oleh pemerintah. Tepatnya, ada 96,8 juta penduduk miskin dan tidak mampu yang iuran JKN-KIS-nya ditanggung negara lewat APBN dan 37,3 juta penduduk yang ditanggung oleh APBD. Selain itu, juga ada iuran untuk aparatur sipil negara maupun TNI dan Polri.
“Cakupan kepesertaan untuk JKN-KIS dari 133 juta orang di 2014, sekarang sudah 222 juta orang. Dari keseluruhan itu, 96 juta adalah masyarakat yang tidak mampu yang digratiskan oleh pemerintah, yang iurannya dibantu pemerintah. Perlu juga saya sampaikan, hingga 2018 pemerintah telah mengeluarkan dana Rp kurang lebih Rp 115 triliun. Belum lagi iuran yang disubsidi oleh pemerintah daerah. Itu 37 juta orang,” kata Presiden RI Joko Widodo.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris menjelaskan, di tahun 2019 saja, total biaya yang dibayar pemerintah untuk segmen PBI APBN sebesar Rp 48,71 triliun. Sementara untuk tahun 2020, pemerintah akan membayari segmen PBI APBN sebesar Rp 48,74 triliun. Belum lagi untuk segmen PBI APBD.
Di sisi lain, berdasarkan kajian Persatuan Aktuaris Indonesia (PAI), iuran peserta JKN-KIS segmen Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) atau peserta mandiri kelas 1 seharusnya sebesar Rp 274.204,- per orang per bulan, kelas 2 adalah Rp 190.639,- per orang per bulan, dan kelas 3 adalah Rp 131.195,- per orang per bulan. Hasil perhitungan besaran iuran segmen PBPU ini relatif tinggi sehingga pemerintah turun tangan agar iuran JKN-KIS untuk segmen PBPU ini tak sebesar semestinya.
Melalui Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019, pemerintah menetapkan iuran peserta mandiri kelas 1 sebesar Rp 160.000, kelas 2 sebesar Rp 110.000, dan kelas 3 sebesar Rp 42.000. Artinya, pemerintah menyubsidi sekitar Rp 89.000,- per orang untuk kelas 3, sekitar Rp 80.000,- per orang untuk kelas 2, dan sekitar Rp 114.000,- per orang untuk kelas 1. Hal ini dilakukan pemerintah agar besaran iuran JKN-KIS yang baru masih bisa dijangkau peserta mandiri.
“Jadi jangan bilang pemerintah tidak berpihak pada rakyat, justru pemerintah sudah sangat memperhatikan kondisi rakyatnya. Negara justru sangat hadir, selain membayari segmen PBI juga memberi subsidi untuk segmen PBPU,” tegas Fachmi.
Keseriusan pemerintah dalam menjaga keberlangsungan Program JKN-KIS bukan hanya dilakukan lewat penyesuaian iuran saja. Dengan angka pemanfaatan pelayanan kesehatan yang meningkat dari tahun ke tahun, pemerintah sudah beberapa kali memberikan suntikan dana agar perputaran roda manfaat Program JKN-KIS bisa terus dirasakan masyarakat Indonesia yang membutuhkan akses layanan kesehatan. Tahun 2015, pemerintah menggelontorkan suntikan dana sebesar Rp 5 triliun, tahun 2016 sebesar Rp 6,82 triliun, tahun 2017 sebesar Rp 3,6 triliun, dan pada tahun 2018 sebesar 10,26 triliun.
“Hal ini menunjukkan komitmen pemerintah yang luar biasa agar Program JKN-KIS dapat tetap diakses oleh seluruh lapisan masyarakat,” kata Fachmi.
Fachmi menjelaskan, penyesuaian iuran JKN-KIS juga harus diikuti dengan pembenahan kualitas layanan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) maupun di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) atau rumah sakit. Pasalnya, penyesuaian iuran ini juga membawa efek domino yang positif bagi fasilitas kesehatan maupun peserta JKN-KIS. Melalui penyesuaian iuran JKN-KIS, maka ada kesesuaian antara biaya pelayanan kesehatan dengan sumber pembiayaan, sehingga likuiditas BPJS Kesehatan dapat berjalan baik. Dampaknya, pembayaran klaim fasilitas kesehatan bisa dilakukan tepat waktu sehingga cashflow fasilitas kesehatan terjaga dan kualitas layanan meningkat. Dampak lainnya, peserta JKN-KIS pun puas karena memperoleh layanan yang mudah, cepat, dan pasti. Di sisi lain, masyarakat yang belum menjadi peserta JKN-KIS diharapkan menjadi lebih yakin untuk mendaftar karena pelayanan yang semakin baik.
“Rasionalisasi iuran ini harus menjadi momentum bersama seluruh stakeholders untuk menjaga kualitas pelayanan. Agar hasilnya optimal, perbaikan layanan ini harus dilakukan secara bersama oleh semua pihak, mulai dari kementerian/lembaga, BPJS Kesehatan, pemerintah daerah, manajemen fasilitas kesehatan, hingga tenaga kesehatan,” ujar Fachmi.
(atk)