Penyusunan Omnibus Law Lapangan Kerja Didesak Harus Libatkan Serikat Buruh

Jum'at, 27 Desember 2019 - 19:26 WIB
Penyusunan Omnibus Law Lapangan Kerja Didesak Harus Libatkan Serikat Buruh
Penyusunan Omnibus Law Lapangan Kerja Didesak Harus Libatkan Serikat Buruh
A A A
JAKARTA - Omnibus Law diyakini dapat menciptakan lapangan kerja, namun dalam proses pembahasan aturan tersebut dikritik karena tidak melibatkan elemen masyarakat seperti serikat pekerja. Padahal sebelumnya Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Ida Fauziyah menyampaikan, akan memasukan rencana revisi Undang-Undang (UU) Nomor. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (UUK) dalam program omnibus law.

Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban mengatakan, proses omnibus law yang dikerjakan pemerintah tidak transparan. Apalagi keluarnya Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Kepkemenko) Nomor 378 Tahun 2019, dinilainya penuh kepentingan politik pragmatis karena sarat hanya untuk keuntungan investor.

“Setelah kami pelajari tujuan Kepkemenko No 378 Tahun 2019 salah satunya membentuk satuan tugas (Satgas) omnibus law yang hanya terdiri dari perwakilan pemerintah dan pengusaha. Namun tidak melibatkan perwakilan buruh,” jelas Elly lewat keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (27/12/19).

Ditekankan olehnya dalam penyusunan produk penyederhanaan 82 undang-undang atau omnibus law, dinilai tidak transparan untuk kepentingan buruh. Faktanya sampai hari ini, pemerintah belum ada melibatkan dialog aktivis serikat buruh dan serikat pekerja (SB/SP) dalam merumuskan upah layak, jaminan sosial dan hak kebebasan berserikat.

Dalam hal ini Elly menegaskan, pemerintah sudah terkesan meremehkan aktivis buruh dalam agenda omnibus law. Dimana terang dia, seolah-olah dianggap tidak punya ide dan saran, padahal kalau diminta perwakilan buruh siap memberikan gagasan omnibus law dalam perspektif buruh yang kontekstual di Era 4.0.

Sambung dia menjelaskan pemerintah seharusnya sadar, mayoritas masyarakat di Indonesia adalah pekerja formal yang rentan terkena kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Sampai penghujung tahun 2019, nasib buruh pun masih banyak belum mendapatkan upah layak serta jaminan sosial.
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5660 seconds (0.1#10.140)