Suku Bunga Acuan Masih Bisa Turun 50 Bps pada 2020
A
A
A
JAKARTA - Head of Research Division BNI Sekuritas, Damhuri Nasution mengatakan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) diperkirakan berpotensi turun sekitar 25 – 50 bps menjadi 4,50% hingga 4,75% pada tahun 2020. Ini sejalan dengan inflasi yang terjaga, kurs yang stabil serta untuk mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Dengan penurunan tersebut, maka real rate masih terjaga di sekitar 1,50% - 1,75%, cukup jauh di atas rata-rata historis sekitar 1,00%. "BI tampaknya tidak akan menurunkan suku bunga acuan secara agresif untuk menjaga agar yield tetap menarik bagi investor dan sekaligus mencegah outflow," ujar Damhuri di Jakarta, Selasa (7/1/2020).
Sementara dari global, sentimen damai perdagangan yang rencananya akan diteken pada 15 Januari 2020 mendatang akan menjadi angin segar bagi perekonomian global. Hal ini juga akan berdampak positif bagi meningkatnya ekspor China ke depan.
Namun, kata Damhuri, tren perlambatan ekonomi di negara-negara maju pada semester I-2020 masih akan berlanjut dan baru akan berbalik positif pada semester kedua.
"Negara maju tumbuh lambat karena suku bunga rendah, saham dan obligasi tidak bisa mencetak imbal hasil tinggi sehingga jadi kurang menarik. Sementara dengan prospek ekonomi yang bagus di negara emerging, saham dan obligasi menarik," ungkap Damhuri.
Dengan penurunan tersebut, maka real rate masih terjaga di sekitar 1,50% - 1,75%, cukup jauh di atas rata-rata historis sekitar 1,00%. "BI tampaknya tidak akan menurunkan suku bunga acuan secara agresif untuk menjaga agar yield tetap menarik bagi investor dan sekaligus mencegah outflow," ujar Damhuri di Jakarta, Selasa (7/1/2020).
Sementara dari global, sentimen damai perdagangan yang rencananya akan diteken pada 15 Januari 2020 mendatang akan menjadi angin segar bagi perekonomian global. Hal ini juga akan berdampak positif bagi meningkatnya ekspor China ke depan.
Namun, kata Damhuri, tren perlambatan ekonomi di negara-negara maju pada semester I-2020 masih akan berlanjut dan baru akan berbalik positif pada semester kedua.
"Negara maju tumbuh lambat karena suku bunga rendah, saham dan obligasi tidak bisa mencetak imbal hasil tinggi sehingga jadi kurang menarik. Sementara dengan prospek ekonomi yang bagus di negara emerging, saham dan obligasi menarik," ungkap Damhuri.
(ind)