Saatnya Swasta Lebih Berperan dalam Pembangunan Infrastruktur

Kamis, 09 Januari 2020 - 09:22 WIB
Saatnya Swasta Lebih Berperan dalam Pembangunan Infrastruktur
Saatnya Swasta Lebih Berperan dalam Pembangunan Infrastruktur
A A A
Sinergi BUMN yang menguasai proyek-proyek pemerintah khususnya infrastruktur menuai banyak kritik. Swasta ditinggalkan dalam menyukseskan pembangunan infrastruktur yang menjadi fokus utama pemerintahan Joko Widodo. Kini saatnya swasta diberikan peran lebih besar agar tidak ada ketimpangan dengan BUMN.

Pembangunan wilayah melalui infrastruktur diutamakan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan pemenuhan pelayanan dasar dan dilakukan melalui upaya peningkatan nilai tambah komoditas unggulan yang dimiliki daerah dengan membangun Kawasan Ekonomi Khusus dan Kawasan Industri, sekaligus memanfaatkan infrastruktur konektivitas yang dibangun.

Presiden Jokowi menyatakan dalam lima tahun ke depan, pembangunan infrastruktur tetap menjadi fokus pemerintahan yang dipimpinnya, selain pembangunan sumber daya manusia (SDM), pemerintah akan terus melanjutkan pembangunan infrastruktur dalam rangka berkompetisi dengan negara lain.

“Kita ingin menyambungkan infrastruktur yang telah ada ini kepada kawasan-kawasan industri, kawasan produksi pertanian, kawasan produksi perikanan, dan kawasan wisata yang ada di setiap provinsi di setiap daerah,” ungkap Presiden Joko Widodo di Jakarta, belum lama ini.

Dia mencontohkan misalnya untuk pembangunan jalan tol, yang disambungkan ke kawasan-kawasan pertanian. Siapa yang menyambungkan? Ada pemerintah provinsi, ada pemerintah kabupaten dan pemerintah kota. “Tugas Anda semua adalah menyambungkan itu, kalau tidak memiliki kemampuan di APBD bisa berkonsultasi kepada Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR),” ujar Presiden Jokowi saat Musrenbang RPJM 2020-2024.

Adapun pemerintah bersama DPR RI menyepakati anggaran pembangunan infrastruktur sebesar Rp419,2 triliun untuk APBN 2020. Jumlah ini meningkat sedikit dibanding belanja infrastruktur APBN 2019 sebesar Rp415 triliun. Lantas bagaimana membelanjakan anggaran ini?

Lazim diketahui bahwa pembangunan infrastruktur dari tahun ke tahun tidak bisa tuntas dalam satu tahun ke depan. Selalu ada kekurangan kebutuhan pendanaan di sektor infrastruktur yang memang sangat padat modal. Karena itu, pemerintah membuka keran seluas-seluasnya kepada sektor badan usaha, baik swasta maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Berbagai skema pendanaan dibuat sesederhana mungkin dimana keterlibatan pemerintah yang paling utama adalah sebagai penjamin proyek, terutama pada proyek-proyek yang sifatnya strategis. Taruhlah misalnya untuk proyek jalan tol, pembangunan bandara serta proyek pembangunan pelabuhan. Skema-skema pendanaan atau kerja sama misalnya Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimoeldjono mengatakan, kementerian yang dipimpinnya dengan pendanaan APBN 2020 mendapat alokasi anggaran sebesar Rp120,2 triliun atau naik dibanding tahun lalu sebesar Rp110,7 triliun. “Berdasarkan APBN prioritas kami adalah infrastruktur yang meliputi sumber daya air, jalan, jembatan, permukiman dan perumahan,” ungkap Basuki.

Rinciannya, untuk infrastruktur sumber daya air (SDA) Rp43,97 triliun, Cipta Karya Rp22,01 triliun, Bina Marga Rp42,95 triliun, Penyediaan Perumahan Rp8,48 triliun serta Sekjen dan Badan di lingkup PUPR sebesar Rp2,8 triliun.

Dalam lima tahun ke depan pemerintah melalui Kementerian PUPR hanya bisa menyediakan anggaran 30% atau mencapai Rp646 triliun. “Selebihnya ini kita harapkan sebesar 70% bisa disiapkan oleh pemerintah daerah atau kota melalui BUMD, BUMN maupun sektor swasta,” ungkap Menteri Basuki.

Pemerintah, kata dia hanya menyediakan infrastruktur vital. Keberlanjutan infrastruktur selanjutnya disediakan oleh pemerintah daerah atau kota misalnya di sektor air minum atau di sektor pengelolaan sampah dimana pemerintah menyiapkan jaringan pipa utama dan waduk untuk air minum dan TPA untuk persampahan.

“Nah ini sisanya akan dibangun oleh pemerintah daerah atau kota. Ini sama dengan jalan tol yang investasi dimana ada skema KPBU melalui penyertaan modal negara pada proyek jalan tol di Sumatera, atau skema yang lain seperti dana VGF atau viability gap payment termasuk melalui dana talangan yang selama ini sudah banyak terealisasi oleh sektor usaha jalan tol,” ungkap Menteri Basuki.

Sebagai informasi, Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) mencatat sebanyak 92 Proyek Strategis Nasional (PSN) yang selesai dengan nilai investasi mencapai Rp467,4 triliun sejak tahun 2016 hingga Desember 2019. Adapun total keseluruhan PSN yang tertuang dalam Peraturan Presiden No 56/2018 adalah sebanyak 223 proyek.

KPPIP juga mencatat hingga tahun 2019, sebanyak 88% proyek telah melewati tahap penyiapan yakni transaksi, konstruksi, hingga beroperasi dari total 223 proyek dan tiga program. Ditargetkan pada akhir 2020 hanya 5% proyek yang masih dalam tahap penyiapan. Berdasarkan data tersebut, terlihat tantangan ke depan dalam penyediaan PSN cukup besar, yaitu masalah tumpang tindih regulasi.

KPPIP juga sempat memberikan masukan dalam Omnibus Law terkait penyelesaian masalah regulasi dan percepatan perizinan. Belum lama ini, Ketua Tim Pelaksana KPPIP Wahyu Utomo pernah mengungkapkan, pihaknya akan meningkatkan kualitas dokumen penyiapan proyek secara jelas termasuk untuk mendorong KPBU.

Di sisi lain keterlibatan swasta juga terus digenjot dalam pembangunan infrastruktur. “Karena menyiapkan dokumen KPBU itu berbeda dengan proyek APBN di mana dalam KPBU kita harus melihat secara jelas siapa yang bertanggung jawab atas risiko yang mungkin muncul dan bagaimana kita bisa memitigasinya,” jelasnya.

Dorong Infrastruktur, Swasta Butuh Bunga Rendah

Namun bagaimana sebenarnya keterlibatan pihak-pihak swasta diluar pemerintah daerah/ kota ataupun di luar Badan Usaha Milik Negara untuk pembangunan sektor infrastruktur? Selama ini massifnya pembangunan infrastruktur bisa dibilang hanya dinikmati oleh pemodal-pemodal besar.

Selebihnya, sektor swasta hanya menjadi subkontraktor pada pembangunan proyek. Misalnya, di sektor jalan tol. Pemegang konsesi paling besar di sektor ini masih dipegang oleh operator tol milik negara melalui PT Jasa Marga Tbk (Persero).

Jika dihitung di ruas Tol Trans Jawa, Jasa Marga masih mendominasi kepemilikan operasi dari Jakarta hingga Surabaya. Selebihnya ada, Citra Marga Nusaphala Persada yang mengelola Tol Priok dan Astra Infrastruktur sebagai pemegang konsesi ruas tol Tangerang-Merak dan kepemilikan pada ruas tol Cikopo-Palimanan.

Pengamat ekonomi dari Center of Reform on Economic (CORE) Muhammad Faisal mengatakan, tugas berat pemerintah di sektor infrastruktur selalu tertuju pada pelibatan sektor swasta sebesar-besarnya. Namun hal itu tidak mudah, sebab infrastruktur strategis membutuhkan pendanaan yang besar.

Misalnya di sektor jalan tol. Selama ini pemainnya masuk dalam kategori sepuluh besar BUMN. “Saya kira yang harus dipermudah adalah pinjaman pendanaan, kemudian birokrasi yang tidak berbelit serta jaminan lahan dari pemerintah,” ungkapnya.

Menurut dia, sektor swasta yang memiliki konsesi jalan tol di Indonesia merupakan korporasi-korporasi dengan jumlah pendanaan yang kuat. Sedangkan sektor swasta dengan skala usaha kecil hingga menengah hanya bisa menjadi kontraktor dan subkontraktir pada pembangunan proyek tersebut.

“Belum meningkat pada tingkat pengelolaan. Rata-rata hanya menjadi kontraktor berskala menengah dan subkontraktor. Seharusnya bisa meningkat menjadi pengelola, tapi ya ini dibutuhkan bantuan pendanaan dan kemudahan dari pemerintah pusat,” terangnya.

Tidak hanya itu, di sektor infrastruktur lain juga masih berlaku hal yang sama. Misalnya untuk sektor strategis di pelabuhan dan bandara masih dimonopoli oleh BUMN. “Di dua sektor ini bahkan BUMN sudah beranak cucu. Jadi kalau dikelola sama negara atau BUMN harus hati-hati juga,” pungkasnya.

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) Bidang Perhubungan, Carmelita Hartoto mengatakan, masih banyak pekerjaan rumah ke depan yang membutuhkan peran pemerintah. Bukan hanya pinjaman pendanaan, namun juga masih tingginya bunga bank di dalam negeri untuk sektor inrrastruktur. “Bunga bank kita masih dua digit. Itu besar sekali dibandingkan dengan negara tetangga yang sudah single digit,” ucapnya.

Selain itu tenor pinjaman yang panjang, kata Carmelita juga masih sulit didapatkan pada bank-bank di dalam negeri. “Ya kita pada dasarnya ingin terlibat, tapi harus dilihat lagi tingkat strategis pengembaliannya bagaimana. Kita bisa join dengan banyak pengusaha lain tapi juga harus dipermudah bukan hanya harus ditopang dari sisi birokrasi tapi juga pendanaan dan jaminan lainnya,” pungkas dia.

Jika kondisi ini dibiarkan justru akan menjadi beban pemerintah. Sebab, BUMN yang memonopoli sektor strategis bisa semakin besar melalui anak-anak usaha. Jika belajar dari kasus PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk yang memiliki anak dan cucu usaha bisnis, seharusnya menjadi warning tersendiri bagi BUMN lain.

Garuda Indonesia sendiri merupakan BUMN yang sebetulnya bergerak di sektor infrastruktur udara. “Artinya jika dibiarkan, ya semakin mengancam keberadaan sektor swasta yang lain. Karena monopolinya sudah luar biasa,” pungkas Faisal.
(don)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.2098 seconds (0.1#10.140)