Isu Mafia Migas Jadi Komoditas Politik Akan Hambat Pertamina
A
A
A
JAKARTA - Senior Analyst Bowergroup Asia Ahmad Syarif mengatakan, isu mafia migas yang belakangan ditujukan kepada Pertamina hanya dipolitisasi. Menurutnya tentu disayangkan, karena isu tersebut bisa menjadi penghambat kinerja Pertamina.
“Hanya dipolitisasi dan menjadi komoditas politik. Karena selama ini Pertamina sudah transparan dalam mengelola proyek-proyeknya,” kata Syarif dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Rabu (22/1/2020).
Menurut praktisi yang membawahi sektor migas, LNG, petrokimia dan tambang tersebut, Pertamina memang sudah menjalankan proses pengadaan dengan sangat terbuka. Dan dengan transparansi yang sudah dilakukan, Pertamina juga lebih mungkin diawasi publik. “Selain itu, isu-isu di dalam BUMN tersebut seperti pengadaan barang dan jasa juga menjadi lebih mudah dimonitor,” kata dia.
Dalam konteks tersebut, Syarif berharap bahwa isu mafia migas sebaiknya dihentikan. Jika tidak, maka hanya merugikan Pertamina dan bahkan juga pemerintah. Sebab isu tersebut bisa menghambat kinerja Pertamina, termasuk dalam proyek kilang yang sebenarnya menjadi salah satu prioritas pemerintah. “Kalau isu mafia migas diteruskan yang rugi adalah Pertamina dan juga pemerintah,” jelasnya.
Syarif mengkhawatirkan kalau isu mafia migas berlanjut, justru memunculkan efek psikologis. Pertamina menjadi takut dan akan mengeksekusi proyek apapun tanpa memperhatikan risiko bisnis dengan baik.
Selain menghentikan isu migas, Ia menegaskan, beberapa faktor juga bisa mempercepat pembangunan kilang Pertamina. Pertama, Pertamina harus terus membuat rencana pembangunan kilang yang diintegrasikan dengan pembangunan industri petrokimia. Kondisi demikian, yang menurut Syarif dilakukan Petronas dan Aramco di proyek kilang Johor.
Kedua, imbuhnya, Pertamina harus melanjutkan mencari partner guna membantu menambah kapasitas kilang dengan teknologi terbaru dan memungkinkan terjadinya efisiensi. Dan ketiga, Pertamina harus independen. Jangan mudah diinterverensi oleh kepentingan politik. “Karena kurangnya indepedensi itulah yang membuat sejumlah investor khawatir,” paparnya.
Seperti diketahui, Pertamina sendiri sebenarnya memang sudah mengintegrasikan beberapa kilangnya dengan petrokimia. Selain itu, Pertamina juga sangat terbuka untuk partnership. Hal ini dibuktikan, dengan ketertarikan investor besar untuk bekerja sama, seperti Saudi Aramco, Adnoc, dan Rosneft.
“Hanya dipolitisasi dan menjadi komoditas politik. Karena selama ini Pertamina sudah transparan dalam mengelola proyek-proyeknya,” kata Syarif dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Rabu (22/1/2020).
Menurut praktisi yang membawahi sektor migas, LNG, petrokimia dan tambang tersebut, Pertamina memang sudah menjalankan proses pengadaan dengan sangat terbuka. Dan dengan transparansi yang sudah dilakukan, Pertamina juga lebih mungkin diawasi publik. “Selain itu, isu-isu di dalam BUMN tersebut seperti pengadaan barang dan jasa juga menjadi lebih mudah dimonitor,” kata dia.
Dalam konteks tersebut, Syarif berharap bahwa isu mafia migas sebaiknya dihentikan. Jika tidak, maka hanya merugikan Pertamina dan bahkan juga pemerintah. Sebab isu tersebut bisa menghambat kinerja Pertamina, termasuk dalam proyek kilang yang sebenarnya menjadi salah satu prioritas pemerintah. “Kalau isu mafia migas diteruskan yang rugi adalah Pertamina dan juga pemerintah,” jelasnya.
Syarif mengkhawatirkan kalau isu mafia migas berlanjut, justru memunculkan efek psikologis. Pertamina menjadi takut dan akan mengeksekusi proyek apapun tanpa memperhatikan risiko bisnis dengan baik.
Selain menghentikan isu migas, Ia menegaskan, beberapa faktor juga bisa mempercepat pembangunan kilang Pertamina. Pertama, Pertamina harus terus membuat rencana pembangunan kilang yang diintegrasikan dengan pembangunan industri petrokimia. Kondisi demikian, yang menurut Syarif dilakukan Petronas dan Aramco di proyek kilang Johor.
Kedua, imbuhnya, Pertamina harus melanjutkan mencari partner guna membantu menambah kapasitas kilang dengan teknologi terbaru dan memungkinkan terjadinya efisiensi. Dan ketiga, Pertamina harus independen. Jangan mudah diinterverensi oleh kepentingan politik. “Karena kurangnya indepedensi itulah yang membuat sejumlah investor khawatir,” paparnya.
Seperti diketahui, Pertamina sendiri sebenarnya memang sudah mengintegrasikan beberapa kilangnya dengan petrokimia. Selain itu, Pertamina juga sangat terbuka untuk partnership. Hal ini dibuktikan, dengan ketertarikan investor besar untuk bekerja sama, seperti Saudi Aramco, Adnoc, dan Rosneft.
(akr)