Akademisi Soroti Masalah Kaum Milenial dalam Dunia Kerja
A
A
A
JAKARTA - Sebuah penelitian mengungkap fakta jika kelompok usia milenial cenderung transaksional. Hal ini dilakukan dengan mengamati tidak adanya inisiatif kelompok usia milenial untuk mengerjakan pekerjaan yang berada di luar tanggung jawab dirinya.
Pada proses selanjutnya, hal ini diikuti dengan kekhawatiran sejumlah top leader dalam beberapa perusahaan terhadap proses regenerasi yang akan mengisi posisi manajemen dalam sebuah perusahaan.
Pandangan itu dikemukakan Wakil Rektor Penjaminan Mutu Universitas Binawan Jakarta, Ayu Dwi Nindyati dalam acara Ngopi Kebangsaan bertajuk "SDM Produktif dan Berdaya Saing Melalui Kolaborasi dan Penguatan Jejaring" yang digelar di kantor PUSHEP, Pancoran, Jakarta Selatan, Jumat (24/1) malam.
Ayu Dwi Nindyati yang akrab disapa Ninin menyebutkan, kekhawatiran beberapa pimpinan perusahaan terhadap proses regenerasi kepemimpinan di perusahaan ini diakibatkan dari fakta bahwa sejumlah sumber daya manusia (SDM) di perusahaan yang sesungguhnya bisa diharapkan menggantikan posisi manajerial hingga direksi menunjukkan keengganan mereka menempati posisi tersebut.
"Top talent dalam perusahaan cenderung enggan apabila diminta mengisi jabatan-jabatan yang melaksanakan fungsi-fungsi manajerial," ujar Ninin.
Hal ini, sambung Ninin, merupakan salah satu problem kelompok milenial dalam dunia kerja. Proses belajar yang cenderung lebih mudah sedikit banyak berdampak pada karakter kelompok milenial dalam mengemban tanggung jawab pekerjaan.
Ninin yang merupakan alumni Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menilai, kelompok milenial hari ini cenderung membangun talenta mereka melalui proses belajar yang lebih instan dikarenakan banyaknya informasi yang mudah mereka akses dengan bantuan teknologi.
"Oleh karena itu, kapasitas kepakaran yang mereka miliki menjadikan mereka sebagai top talent di suatu bidang pekerjaan," ujarnya.
Di lain sisi, hal ini tidak cukup menjadi bekal bagi mereka mengemban tugas-tugas manajerial di dalam perusahaan yang menuntut kemampuan lebih. Situasi ini akan semakin sulit jika kemudian dipaksakan kepada mereka untuk mengemban tugas-tugas di luar kemampuan mereka.
Merujuk riset yang dilakukan Ninin dengan responden kaum milenial di Jakarta, menyebutkan bahwa pemimpin yang partisipatif yang membuat para milenial betah dalam satu perusahaan. Menurut Ninin, temuan ini menjawab tantangan mengapa para milenial cenderung mudah berpindah tempat kerja.
"Hal ini harus menjadi perhatian dari pimpinan-pimpinan perusahaan agar dalam proses regenerasi jabatan manajerial di perusahaan dapat dilakukan secara tepat," imbuhnya.
Menurut Sekjen Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) Pusat, kemampuan manajerial ini biasanya dimiliki oleh SDM yang pernah terlibat dalam lingup aktivitas organisasi. SDM dengan kualifikasi ini biasanya tidak hanya mampu berfikir mencari solusi, tapi juga mampu mengimplementasikan solusi tersebut sebagai jalan keluar sebuah masalah.
"Harusnya ini peluang bagi teman-teman yang dulunya semasa menjadi mahasiswa juga aktif dalam berorganisasi," tandasnya.
Pada proses selanjutnya, hal ini diikuti dengan kekhawatiran sejumlah top leader dalam beberapa perusahaan terhadap proses regenerasi yang akan mengisi posisi manajemen dalam sebuah perusahaan.
Pandangan itu dikemukakan Wakil Rektor Penjaminan Mutu Universitas Binawan Jakarta, Ayu Dwi Nindyati dalam acara Ngopi Kebangsaan bertajuk "SDM Produktif dan Berdaya Saing Melalui Kolaborasi dan Penguatan Jejaring" yang digelar di kantor PUSHEP, Pancoran, Jakarta Selatan, Jumat (24/1) malam.
Ayu Dwi Nindyati yang akrab disapa Ninin menyebutkan, kekhawatiran beberapa pimpinan perusahaan terhadap proses regenerasi kepemimpinan di perusahaan ini diakibatkan dari fakta bahwa sejumlah sumber daya manusia (SDM) di perusahaan yang sesungguhnya bisa diharapkan menggantikan posisi manajerial hingga direksi menunjukkan keengganan mereka menempati posisi tersebut.
"Top talent dalam perusahaan cenderung enggan apabila diminta mengisi jabatan-jabatan yang melaksanakan fungsi-fungsi manajerial," ujar Ninin.
Hal ini, sambung Ninin, merupakan salah satu problem kelompok milenial dalam dunia kerja. Proses belajar yang cenderung lebih mudah sedikit banyak berdampak pada karakter kelompok milenial dalam mengemban tanggung jawab pekerjaan.
Ninin yang merupakan alumni Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menilai, kelompok milenial hari ini cenderung membangun talenta mereka melalui proses belajar yang lebih instan dikarenakan banyaknya informasi yang mudah mereka akses dengan bantuan teknologi.
"Oleh karena itu, kapasitas kepakaran yang mereka miliki menjadikan mereka sebagai top talent di suatu bidang pekerjaan," ujarnya.
Di lain sisi, hal ini tidak cukup menjadi bekal bagi mereka mengemban tugas-tugas manajerial di dalam perusahaan yang menuntut kemampuan lebih. Situasi ini akan semakin sulit jika kemudian dipaksakan kepada mereka untuk mengemban tugas-tugas di luar kemampuan mereka.
Merujuk riset yang dilakukan Ninin dengan responden kaum milenial di Jakarta, menyebutkan bahwa pemimpin yang partisipatif yang membuat para milenial betah dalam satu perusahaan. Menurut Ninin, temuan ini menjawab tantangan mengapa para milenial cenderung mudah berpindah tempat kerja.
"Hal ini harus menjadi perhatian dari pimpinan-pimpinan perusahaan agar dalam proses regenerasi jabatan manajerial di perusahaan dapat dilakukan secara tepat," imbuhnya.
Menurut Sekjen Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) Pusat, kemampuan manajerial ini biasanya dimiliki oleh SDM yang pernah terlibat dalam lingup aktivitas organisasi. SDM dengan kualifikasi ini biasanya tidak hanya mampu berfikir mencari solusi, tapi juga mampu mengimplementasikan solusi tersebut sebagai jalan keluar sebuah masalah.
"Harusnya ini peluang bagi teman-teman yang dulunya semasa menjadi mahasiswa juga aktif dalam berorganisasi," tandasnya.
(fjo)