DPR Minta Pemerintah Perhatikan Kasus Pekerja Migran yang Ditahan di Thailand
A
A
A
JAKARTA - Komisi IX DPR meminta pemerintah serius memperhatikan nasib para pekerja migran Indonesia yang tersandung perkara hukum di luar negeri. Termasuk kasus yang kini menimpa Captain Sugeng Wahyono.
Wakil Ketua Komisi IX DPR, Nihayatul Wafiroh, meminta pemerintah harus hadir dan memberi perhatian kepada persoalan yang dihadapi pekerja migran Indonesia di luar negeri.
"Kami meminta pemerintah untuk lebih memperhatikan pekerja migran Indonesia yang berada di luar. Dan pentingnya melakukan upaya yang cepat dalam menangani kasus-kasus WNI yang terjerat hukum di luar negeri. Termasuk kasus yang menimpa Captain Sugeng Wahyono di Ranong, Thailand," ujarnya kepada wartawan di Senayan, Kamis (30/1/2020).
Captain Sugeng Wahyono merupakan nakhoda kapal MT Celosia, kapal berbendera Indonesia yang dioperasikan PT Brotojoyo Maritime. Sudah setahun lebih, dia ditahan otoritas pemerintah Thailand atas dugaan penyelundupan.
Kasusnya bermula ketika kapal yang dia nakhodai membawa muatan minyak pelumas kiriman Petronas dari Malaka, Malaysia. Sesuai dokumen order, kapal merapat di Malaka dan memuat minyak pelumas untuk dikirim ke Schlumberger di Ranong. Kapal berlabuh di Ranong pada 9 Januari 2019, dan bongkar muat di sana.
Pihak Bea Cukai Ranong menuduh ada upaya penyelundupan atas keterlambatan dalam pemenuhan prosedur bea cukai atas impor muatan MT Celosia. Padahal muatan itu dikirim oleh Petronas dan dimiliki Schlumberger yang bertanggung jawab untuk mengurus impor muatan tersebut.
Dalam kasus ini Sugeng Wahyono ditetapkan sebagai tersangka. Merasa tidak bersalah atas perkara ini, Sugeng meminta Presiden Joko Widodo memperhatikan nasibnya, sehingga dia bisa dibebaskan.
Secara terpisah, dari Ranong, Thailand, Sugeng Wahyono menegaskan dirinya tak bersalah. Dia jadi tahanan karena masalah dokumen yang seharusnya diselesaikan pemilik barang.
"Saya dan kapal hanya sebagai transportasi. Membawa kargo, memastikannya aman. Saya tidak bersalah. Saya bukan penyeludup. Kalau mau menyeludup, tidak mungkin dilakukan dilakukan di pelabuhan milik pemerintah seperti di Ranong," kata Sugeng.
Merunut persoalan yang menderanya, Sugeng menjelaskan, sesuai dengan dokumen dari perusahaan, kargo yang dibawanya saat berangkat dari Malaka, Malaysia, akan dibawa ke dua pelabuhan. Yakni, pelabuhan Port Klang di Malaysia, dan pelabuhan Ranong di Thailand.
"Karena kepadatan di Port Klang, maka saya diperintahkan untuk ke Ranong terlebih dahulu, mengantarkan kargo ke sana. Maka kapal ke sana duluan," kata Sugeng.
Kargo yang dibawa itu adalah minyak pelumas kiriman Petronas untuk Schlumberger. Kapal berlabuh di Ranong pada 8 Januari sekitar pukul 23.00. Seperti biasa, agen kapal datang, menunjukkan sejumlah dokumen, dan menyatakan semua sudah beres. Kemudian perwakilan pemilik barang juga datang ke kapal pada 9 Januari dinihari.
"Karena pemilik barang sudah datang, dokumen ada, maka pembongkaran segera dilakukan. Truk-truk tangki juga sudah stand by di dalam kawasan Bea Cukai," katanya.
Kemudian, ada masalah. Bea cukai pelabuhan datang. Menghentikan proses bongkar muat. Sugeng lantas diminta menandatangani dokumen yang beraksara Thailand.
"Saya tidak mau tanda tangan, karena tidak mengerti isinya, dan tidak diberitahu soal apa," kata Sugeng sembari menyatakan langsung melapor ke perusahaan tentang situasi awal tersebut.
Berikutnya Sugeng dibawa ke kantor bea cukai di kota, yang levelnya lebih tinggi dibanding yang di pelabuhan, juga diminta menandatangani berkas yang tidak diketahui apa isinya. Tidak ada penjelasan juga dokumen itu mengenai apa.
Dia kemudian digelandang ke kantor polisi dimasukkan di sel. Baru setelah perwakilan perusahaan memberikan jaminan, dia kemudian dijadikan tahanan kota dengan ketentuan wajib lapor.
Status sebagai tahanan kota itu hingga hari ini sudah berlangsung setahun lebih, dan perkaranya kemungkinan akan mulai disidangkan pada Februari ini.
"Selama saya di sini, memang ada beberapa kali perwakilan Indonesia datang, seperti konsulat di Songkhla maupun KBRI Bangkok. Memastikan kondisi kesehatan, dan keselamatan. Namun terkait perkara hukum itu, mereka tidak melakukan apa-apa. Hanya mendampingi," katanya.
Semula ada 17 tersangka dalam kasus itu, termasuk supir-supir truk, namun belakangan ini tinggal enam orang yang jadi tersangka, menunggu persidangan awal Februari nanti.
Dengan semua masalah ini, Sugeng hanya berharap situasi akan berpihak kepadanya. "Saya hanya saya minta kebebasan, saya ingin pulang," harapnya.
Wakil Ketua Komisi IX DPR, Nihayatul Wafiroh, meminta pemerintah harus hadir dan memberi perhatian kepada persoalan yang dihadapi pekerja migran Indonesia di luar negeri.
"Kami meminta pemerintah untuk lebih memperhatikan pekerja migran Indonesia yang berada di luar. Dan pentingnya melakukan upaya yang cepat dalam menangani kasus-kasus WNI yang terjerat hukum di luar negeri. Termasuk kasus yang menimpa Captain Sugeng Wahyono di Ranong, Thailand," ujarnya kepada wartawan di Senayan, Kamis (30/1/2020).
Captain Sugeng Wahyono merupakan nakhoda kapal MT Celosia, kapal berbendera Indonesia yang dioperasikan PT Brotojoyo Maritime. Sudah setahun lebih, dia ditahan otoritas pemerintah Thailand atas dugaan penyelundupan.
Kasusnya bermula ketika kapal yang dia nakhodai membawa muatan minyak pelumas kiriman Petronas dari Malaka, Malaysia. Sesuai dokumen order, kapal merapat di Malaka dan memuat minyak pelumas untuk dikirim ke Schlumberger di Ranong. Kapal berlabuh di Ranong pada 9 Januari 2019, dan bongkar muat di sana.
Pihak Bea Cukai Ranong menuduh ada upaya penyelundupan atas keterlambatan dalam pemenuhan prosedur bea cukai atas impor muatan MT Celosia. Padahal muatan itu dikirim oleh Petronas dan dimiliki Schlumberger yang bertanggung jawab untuk mengurus impor muatan tersebut.
Dalam kasus ini Sugeng Wahyono ditetapkan sebagai tersangka. Merasa tidak bersalah atas perkara ini, Sugeng meminta Presiden Joko Widodo memperhatikan nasibnya, sehingga dia bisa dibebaskan.
Secara terpisah, dari Ranong, Thailand, Sugeng Wahyono menegaskan dirinya tak bersalah. Dia jadi tahanan karena masalah dokumen yang seharusnya diselesaikan pemilik barang.
"Saya dan kapal hanya sebagai transportasi. Membawa kargo, memastikannya aman. Saya tidak bersalah. Saya bukan penyeludup. Kalau mau menyeludup, tidak mungkin dilakukan dilakukan di pelabuhan milik pemerintah seperti di Ranong," kata Sugeng.
Merunut persoalan yang menderanya, Sugeng menjelaskan, sesuai dengan dokumen dari perusahaan, kargo yang dibawanya saat berangkat dari Malaka, Malaysia, akan dibawa ke dua pelabuhan. Yakni, pelabuhan Port Klang di Malaysia, dan pelabuhan Ranong di Thailand.
"Karena kepadatan di Port Klang, maka saya diperintahkan untuk ke Ranong terlebih dahulu, mengantarkan kargo ke sana. Maka kapal ke sana duluan," kata Sugeng.
Kargo yang dibawa itu adalah minyak pelumas kiriman Petronas untuk Schlumberger. Kapal berlabuh di Ranong pada 8 Januari sekitar pukul 23.00. Seperti biasa, agen kapal datang, menunjukkan sejumlah dokumen, dan menyatakan semua sudah beres. Kemudian perwakilan pemilik barang juga datang ke kapal pada 9 Januari dinihari.
"Karena pemilik barang sudah datang, dokumen ada, maka pembongkaran segera dilakukan. Truk-truk tangki juga sudah stand by di dalam kawasan Bea Cukai," katanya.
Kemudian, ada masalah. Bea cukai pelabuhan datang. Menghentikan proses bongkar muat. Sugeng lantas diminta menandatangani dokumen yang beraksara Thailand.
"Saya tidak mau tanda tangan, karena tidak mengerti isinya, dan tidak diberitahu soal apa," kata Sugeng sembari menyatakan langsung melapor ke perusahaan tentang situasi awal tersebut.
Berikutnya Sugeng dibawa ke kantor bea cukai di kota, yang levelnya lebih tinggi dibanding yang di pelabuhan, juga diminta menandatangani berkas yang tidak diketahui apa isinya. Tidak ada penjelasan juga dokumen itu mengenai apa.
Dia kemudian digelandang ke kantor polisi dimasukkan di sel. Baru setelah perwakilan perusahaan memberikan jaminan, dia kemudian dijadikan tahanan kota dengan ketentuan wajib lapor.
Status sebagai tahanan kota itu hingga hari ini sudah berlangsung setahun lebih, dan perkaranya kemungkinan akan mulai disidangkan pada Februari ini.
"Selama saya di sini, memang ada beberapa kali perwakilan Indonesia datang, seperti konsulat di Songkhla maupun KBRI Bangkok. Memastikan kondisi kesehatan, dan keselamatan. Namun terkait perkara hukum itu, mereka tidak melakukan apa-apa. Hanya mendampingi," katanya.
Semula ada 17 tersangka dalam kasus itu, termasuk supir-supir truk, namun belakangan ini tinggal enam orang yang jadi tersangka, menunggu persidangan awal Februari nanti.
Dengan semua masalah ini, Sugeng hanya berharap situasi akan berpihak kepadanya. "Saya hanya saya minta kebebasan, saya ingin pulang," harapnya.
(ven)