BTN Klaim Tak Ada Window Dressing
A
A
A
JAKARTA - PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk menyatakan tidak ada window dressing terkait pemberian kredit dan restrukturisasi yang diberikan perseroan kepada PT Batam Island Marina (BIM). Pasalnya, segala proses bisnis yang berlangsung telah mengikuti aturan yang berlaku, melalui analisis bank, sesuai peruntukkannya serta telah lunas.
Corporate Secretary Bank BTN, Achmad Chaerul, mengatakan secara bisnis, penyaluran kredit ke PT BIM telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dia melanjutkan dalam upaya penyelesaian permasalahan kredit di perusahaan tersebut juga sesuai dengan aturan.
"Terkait dugaan window dressing, kami pastikan tidak ada karena secara bisnis pemberian fasilitas perbankan tersebut telah selesai dan lunas," jelas Chaerul di Jakarta, Kamis (6/2/2020).
Chaerul merinci, proses pemberian kredit dari Bank BTN kepada BIM telah melalui proses analisis dan sesuai aturan yang berlaku sehingga disetujui perseroan.
Dari persetujuan tersebut, disalurkan plafon awal senilai Rp100 miliar melalui rekening BIM di Bank BTN. Kredit tersebut juga telah dijamin dengan agunan yang memadai dan telah diikat dengan Hak Tanggungan sesuai ketentuan yang berlaku.
Sejak kredit direalisasikan sampai dengan Juli 2018, lanjut Chaerul, debitur atas nama BIM tercatat lancar dalam membayar kewajiban bunganya.
Menurutnya, kredit BIM mulai bermasalah ketika terjadi penurunan kemampuan keuangan proyek. Penyebabnya, yakni meningkatnya Rencana Anggaran Biaya (RAB) proyek dan terlambatnya penerimaan dana dari konsumen.
"Keterlambatan tersebut terjadi akibat ketidaksesuaian rencana pembangunan unit dan realisasinya di lapangan," jelas Chaerul.
Selain itu, BIM pun ditetapkan status Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) sesuai hasil sidang pada 18 Oktober 2018 oleh Pengadilan Niaga di Medan.
Sesuai ketentuan, Chaerul menambahkan perseroan melakukan upaya-upaya penyelamatan kredit dengan melakukan pola penjualan piutang secara cessie kepada PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) pada 31 Desember 2018.
Saat itu diterangkan cesie merupakan opsi penyelesaian terbaik dan memenuhi ketentuan yang berlaku. Chaerul juga menegaskan kredit terhadap PPA tidak ada indikasi window dressing karena pemberiannya telah sesuai dengan peruntukkan.
Saat ini, fasilitas tersebut telah lunas pada 5 Maret 2019. "Secara bisnis, pemberian dua fasilitas perbankan tersebut telah selesai," jelasnya.
Chaerul menambahkan, perseroan juga telah dipanggil Badan Akuntabilitas Keuangan Negara Dewan Perwakilan Rakyat (BAKN DPR). "Direksi kami telah memberikan informasi dan klarifikasi atas hal tersebut kepada BAKN," tutur dia.
"Secara korporasi dengan tegas harus saya katakan kalau kita tidak sependapat dengan sangkaan atau dugaan window dressing di tahun 2018 yang disampaikan Ketua Serikat Pekerja BTN. Apa yang disampaikan mereka kepada BAKN banyak tidak berdasar pada data dan fakta," tegas Chaerul.
Adapun, hingga kini, Bank BTN juga terus meningkatkan penerapan asas Good Corporate Governance (GCG) dalam pelaksanaan bisnisnya. Perseroan pun pun terus memupuk pencadangan dengan rasio mencapai 52,67% pada September 2019 atau setara Rp2,18 triliun. Posisi pencadangan tersebut naik 21,34% secara tahunan (year-on-year/yoy) dari Rp1,79 triliun pada September 2018.
Corporate Secretary Bank BTN, Achmad Chaerul, mengatakan secara bisnis, penyaluran kredit ke PT BIM telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dia melanjutkan dalam upaya penyelesaian permasalahan kredit di perusahaan tersebut juga sesuai dengan aturan.
"Terkait dugaan window dressing, kami pastikan tidak ada karena secara bisnis pemberian fasilitas perbankan tersebut telah selesai dan lunas," jelas Chaerul di Jakarta, Kamis (6/2/2020).
Chaerul merinci, proses pemberian kredit dari Bank BTN kepada BIM telah melalui proses analisis dan sesuai aturan yang berlaku sehingga disetujui perseroan.
Dari persetujuan tersebut, disalurkan plafon awal senilai Rp100 miliar melalui rekening BIM di Bank BTN. Kredit tersebut juga telah dijamin dengan agunan yang memadai dan telah diikat dengan Hak Tanggungan sesuai ketentuan yang berlaku.
Sejak kredit direalisasikan sampai dengan Juli 2018, lanjut Chaerul, debitur atas nama BIM tercatat lancar dalam membayar kewajiban bunganya.
Menurutnya, kredit BIM mulai bermasalah ketika terjadi penurunan kemampuan keuangan proyek. Penyebabnya, yakni meningkatnya Rencana Anggaran Biaya (RAB) proyek dan terlambatnya penerimaan dana dari konsumen.
"Keterlambatan tersebut terjadi akibat ketidaksesuaian rencana pembangunan unit dan realisasinya di lapangan," jelas Chaerul.
Selain itu, BIM pun ditetapkan status Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) sesuai hasil sidang pada 18 Oktober 2018 oleh Pengadilan Niaga di Medan.
Sesuai ketentuan, Chaerul menambahkan perseroan melakukan upaya-upaya penyelamatan kredit dengan melakukan pola penjualan piutang secara cessie kepada PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) pada 31 Desember 2018.
Saat itu diterangkan cesie merupakan opsi penyelesaian terbaik dan memenuhi ketentuan yang berlaku. Chaerul juga menegaskan kredit terhadap PPA tidak ada indikasi window dressing karena pemberiannya telah sesuai dengan peruntukkan.
Saat ini, fasilitas tersebut telah lunas pada 5 Maret 2019. "Secara bisnis, pemberian dua fasilitas perbankan tersebut telah selesai," jelasnya.
Chaerul menambahkan, perseroan juga telah dipanggil Badan Akuntabilitas Keuangan Negara Dewan Perwakilan Rakyat (BAKN DPR). "Direksi kami telah memberikan informasi dan klarifikasi atas hal tersebut kepada BAKN," tutur dia.
"Secara korporasi dengan tegas harus saya katakan kalau kita tidak sependapat dengan sangkaan atau dugaan window dressing di tahun 2018 yang disampaikan Ketua Serikat Pekerja BTN. Apa yang disampaikan mereka kepada BAKN banyak tidak berdasar pada data dan fakta," tegas Chaerul.
Adapun, hingga kini, Bank BTN juga terus meningkatkan penerapan asas Good Corporate Governance (GCG) dalam pelaksanaan bisnisnya. Perseroan pun pun terus memupuk pencadangan dengan rasio mencapai 52,67% pada September 2019 atau setara Rp2,18 triliun. Posisi pencadangan tersebut naik 21,34% secara tahunan (year-on-year/yoy) dari Rp1,79 triliun pada September 2018.
(ven)