Saatnya Strategi Bakar Uang Perusahaan Startup Berhenti
A
A
A
JAKARTA - Praktik bakar uang yang kerap dilakukan perusahaan rintisan berbasis teknologi (startup) diyakini akan berakhir. Manajemen perusahaan dan termasuk para mitra terkait mulai harus berpikir keberlangsungan usaha secara jangka panjang.
"Tiap entitas punya kekuatan dan nafas masing-masing. Tapi saatnya berpikir bahwa situasi (bakar uang) akan jadi zero-sum game (satu pihak rugi, pihak lain untung). Harus berakhir," ujar Business Development Advisor Bursa Efek Indonesia (BEI) Poltak Hotradero saat menghadiri paparan hasil penelitian Ipsos: 'Evolusi Dompet Digital: Strategi Menang Tanpa Bakar Uang' di hotel JW Marriott, Jakarta.
Perusahaan yang semula sebagai rintisan kemudian mendapat suntikan investasi besar dari institusi besar sekalipun, Poltak menegaskan, harus tetap menjalankan praktik tata kelola yang baik. "Semua ini masalah sustainability (keberlanjutan). Startup tidak bisa kayak koboy. Semakin ke sini harus semakin perhatikan GCG (Good Corporate Governance/tata kelola yang baik)," sarannya.
Sebab hanya dengan GCG, sambung dia sebuah perusahaan termasuk startup bisa berkelanjutan. Bertahan dan terus berkembang dalam jangka Panjang. "Ini (GCG) juga yang menjadi pegangan investor," imbuhnya.
Menghentikan praktik bakar uang bukan sekadar menyelamatkan perusahaan dan para pihak terlibat di dalamnya, tetapi menurutnya juga menyelamatkan industri. Salah satunya untuk mulai mengetahui kebutuhan konsumen secara riil.
"Jadi untuk mengetahui kebutuhan konsumen sebenarnya seperti apa. Bukan konsumen yang menggunakan karena ada promo saja karena kesannya jadi mengada-ada. Promo boleh saja dilakukan tetapi bukan yang terus-terusan," paparnya.
Selama masih terdistorsi oleh promo hasil aksi bakar uang, kata Poltak, tidak akan pernah ada gambaran sesungguhnya dari para pengguna produk atau jasa perusahaan. "Silakan bakar duit tapi apa anda yakin bisa dapat gambaran yang riil dan spesifik?" terusnya.
Ketika hal tersebut terjadi, Ia meyakini, bakar uang yang dilakukan tidak akan pernah kembali menjadi sebuah keuntungan. "Ini alasan yang cukup jelas. Jika praktik bisnis anda tidak melahirkan data yang baik, percuma!" tegasnya.
Poltak memberi contoh bagaimana startup co-working space, WeWork dan investornya SoftBank harus menerima kegagalan karena terlalu banyak bakar uang. Salah satu imbasnya adalah gagal masuk bursa saham (IPO).
"Kita bisa lihat dalam prospektus WeWork waktu mau IPO itu banyak hal tidak sustainability dan benturan kepentingan," ucap Poltak.
Analis menilai model bisnis bakar uang seperti dilakukan WeWork yang merupakan startup asal Amerika Serikat itu tidak selalu bagus untuk masa depan perusahaan.
Data Crunchbase mencatat, SoftBank telah menyuntik dana ke WeWork hingga USD 10,4 miliar. Investasi terakhir dari SoftBank mencapai USD 2 miliar. Sekitar USD 700 juta atau setara hampir Rp10 triliun per kuartalnya digunakan untuk promosi dengan model bakar uang.
Setelah kegagalan IPO tersebut, WeWork diisukan menghadapi risiko bankrupt (bangkrut).
"Tiap entitas punya kekuatan dan nafas masing-masing. Tapi saatnya berpikir bahwa situasi (bakar uang) akan jadi zero-sum game (satu pihak rugi, pihak lain untung). Harus berakhir," ujar Business Development Advisor Bursa Efek Indonesia (BEI) Poltak Hotradero saat menghadiri paparan hasil penelitian Ipsos: 'Evolusi Dompet Digital: Strategi Menang Tanpa Bakar Uang' di hotel JW Marriott, Jakarta.
Perusahaan yang semula sebagai rintisan kemudian mendapat suntikan investasi besar dari institusi besar sekalipun, Poltak menegaskan, harus tetap menjalankan praktik tata kelola yang baik. "Semua ini masalah sustainability (keberlanjutan). Startup tidak bisa kayak koboy. Semakin ke sini harus semakin perhatikan GCG (Good Corporate Governance/tata kelola yang baik)," sarannya.
Sebab hanya dengan GCG, sambung dia sebuah perusahaan termasuk startup bisa berkelanjutan. Bertahan dan terus berkembang dalam jangka Panjang. "Ini (GCG) juga yang menjadi pegangan investor," imbuhnya.
Menghentikan praktik bakar uang bukan sekadar menyelamatkan perusahaan dan para pihak terlibat di dalamnya, tetapi menurutnya juga menyelamatkan industri. Salah satunya untuk mulai mengetahui kebutuhan konsumen secara riil.
"Jadi untuk mengetahui kebutuhan konsumen sebenarnya seperti apa. Bukan konsumen yang menggunakan karena ada promo saja karena kesannya jadi mengada-ada. Promo boleh saja dilakukan tetapi bukan yang terus-terusan," paparnya.
Selama masih terdistorsi oleh promo hasil aksi bakar uang, kata Poltak, tidak akan pernah ada gambaran sesungguhnya dari para pengguna produk atau jasa perusahaan. "Silakan bakar duit tapi apa anda yakin bisa dapat gambaran yang riil dan spesifik?" terusnya.
Ketika hal tersebut terjadi, Ia meyakini, bakar uang yang dilakukan tidak akan pernah kembali menjadi sebuah keuntungan. "Ini alasan yang cukup jelas. Jika praktik bisnis anda tidak melahirkan data yang baik, percuma!" tegasnya.
Poltak memberi contoh bagaimana startup co-working space, WeWork dan investornya SoftBank harus menerima kegagalan karena terlalu banyak bakar uang. Salah satu imbasnya adalah gagal masuk bursa saham (IPO).
"Kita bisa lihat dalam prospektus WeWork waktu mau IPO itu banyak hal tidak sustainability dan benturan kepentingan," ucap Poltak.
Analis menilai model bisnis bakar uang seperti dilakukan WeWork yang merupakan startup asal Amerika Serikat itu tidak selalu bagus untuk masa depan perusahaan.
Data Crunchbase mencatat, SoftBank telah menyuntik dana ke WeWork hingga USD 10,4 miliar. Investasi terakhir dari SoftBank mencapai USD 2 miliar. Sekitar USD 700 juta atau setara hampir Rp10 triliun per kuartalnya digunakan untuk promosi dengan model bakar uang.
Setelah kegagalan IPO tersebut, WeWork diisukan menghadapi risiko bankrupt (bangkrut).
(akr)