Dengan Ekonomi Pancasila, Era Orba Sukses Tumbuhkan Ekonomi
A
A
A
JAKARTA - Kemampuan Presiden kedua Indonesia, Soeharto dalam menerapkan sistem demokrasi dan ekonomi Pancasila, membuatnya diklaim menjadi rezim yang paling berhasil dalam bidang ekonomi. Rezim Orde Baru itu mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi sampai 7% selama 25 tahun berturut-turut.
Demikian sebagaimana diungkapkan mantan Rektor Universitas Nasional, Prof. Dr. Umar Basalim, DES saat membuka diskusi dan bedah buku "Sistem Demokrasi Pancasila dan buku Sistem Ekonomi Pancasila" di Kampus Universitas Pancasila, Jakarta, Rabu (11/3/2020).
Buku itu sendiri ditulis Sunarto Sudarno, Subiakto Tjakrawerdaya, Setia Lenggono, Lestari Agus Salim, Budi Purwandaya, Muhammad Karim, Djafar, Diana Fawzia, dan Ganjar Razuni.
Peluncuran buku yang bertepatan dengan 54 tahun terbitnya Surat Perintah 11 Maret itu, berbarengan dengan diskusi buku yang membahas perbandingan sistem ekonomi dan demokrasi saat ini dengan sistem demokrasi ekonomi Pancasila dan UUD 1945.
Hadir pula beberapa pengulas lain, yakni Prof. Dr. Sofyan Effendi, Prof. Dr. Maria Farida, Dr. Yudi Latief, Dr. Alfan Alfian, Prof. Dr. Ahmad Erani, serta Prof. Dr. Sri Edi Swasono.
Edi Swasono memaparkan sistem ekonomi Pancasila adalah bagaimana memulai sistem ekonomi berdasarkan asas kekeluargaan. "Hal ini berbeda dengan sistem kapitalisme barat yang menempatkan modal atau pemodal sebagai yang sentral-substansial, sistem ekonomi Pancasila menempatkan manusia dengan kapabilitasnya sebagai yang utama," terangnya.
Lebih lanjut, Sri Edi mengutarakan bahwa Indonesia perlu mengutamakan kedaulatan rakyat dengan mengontrol pasar, bukan membebaskan maupun menyingkirkan. "Konstitusi Indonesia menolak pasar bebas karena berpotensi menyisihkan kelompok miskin. Hal ini merupakan kritik Bung Hatta terhadap pandangan ekonomi Adam Smith. Sistem Ekonomi Pancasila penting untuk dikaji lebih dalam agar menembus blokade akademis," tuturnya.
Dalam kesempatan yang sama, Sofyan Effendi, menyinggung soal sistem ekonomi yang berkaitan dengan bagaimana sistem demokrasi dijalankan. Perubahan UUD pada tahun 2002 adalah contohnya. "Begitu kentalnya peran NGO Asing dalam amandemen 1 sampai dengan 4 UUD 1945, UU NRI ini lebih tepat disebut sebagai UUD 2002," kritik Sofyan.
Senada dengan Sofyan, Maria Farida mengatakan jika tatanan kenegaraan sudah sangat berbeda antara praktik UUD 45 asli dan setelah amandemen. "Sejak UUD Amandemen berlaku maka tidak ada lembaga negara yang memegang kedaulatan rakyat sehingga sejak 2004, Presiden bukan lagi mandataris MPR," kata dia.
Sementara itu, selain menghadirkan para pengulas, acara peluncuran dan bedah buku ini turut diikuti Jenderal TNI Purn. Try Sutrisno, Prof. Dr. Haryono Suyono, Dr. AB Kusuma, Subagyo SH, Prof. Dr. Nazaruddin Sjamsuddin, MA, Soenarto Soedarno, Dr. Arissetyanto Nugroho, Pimpinan Universitas Pancasila, Universitas Trilogi dan Universitas Nasional.
Demikian sebagaimana diungkapkan mantan Rektor Universitas Nasional, Prof. Dr. Umar Basalim, DES saat membuka diskusi dan bedah buku "Sistem Demokrasi Pancasila dan buku Sistem Ekonomi Pancasila" di Kampus Universitas Pancasila, Jakarta, Rabu (11/3/2020).
Buku itu sendiri ditulis Sunarto Sudarno, Subiakto Tjakrawerdaya, Setia Lenggono, Lestari Agus Salim, Budi Purwandaya, Muhammad Karim, Djafar, Diana Fawzia, dan Ganjar Razuni.
Peluncuran buku yang bertepatan dengan 54 tahun terbitnya Surat Perintah 11 Maret itu, berbarengan dengan diskusi buku yang membahas perbandingan sistem ekonomi dan demokrasi saat ini dengan sistem demokrasi ekonomi Pancasila dan UUD 1945.
Hadir pula beberapa pengulas lain, yakni Prof. Dr. Sofyan Effendi, Prof. Dr. Maria Farida, Dr. Yudi Latief, Dr. Alfan Alfian, Prof. Dr. Ahmad Erani, serta Prof. Dr. Sri Edi Swasono.
Edi Swasono memaparkan sistem ekonomi Pancasila adalah bagaimana memulai sistem ekonomi berdasarkan asas kekeluargaan. "Hal ini berbeda dengan sistem kapitalisme barat yang menempatkan modal atau pemodal sebagai yang sentral-substansial, sistem ekonomi Pancasila menempatkan manusia dengan kapabilitasnya sebagai yang utama," terangnya.
Lebih lanjut, Sri Edi mengutarakan bahwa Indonesia perlu mengutamakan kedaulatan rakyat dengan mengontrol pasar, bukan membebaskan maupun menyingkirkan. "Konstitusi Indonesia menolak pasar bebas karena berpotensi menyisihkan kelompok miskin. Hal ini merupakan kritik Bung Hatta terhadap pandangan ekonomi Adam Smith. Sistem Ekonomi Pancasila penting untuk dikaji lebih dalam agar menembus blokade akademis," tuturnya.
Dalam kesempatan yang sama, Sofyan Effendi, menyinggung soal sistem ekonomi yang berkaitan dengan bagaimana sistem demokrasi dijalankan. Perubahan UUD pada tahun 2002 adalah contohnya. "Begitu kentalnya peran NGO Asing dalam amandemen 1 sampai dengan 4 UUD 1945, UU NRI ini lebih tepat disebut sebagai UUD 2002," kritik Sofyan.
Senada dengan Sofyan, Maria Farida mengatakan jika tatanan kenegaraan sudah sangat berbeda antara praktik UUD 45 asli dan setelah amandemen. "Sejak UUD Amandemen berlaku maka tidak ada lembaga negara yang memegang kedaulatan rakyat sehingga sejak 2004, Presiden bukan lagi mandataris MPR," kata dia.
Sementara itu, selain menghadirkan para pengulas, acara peluncuran dan bedah buku ini turut diikuti Jenderal TNI Purn. Try Sutrisno, Prof. Dr. Haryono Suyono, Dr. AB Kusuma, Subagyo SH, Prof. Dr. Nazaruddin Sjamsuddin, MA, Soenarto Soedarno, Dr. Arissetyanto Nugroho, Pimpinan Universitas Pancasila, Universitas Trilogi dan Universitas Nasional.
(ven)