Pengamat Nilai Indonesia Perlu Regulasi Khusus Terhadap Produk HPTL
A
A
A
JAKARTA - Indonesia hingga saat ini belum memiliki regulasi khusus yang berlandaskan kajian ilmiah terhadap produk tembakau alternatif atau dikategorikan sebagai Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL). Ketiadaan regulasi ini dikhawatirkan dapat merugikan banyak pihak terutama masyarakat umum.
Direktur Kajian dan Riset Pusat Studi Konstitusi dan Legislasi Nasional (Poskolegnas) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fathudin Kalimas mengatakan, sudah saatnya pembuat kebijakan meregulasi produk HPTL di Indonesia untuk menghindari kesimpangsiuran informasi dan menekan penyalahgunaan produk HPTL. Saat ini regulasi terkait produk HPTL hanya sebatas mengatur tarif cukai, tapi tidak mengatur terkait produknya.
“Kendati sekarang ada regulasi yang mengatur HPTL, namun regulasi ini adalah rezim cukai, bukan mengatur produk HPT-nya. Kebutuhan terhadap regulasi mengatur HPTL tidak lain sebagai sarana perlindungan hukum yang mesti disediakan pemerintah,” kata Fathudin di Jakarta, kemarin. (Baca: Pemerintah Diminta Susun Regulasi Tembakau Alternatif)
Regulasi tersebut diharapkan meliputi standar produk, batasan penjualan khusus bagi segmen pengguna dewasa berusia 18 tahun ke atas, dan lainnya. “Penyediaan instrumen kebijakan bertujuan untuk memastikan hak dan kewajiban serta menjamin hak-hak para subjek hukum, dalam konteks ini produsen (industri) dan konsumen,” kata Fathudin.
Menurut dia, dalam membuat regulasi terkait produk HPTL, pemerintah bisa mencontoh beberapa negara lain yang sudah lebih cekatan. Salah satunya Selandia Baru yang membuat rancangan undang-undang (RUU) amendemen untuk rokok elektrik dan produk bebas asap lainnya, termasuk produk tembakau yang dipanaskan, rokok elektrik atau vape, tembakau yang dikunyah (chewing tobacco), dan tembakau hirup (snuff). RUU amandemen itu dibahas di parlemen sejak awal Maret 2020.
Beberapa poin penting dalam RUU amandemen tersebut di antaranya produk tembakau alternatif hanya boleh dijual kepada konsumen umur 18 tahun ke atas dan adanya regulasi terhadap produk tembakau alternatif mengatur produk ini secara spesifik, yang dibedakan dengan aturan rokok. Salah satu perbedaan itu ialah pengadopsian peringatan kesehatan tekstual untuk produk tembakau alternatif yang menekankan pada sifat nikotin adiktif.
Fathudin menjelaskan, pembentukan regulasi produk HPTL tidak hanya memenuhi prinsip perlindungan hukum oleh pemerintah terhadap konsumen, tetapi juga bisa memberikan kepastian usaha bagi industri HPTL. “Regulasi yang dibentuk, selain berorientasi pada perlindungan konsumen, juga diharapkan dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif, bukan hanya terhadap industri berskala besar, tapi juga pada industri berskala UMKM,” katanya. (Baca juga: Gaprindo Minta Kepastian IHT di Tengah Aturan Eksesif)
Selain regulasi, Fathudin juga mendorong pemerintah melakukan kajian ilmiah terhadap produk HPTL, seperti produk tembakau yang dipanaskan dan rokok elektrik. Hal itu bertujuan untuk memberikan informasi akurat dan tepat terhadap produk HPTL kepada masyarakat, terutama perokok dewasa.
“Selama ini riset-riset mengenai produk HPTL masih dilakukan parsial dan mandiri oleh lembaga-lembaga riset. Alangkah baiknya jika pemerintah juga menginisiasi riset yang dilakukan secara konsorsium dengan melibatkan banyak pihak dan lintas sektor (pemangku kepentingan), termasuk Kementerian Kesehatan serta Badan Pengawas Obat dan Makanan,” katanya. (Rakhmat Baihaqi)
Direktur Kajian dan Riset Pusat Studi Konstitusi dan Legislasi Nasional (Poskolegnas) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fathudin Kalimas mengatakan, sudah saatnya pembuat kebijakan meregulasi produk HPTL di Indonesia untuk menghindari kesimpangsiuran informasi dan menekan penyalahgunaan produk HPTL. Saat ini regulasi terkait produk HPTL hanya sebatas mengatur tarif cukai, tapi tidak mengatur terkait produknya.
“Kendati sekarang ada regulasi yang mengatur HPTL, namun regulasi ini adalah rezim cukai, bukan mengatur produk HPT-nya. Kebutuhan terhadap regulasi mengatur HPTL tidak lain sebagai sarana perlindungan hukum yang mesti disediakan pemerintah,” kata Fathudin di Jakarta, kemarin. (Baca: Pemerintah Diminta Susun Regulasi Tembakau Alternatif)
Regulasi tersebut diharapkan meliputi standar produk, batasan penjualan khusus bagi segmen pengguna dewasa berusia 18 tahun ke atas, dan lainnya. “Penyediaan instrumen kebijakan bertujuan untuk memastikan hak dan kewajiban serta menjamin hak-hak para subjek hukum, dalam konteks ini produsen (industri) dan konsumen,” kata Fathudin.
Menurut dia, dalam membuat regulasi terkait produk HPTL, pemerintah bisa mencontoh beberapa negara lain yang sudah lebih cekatan. Salah satunya Selandia Baru yang membuat rancangan undang-undang (RUU) amendemen untuk rokok elektrik dan produk bebas asap lainnya, termasuk produk tembakau yang dipanaskan, rokok elektrik atau vape, tembakau yang dikunyah (chewing tobacco), dan tembakau hirup (snuff). RUU amandemen itu dibahas di parlemen sejak awal Maret 2020.
Beberapa poin penting dalam RUU amandemen tersebut di antaranya produk tembakau alternatif hanya boleh dijual kepada konsumen umur 18 tahun ke atas dan adanya regulasi terhadap produk tembakau alternatif mengatur produk ini secara spesifik, yang dibedakan dengan aturan rokok. Salah satu perbedaan itu ialah pengadopsian peringatan kesehatan tekstual untuk produk tembakau alternatif yang menekankan pada sifat nikotin adiktif.
Fathudin menjelaskan, pembentukan regulasi produk HPTL tidak hanya memenuhi prinsip perlindungan hukum oleh pemerintah terhadap konsumen, tetapi juga bisa memberikan kepastian usaha bagi industri HPTL. “Regulasi yang dibentuk, selain berorientasi pada perlindungan konsumen, juga diharapkan dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif, bukan hanya terhadap industri berskala besar, tapi juga pada industri berskala UMKM,” katanya. (Baca juga: Gaprindo Minta Kepastian IHT di Tengah Aturan Eksesif)
Selain regulasi, Fathudin juga mendorong pemerintah melakukan kajian ilmiah terhadap produk HPTL, seperti produk tembakau yang dipanaskan dan rokok elektrik. Hal itu bertujuan untuk memberikan informasi akurat dan tepat terhadap produk HPTL kepada masyarakat, terutama perokok dewasa.
“Selama ini riset-riset mengenai produk HPTL masih dilakukan parsial dan mandiri oleh lembaga-lembaga riset. Alangkah baiknya jika pemerintah juga menginisiasi riset yang dilakukan secara konsorsium dengan melibatkan banyak pihak dan lintas sektor (pemangku kepentingan), termasuk Kementerian Kesehatan serta Badan Pengawas Obat dan Makanan,” katanya. (Rakhmat Baihaqi)
(ysw)