Transformasi CSR Menjadi CSV, Wujud Peduli Perusahaan Terhadap Masyarakat
A
A
A
BENTUK tanggung jawab sosial perusahaan atau yang lebih dikenal dengan corporate social responsibility (CSR) kini telah bergeser menjadi creating shared values (CSV). Konsep CSV bisa diartikan sebagai CSR berkelanjutan dari sebuah perusahaan yang concern tidak hanya pada dampak sosial, tetapi juga dampak ekonomi.
Pakar marketing dari Inventure Consulting, Yuswohady Yuwohady mengatakan, segala bentuk pertanggungjawaban perusahaan terhadap masyarakat wajib dilakukan. Jika tidak dilakukan, bisa dianggap suatu perusahaan tidak menuntaskan kewajibannya hanya mengeruk keuntungan dengan membangun perusahaan.
Menurut dia, bentuk tanggung jawab perusahaan semakin berkembang dan bergeser menjadi creating shared values (CSV). CSV adalah sebuah konsep yang mengharuskan perusahaan memainkan peran ganda untuk menciptakan nilai ekonomi (economic value) dan nilai sosial (social value) secara bersama-sama, yakni memberikan solusi terhadap persoalan-persoalan ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Dia mengatakan, bentuk CSV sejauh ini merupakan bentuk yang ideal sebagai wujud tanggung jawab perusahaan terhadap masyarakat di lingkungan perusahaan khususnya dan masyarakat makro pada umumnya. “Kegiatan CSV ini memiliki beberapa perbedaan dengan CSR. Kegiatan CSV berjangka panjang dan lebih menyentuh ranah strategis perusahaan. CSV juga memberikan keuntungan secara sosial dan ekonomi bagi masyarakat,” ujar Yuswo di Jakarta, kemarin.
Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Fahmy Radhi mengatakan, setiap perusahaan yang beroperasi di Indonesia wajib menyisihkan anggaran untuk melaksanakan program sosial perusahaan atau CSR. Setiap CSR yang digelontorkan diharapkan dapat menciptakan nilai ekonomi (economic value) dan nilai sosial (social value) secara bersama-sama, yakni memberikan solusi terhadap persoalan-persoalan ekonomi, sosial, dan lingkungan.
“Hanya saja, pemanfaatnya selama ini tidak pernah maksimal dan berkelanjutan. Hanya sebagian kecil penerima CSR yang bisa mandiri dalam memanfaatkan dana CSR,” kata dia.
Dia berharap kegiatan CSR berjangka panjang dan lebih menyentuh ranah strategis perusahaan. Progam CSR sebaiknya benar-benar dirancang dengan baik sehingga memberikan keuntungan sosial dan ekonomi bagi masyarakat sehingga memberikan dampak secara ekonomi.
Anggota Komisi XI Putri Komarudin mengatakan, saat negara dalam kondisi tertekan akibat Covid-19 saat ini, sangat dibutuhkan kontribusi korporasi dalam bentuk penyaluran CSR yang tepat sasaran. Karena itu, pemerintah tetap perlu mempertimbangkan, perluasan jenis sektor industri yang mendapatkan relaksasi. Hal ini perlu dilakukan untuk memastikan buruh pada umumnya bisa tetap mempertahankan daya beli mereka.
Dia mencontohkan, terdapat kebijakan-kebijakan di negara-negara lain demi perusahaan tetap berjalan dan sekaligus menyalurkan CSR walaupun terkena dampak korona. Misalnya di Malaysia, hotel dan maskapai penerbangan serta industri pariwisata diberi penundaan pajak bulanan sejak 1 April 2020 selama 6 bulan. Hotel juga dikecualikan dari service tax mulai dari 1 Maret – 31 Agustus 2020.
Sementara itu di China, kata dia, relaksasi perpajakan untuk individu dan pelaku usaha yang tidak bisa membayar pajak karena dampak korona. Termasuk relaksasi pajak atas perusahaan yang berlokasi di pusat pandemi dan sektor-sektor paling rentan, seperti transportasi, pariwisata, dan perhotelan.
Selain itu, menurut dia, pemerintah perlu mempertimbangkan pembebasan bea masuk atas bahan baku tekstil impor yang diperlukan untuk memproduksi masker dan alat pelindung diri (APD) demi kebutuhan dalam negeri.
Dia mengaku mendapat kabar Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) berkomitmen untuk memproduksi masker dan APD yang diutamakan demi tenaga kesehatan, bukan untuk komersial. “Ini sebagai bagian dari keseimbangan CSR dengan bisnisnya,” kata Putri.
Indonesia bisa meniru kebijakan China yang memprioritaskan produksi masker dan alat respirasi untuk konsumsi dalam negeri. China telah mulai mengirimkan paket bantuan ke beberapa negara yang terdampak korona. China mendonasikan 250.000 masker untuk Iran (Februari), 200.000 untuk Filipina, 5 juta masker ke Korea Selatan, dan mengekspor 100.000 respirator sert 2 juta masker ke Italia.
Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah mengatakan, CSR akan berkelanjutan sepanjang perusahaan beroperasi dengan baik dan mendapatkan keuntungan yang cukup. “Ini yang harus dijaga oleh pemerintah. Memastikan bahwa iklim usaha berjalan baik sehingga perusahaan bisa mendapatkan keuntungan yang cukup,” jelas dia.
Menurut Piter, pemerintah juga perlu memastikan bahwa perusahaan senantiasa melaksanakan kewajibannya mengeluarkan CSR. Program CSR biasanya disalurkan oleh perusahaan ke sektor atau kelompok masyarakat yang ada kaitannya dengan bidang usaha perusahaan. “Karena perusahaan tetap saja ingin mendapatkan manfaat dari CSR yang dikeluarkan ya,” katanya. (Nanang Wijayanto/Hafid Fuad/Kunthi F Sandy)
Pakar marketing dari Inventure Consulting, Yuswohady Yuwohady mengatakan, segala bentuk pertanggungjawaban perusahaan terhadap masyarakat wajib dilakukan. Jika tidak dilakukan, bisa dianggap suatu perusahaan tidak menuntaskan kewajibannya hanya mengeruk keuntungan dengan membangun perusahaan.
Menurut dia, bentuk tanggung jawab perusahaan semakin berkembang dan bergeser menjadi creating shared values (CSV). CSV adalah sebuah konsep yang mengharuskan perusahaan memainkan peran ganda untuk menciptakan nilai ekonomi (economic value) dan nilai sosial (social value) secara bersama-sama, yakni memberikan solusi terhadap persoalan-persoalan ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Dia mengatakan, bentuk CSV sejauh ini merupakan bentuk yang ideal sebagai wujud tanggung jawab perusahaan terhadap masyarakat di lingkungan perusahaan khususnya dan masyarakat makro pada umumnya. “Kegiatan CSV ini memiliki beberapa perbedaan dengan CSR. Kegiatan CSV berjangka panjang dan lebih menyentuh ranah strategis perusahaan. CSV juga memberikan keuntungan secara sosial dan ekonomi bagi masyarakat,” ujar Yuswo di Jakarta, kemarin.
Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Fahmy Radhi mengatakan, setiap perusahaan yang beroperasi di Indonesia wajib menyisihkan anggaran untuk melaksanakan program sosial perusahaan atau CSR. Setiap CSR yang digelontorkan diharapkan dapat menciptakan nilai ekonomi (economic value) dan nilai sosial (social value) secara bersama-sama, yakni memberikan solusi terhadap persoalan-persoalan ekonomi, sosial, dan lingkungan.
“Hanya saja, pemanfaatnya selama ini tidak pernah maksimal dan berkelanjutan. Hanya sebagian kecil penerima CSR yang bisa mandiri dalam memanfaatkan dana CSR,” kata dia.
Dia berharap kegiatan CSR berjangka panjang dan lebih menyentuh ranah strategis perusahaan. Progam CSR sebaiknya benar-benar dirancang dengan baik sehingga memberikan keuntungan sosial dan ekonomi bagi masyarakat sehingga memberikan dampak secara ekonomi.
Anggota Komisi XI Putri Komarudin mengatakan, saat negara dalam kondisi tertekan akibat Covid-19 saat ini, sangat dibutuhkan kontribusi korporasi dalam bentuk penyaluran CSR yang tepat sasaran. Karena itu, pemerintah tetap perlu mempertimbangkan, perluasan jenis sektor industri yang mendapatkan relaksasi. Hal ini perlu dilakukan untuk memastikan buruh pada umumnya bisa tetap mempertahankan daya beli mereka.
Dia mencontohkan, terdapat kebijakan-kebijakan di negara-negara lain demi perusahaan tetap berjalan dan sekaligus menyalurkan CSR walaupun terkena dampak korona. Misalnya di Malaysia, hotel dan maskapai penerbangan serta industri pariwisata diberi penundaan pajak bulanan sejak 1 April 2020 selama 6 bulan. Hotel juga dikecualikan dari service tax mulai dari 1 Maret – 31 Agustus 2020.
Sementara itu di China, kata dia, relaksasi perpajakan untuk individu dan pelaku usaha yang tidak bisa membayar pajak karena dampak korona. Termasuk relaksasi pajak atas perusahaan yang berlokasi di pusat pandemi dan sektor-sektor paling rentan, seperti transportasi, pariwisata, dan perhotelan.
Selain itu, menurut dia, pemerintah perlu mempertimbangkan pembebasan bea masuk atas bahan baku tekstil impor yang diperlukan untuk memproduksi masker dan alat pelindung diri (APD) demi kebutuhan dalam negeri.
Dia mengaku mendapat kabar Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) berkomitmen untuk memproduksi masker dan APD yang diutamakan demi tenaga kesehatan, bukan untuk komersial. “Ini sebagai bagian dari keseimbangan CSR dengan bisnisnya,” kata Putri.
Indonesia bisa meniru kebijakan China yang memprioritaskan produksi masker dan alat respirasi untuk konsumsi dalam negeri. China telah mulai mengirimkan paket bantuan ke beberapa negara yang terdampak korona. China mendonasikan 250.000 masker untuk Iran (Februari), 200.000 untuk Filipina, 5 juta masker ke Korea Selatan, dan mengekspor 100.000 respirator sert 2 juta masker ke Italia.
Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah mengatakan, CSR akan berkelanjutan sepanjang perusahaan beroperasi dengan baik dan mendapatkan keuntungan yang cukup. “Ini yang harus dijaga oleh pemerintah. Memastikan bahwa iklim usaha berjalan baik sehingga perusahaan bisa mendapatkan keuntungan yang cukup,” jelas dia.
Menurut Piter, pemerintah juga perlu memastikan bahwa perusahaan senantiasa melaksanakan kewajibannya mengeluarkan CSR. Program CSR biasanya disalurkan oleh perusahaan ke sektor atau kelompok masyarakat yang ada kaitannya dengan bidang usaha perusahaan. “Karena perusahaan tetap saja ingin mendapatkan manfaat dari CSR yang dikeluarkan ya,” katanya. (Nanang Wijayanto/Hafid Fuad/Kunthi F Sandy)
(ysw)