Pemerintah keluarkan SE outsourcing
A
A
A
Sindonews.com – Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan mengeluarkan surat edaran (SE) tentang outsourcing dan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).
Surat edaran diperlukan agar tidak terjadi perselisihan antara pekerja dan pengusaha. Kemenakertrans menilai sistem kerja yang ada saat ini sudah berjalan sedemikian rupa sehingga perwujudan di lapangan akan keputusan MK akan dilakukan secara bertahap oleh pemerintah,pengusaha, dan pekerja.
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga kerja (PHI dan Jamsos) Kemenakertrans Myra M Hanartani mengungkapkan, surat edaran tersebut akan selesai dalam pekan ini.
Surat edaran tersebut merupakan bentuk respons Putusan MK No 27/PUU-IX/2011 pada 17 Januari 2012 mengenai permohonan pengujian Undang- Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang terkait dengan PKWT dan outsourcing ( Pasal 59, 64,65, dan 66).
”Kemenaketrans bersama dengan DPR juga akan merumuskan perubahan keputusan tersebut dalam peraturan perundang- undangan di bidang ketenagakerjaan, termasuk aturan perjanjian kerja dalam hubungan kerja,” ujar Myra di Gedung Kemenakertrans, Jakarta, kemarin.
Myra menambahkan, yang perlu ditekankan dalam putusan MK adalah pekerja yang melaksanakan pekerjaan dalam perusahaan outsourcing tidak boleh kehilangan hak-haknya karena sudah dilindungi konstitusi.
Terkait itu,harus dipastikan bahwa hubungan kerja antara pekerja atau buruh dengan perusahaan outsourcing yangmelaksanakan outsourcing dilaksanakan dengan tetap menjamin perlindungan atas hak-hak pekerja atau buruh itu.
Dalam perjanjian kerja outsourcing, lanjut dia,harus disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi buruh yang objek kerjanya tetap ada walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja.
Kepala Biro Hukum Kemenakertrans Sunarno menjelaskan, keputusan MK bersifat mengikat sehingga pemerintah tidak akan mengusahakan upaya hukum lainnya.
Menurut dia,substansi hukum tersebut sudah seharusnya ditindaklanjuti dalam rumusan baru UU Ketenagakerjaan.
”Karena yang menjadi acuan itu UU, maka harus diselaraskan juga dengan UU,”ujarnya. Akan tetapi, untuk sementara ini pihaknya akan merumuskan adanya peraturan sementara yang akan tertuang dalam peraturan Menakertrans (permenakertrans).
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Barat Deddy Widjaya menyatakan, keputusan MK pada dasarnya memberikan kepastian hukum bagi kalangan pengusaha dan pekerja. Namun, aturan detail sebagai tindak lanjut hasil uji materi itu harus segera dikeluarkan.
”Harus diperinci pekerja seperti apa yang boleh dan tidak. Bila sudah ada kepastian,bagaimanapun hukum tetap harus ditaati,termasuk oleh pemerintah dan pengusaha,”kata Deddy di Bandung kemarin.
MK mengabulkan sebagian permohonan pengujian UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (17/1). Aturan untuk pekerja outsourcing (penyedia jasa pekerjaan) dalam UU tersebut,yaitu Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2) huruf b, dianggap inkonstitusional jika tidak menjamin hak-hak pekerja.
Permohonan pengujian UU Ketenagakerjaan ini dimohonkan oleh Didik Suprijadi yang mewakili lembaga swadaya masyarakat (LSM) Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik Indonesia (AP2ML).
Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa menilai keputusan MK cukup adil. Hatta berpandangan,posisi buruh outsourcing menghadapi ketidakpastian kelanjutan kerja apabila hubungan kerja dilakukan berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).
”Memang dalam halhal yang bersifat normatif itu, tidak boleh ada diskriminasi, saya kira kita sambut baik saja keputusan mereka (MK) tersebut,” ungkap Hatta kemarin.
Dia mengklaim, putusan tersebut bisa diterima semua pihak, termasuk kalangan pengusaha. Namun, terlepas dari itu, perlu dipertimbangkan kemungkinan untuk tetap menggunakan tenaga kerja outsourcing.
”Untuk yang bersifat musiman, misalnya tibatiba dalam dua bulan diperlukan ada (outsourcing) untuk meningkatkan produksi, barangkali itu perlu dipikirkan seperti apa,”kata Hatta.
Surat edaran diperlukan agar tidak terjadi perselisihan antara pekerja dan pengusaha. Kemenakertrans menilai sistem kerja yang ada saat ini sudah berjalan sedemikian rupa sehingga perwujudan di lapangan akan keputusan MK akan dilakukan secara bertahap oleh pemerintah,pengusaha, dan pekerja.
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga kerja (PHI dan Jamsos) Kemenakertrans Myra M Hanartani mengungkapkan, surat edaran tersebut akan selesai dalam pekan ini.
Surat edaran tersebut merupakan bentuk respons Putusan MK No 27/PUU-IX/2011 pada 17 Januari 2012 mengenai permohonan pengujian Undang- Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang terkait dengan PKWT dan outsourcing ( Pasal 59, 64,65, dan 66).
”Kemenaketrans bersama dengan DPR juga akan merumuskan perubahan keputusan tersebut dalam peraturan perundang- undangan di bidang ketenagakerjaan, termasuk aturan perjanjian kerja dalam hubungan kerja,” ujar Myra di Gedung Kemenakertrans, Jakarta, kemarin.
Myra menambahkan, yang perlu ditekankan dalam putusan MK adalah pekerja yang melaksanakan pekerjaan dalam perusahaan outsourcing tidak boleh kehilangan hak-haknya karena sudah dilindungi konstitusi.
Terkait itu,harus dipastikan bahwa hubungan kerja antara pekerja atau buruh dengan perusahaan outsourcing yangmelaksanakan outsourcing dilaksanakan dengan tetap menjamin perlindungan atas hak-hak pekerja atau buruh itu.
Dalam perjanjian kerja outsourcing, lanjut dia,harus disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi buruh yang objek kerjanya tetap ada walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja.
Kepala Biro Hukum Kemenakertrans Sunarno menjelaskan, keputusan MK bersifat mengikat sehingga pemerintah tidak akan mengusahakan upaya hukum lainnya.
Menurut dia,substansi hukum tersebut sudah seharusnya ditindaklanjuti dalam rumusan baru UU Ketenagakerjaan.
”Karena yang menjadi acuan itu UU, maka harus diselaraskan juga dengan UU,”ujarnya. Akan tetapi, untuk sementara ini pihaknya akan merumuskan adanya peraturan sementara yang akan tertuang dalam peraturan Menakertrans (permenakertrans).
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Barat Deddy Widjaya menyatakan, keputusan MK pada dasarnya memberikan kepastian hukum bagi kalangan pengusaha dan pekerja. Namun, aturan detail sebagai tindak lanjut hasil uji materi itu harus segera dikeluarkan.
”Harus diperinci pekerja seperti apa yang boleh dan tidak. Bila sudah ada kepastian,bagaimanapun hukum tetap harus ditaati,termasuk oleh pemerintah dan pengusaha,”kata Deddy di Bandung kemarin.
MK mengabulkan sebagian permohonan pengujian UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (17/1). Aturan untuk pekerja outsourcing (penyedia jasa pekerjaan) dalam UU tersebut,yaitu Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2) huruf b, dianggap inkonstitusional jika tidak menjamin hak-hak pekerja.
Permohonan pengujian UU Ketenagakerjaan ini dimohonkan oleh Didik Suprijadi yang mewakili lembaga swadaya masyarakat (LSM) Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik Indonesia (AP2ML).
Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa menilai keputusan MK cukup adil. Hatta berpandangan,posisi buruh outsourcing menghadapi ketidakpastian kelanjutan kerja apabila hubungan kerja dilakukan berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).
”Memang dalam halhal yang bersifat normatif itu, tidak boleh ada diskriminasi, saya kira kita sambut baik saja keputusan mereka (MK) tersebut,” ungkap Hatta kemarin.
Dia mengklaim, putusan tersebut bisa diterima semua pihak, termasuk kalangan pengusaha. Namun, terlepas dari itu, perlu dipertimbangkan kemungkinan untuk tetap menggunakan tenaga kerja outsourcing.
”Untuk yang bersifat musiman, misalnya tibatiba dalam dua bulan diperlukan ada (outsourcing) untuk meningkatkan produksi, barangkali itu perlu dipikirkan seperti apa,”kata Hatta.
()