Jatuh bangun berbisnis resto Jepang
A
A
A
Sindonews.com - Bagi Bryan Thamrin, kegagalan sudah menjadi bagian untuk menuju keberhasilan. Dari kegagalan demi kegagalan yang dialaminya, dia mendapat pelajaran untuk membuat kesempurnaan dalam usahanya.
Perlu waktu tiga tahun lebih bagi Bryan untuk bisa merasakan hasil positif dari bisnis resto Jepang, Takemori, yang dikembangkannya di bawah bendera PT Takemori Indonesia.
Bryan bahkan hampir mengalami kebangkrutan karena gagal meningkatkan performa Takemori di dua tahun pertamanya. Namun, dengan menganalisis dan mempelajari kegagalan itu, pria yang lahir di Kota Makassar 21 Juni 1979 ini mampu membuat restoran tersebut bertahan.
Bahkan di tahun berikutnya, dia mampu melakukan pembukaan cabang baru di Senayan City pada 2006 (dipindahkan ke Bellagio pada 2011) dan Grand Indonesia setahun setelahnya. Takemori bukan sekadar bertahan, tetapi juga menjadi brand yang menguntungkan dengan omzet ratusan juta setiap bulannya.
“Saya yakin dengan usaha saya di Takemori ini. Dengan belajar dari kesalahan-kesalahan sebelumnya, pelan-pelan bisnis ini bisa berjalan baik dan akan menguntungkan,” ujar Bryan saat ditemui di Grand Indonesia belum lama ini.
Master marketing di salah satu perguruan tinggi swasta AS ini memang sejak awal ingin menjadi wirausaha. Tidak mengherankan, setelah menyelesaikan pendidikan di Negeri Paman Sam, Bryan langsung mencoba peruntungan pada usaha resto.
Awalnya, pria yang kini telah dikaruniai dua orang anak ini menjalin mitra dengan kedua rekannya untuk mendirikan resto fusion berbasis western di kawasan Kemang, Jakarta pada 2002. Tidak tanggung-tanggung, resto yang dinamakan Suite Seven itu menghabiskan modal Rp1,5 miliar yang ditanggung Bryan bersama dua rekannya.
Konsep bagus serta lokasi yang cukup ramai ternyata tidak menjamin kesuksesan. Hanya setengah tahun, resto itu pun gulung tikar.
Alhasil permodalan Bryan yang mencapai Rp500 juta lebih amblas begitu saja. Namun, jiwa usaha yang kuat membuat penyuka makan dan jalan-jalan ini tidak patah arang. Bryan mengambil hikmah dengan mengambil pelajaran dari kegagalan tersebut.
Dia menganalisis seluruh pekerjaan yang telah dilakukannya dalam usaha tersebut untuk kemudian menyempurnakannya pada usaha baru berikutnya, yaitu resto Jepang Takemori. Kali ini, Bryan benar-benar memulai dari nol.
Pemodalan pun sangat terbatas, yaitu sisa-sisa tabungan yang dia miliki. Dengan bermodal uang tidak lebih dari Rp200 juta, Bryan membuat resto kecil berkapasitas 20 orang yang hanya menawarkan menu shabu-shabu di kawasan Dharmawangsa pada 2003.
“Boleh dibilang saya itu penasaran. Karena saya hobi menyantap makanan Jepang, makanya saya bikin resto ini,” kata dia. Namun kesuksesan tidak datang begitu saja.
Menurut Bryan, selama periode 2003–2006, Takemori harus berjuang keras mempertahankan keberadaannya. Selama periode tersebut, Bryan masih mengandalkan uang tabungan guna memenuhi kebutuhan hidupnya.
Selama tiga tahun itu, Takemori menurut Bryan belum mampu memberi keuntungan. “Mungkin kalau lewat satu tahun lagi, habis saya. Sudah tidak ada lagi yang bisa dipertahankan,” tuturnya.
Untungnya evaluasi serta perbaikan yang terus dilakukan, terutama dalam hal manajerial serta pengaturan keuangan, membuat performa Takemori meningkat. Bryan pun berani memperluas jaringan dengan membuka cabang baru di Senayan City pada 2006 dan Grand Indonesia pada 2007.
Belajar dari pengalaman yang telah dilalui, pengembangan yang dilakukan Bryan bukan hanya pada taraf membangun restoran dan membuka cabang baru. Namun, dia juga membuat bisnis pendukung berupa perusahaan pemasok bahan baku makanan sendiri. Bryan mendirikan PT Brytha Indonesia yang menyuplai kebutuhan bahan baku untuk restoran, baik untuk restoran miliknya maupun restoran lain.
Komposisinya, menurut dia, 70 persen untuk kebutuhan sendiri, 30 persen dijual ke orang lain. Itu menurutnya sesuai dengan tujuan pembentukan Brytha guna menstandarkan restoran-restoran yang dimilikinya.
Selain Takemori, Bryan juga memiliki restoran lain, yaitu Shundobu, yang bermenu makanan Korea di Dharmawangsa. “Itu (Brytha) menjadi dapur pusat. Seluruh saus dan bahan baku makanan restoran milik saya berasal dari sini sehingga citra rasa pun akan sama di seluruh cabang,” kata dia.
Mengenai waralaba, dia masih mengevaluasi tawaran yang datang. Pasalnya, meski peminat besar, Bryan harus yakin mereka mampu mengembangkan usaha itu seperti yang dia lakukan. Bukan hanya konsep resto yang sama, tetapi dia juga ingin urusan manajerial serta kedekatan dengan karyawan serta pengunjung bisa sama seperti yang dia lakukan.
“Jadi bukan sekadar uang, tetapi saya juga ingin mitra yang bisa menangani bisnis seperti yang saya lakukan,” tutupnya. (ank)
Perlu waktu tiga tahun lebih bagi Bryan untuk bisa merasakan hasil positif dari bisnis resto Jepang, Takemori, yang dikembangkannya di bawah bendera PT Takemori Indonesia.
Bryan bahkan hampir mengalami kebangkrutan karena gagal meningkatkan performa Takemori di dua tahun pertamanya. Namun, dengan menganalisis dan mempelajari kegagalan itu, pria yang lahir di Kota Makassar 21 Juni 1979 ini mampu membuat restoran tersebut bertahan.
Bahkan di tahun berikutnya, dia mampu melakukan pembukaan cabang baru di Senayan City pada 2006 (dipindahkan ke Bellagio pada 2011) dan Grand Indonesia setahun setelahnya. Takemori bukan sekadar bertahan, tetapi juga menjadi brand yang menguntungkan dengan omzet ratusan juta setiap bulannya.
“Saya yakin dengan usaha saya di Takemori ini. Dengan belajar dari kesalahan-kesalahan sebelumnya, pelan-pelan bisnis ini bisa berjalan baik dan akan menguntungkan,” ujar Bryan saat ditemui di Grand Indonesia belum lama ini.
Master marketing di salah satu perguruan tinggi swasta AS ini memang sejak awal ingin menjadi wirausaha. Tidak mengherankan, setelah menyelesaikan pendidikan di Negeri Paman Sam, Bryan langsung mencoba peruntungan pada usaha resto.
Awalnya, pria yang kini telah dikaruniai dua orang anak ini menjalin mitra dengan kedua rekannya untuk mendirikan resto fusion berbasis western di kawasan Kemang, Jakarta pada 2002. Tidak tanggung-tanggung, resto yang dinamakan Suite Seven itu menghabiskan modal Rp1,5 miliar yang ditanggung Bryan bersama dua rekannya.
Konsep bagus serta lokasi yang cukup ramai ternyata tidak menjamin kesuksesan. Hanya setengah tahun, resto itu pun gulung tikar.
Alhasil permodalan Bryan yang mencapai Rp500 juta lebih amblas begitu saja. Namun, jiwa usaha yang kuat membuat penyuka makan dan jalan-jalan ini tidak patah arang. Bryan mengambil hikmah dengan mengambil pelajaran dari kegagalan tersebut.
Dia menganalisis seluruh pekerjaan yang telah dilakukannya dalam usaha tersebut untuk kemudian menyempurnakannya pada usaha baru berikutnya, yaitu resto Jepang Takemori. Kali ini, Bryan benar-benar memulai dari nol.
Pemodalan pun sangat terbatas, yaitu sisa-sisa tabungan yang dia miliki. Dengan bermodal uang tidak lebih dari Rp200 juta, Bryan membuat resto kecil berkapasitas 20 orang yang hanya menawarkan menu shabu-shabu di kawasan Dharmawangsa pada 2003.
“Boleh dibilang saya itu penasaran. Karena saya hobi menyantap makanan Jepang, makanya saya bikin resto ini,” kata dia. Namun kesuksesan tidak datang begitu saja.
Menurut Bryan, selama periode 2003–2006, Takemori harus berjuang keras mempertahankan keberadaannya. Selama periode tersebut, Bryan masih mengandalkan uang tabungan guna memenuhi kebutuhan hidupnya.
Selama tiga tahun itu, Takemori menurut Bryan belum mampu memberi keuntungan. “Mungkin kalau lewat satu tahun lagi, habis saya. Sudah tidak ada lagi yang bisa dipertahankan,” tuturnya.
Untungnya evaluasi serta perbaikan yang terus dilakukan, terutama dalam hal manajerial serta pengaturan keuangan, membuat performa Takemori meningkat. Bryan pun berani memperluas jaringan dengan membuka cabang baru di Senayan City pada 2006 dan Grand Indonesia pada 2007.
Belajar dari pengalaman yang telah dilalui, pengembangan yang dilakukan Bryan bukan hanya pada taraf membangun restoran dan membuka cabang baru. Namun, dia juga membuat bisnis pendukung berupa perusahaan pemasok bahan baku makanan sendiri. Bryan mendirikan PT Brytha Indonesia yang menyuplai kebutuhan bahan baku untuk restoran, baik untuk restoran miliknya maupun restoran lain.
Komposisinya, menurut dia, 70 persen untuk kebutuhan sendiri, 30 persen dijual ke orang lain. Itu menurutnya sesuai dengan tujuan pembentukan Brytha guna menstandarkan restoran-restoran yang dimilikinya.
Selain Takemori, Bryan juga memiliki restoran lain, yaitu Shundobu, yang bermenu makanan Korea di Dharmawangsa. “Itu (Brytha) menjadi dapur pusat. Seluruh saus dan bahan baku makanan restoran milik saya berasal dari sini sehingga citra rasa pun akan sama di seluruh cabang,” kata dia.
Mengenai waralaba, dia masih mengevaluasi tawaran yang datang. Pasalnya, meski peminat besar, Bryan harus yakin mereka mampu mengembangkan usaha itu seperti yang dia lakukan. Bukan hanya konsep resto yang sama, tetapi dia juga ingin urusan manajerial serta kedekatan dengan karyawan serta pengunjung bisa sama seperti yang dia lakukan.
“Jadi bukan sekadar uang, tetapi saya juga ingin mitra yang bisa menangani bisnis seperti yang saya lakukan,” tutupnya. (ank)
()