Konsumen Narsis
A
A
A
Sindonews.com - Akhir 2010 saat saya mengintroduksi terminologi Consumer 3000, saya sudah mengatakan bahwa salah satu ciri dari konsumen gaya baru Indonesia ini adalah terhubung satu sama lain (connected).
Dua ciri yang lain adalah, mereka berdaya beli tinggi (high buying power) dan berpengetahuan (knowledgable). Bagi yang belum tahu,Consumer 3000 adalah istilah yang saya pakai untuk menyebut konsumen kelas menengah (middle-class consumers) di Indonesia yang memiliki nilai-nilai (values), perilaku (behavior) dan sikap (attitude) yang unik dan berbeda dengan segmen konsumen lain.
Mereka bisa terhubung satu sama lain dan gampang berkomunitas karena hadirnya social technologies seperti SMS, BBM, Facebook, Twitter, atau blog. Fenomena connected customers adalah fenomena pemasaran baru yang begitu marak perkembangannya bak luapan tsunami sejak 5 tahun terakhir.
Terhubungnya konsumen merubah secara fundamental keseluruhan nilai-nilai, perilaku, dan sikap konsumen Indonesia. Fenomena baru ini menjadikan “DNA” konsumen Indonesia berubah total. Fenomena baru ini membuat “isi otak” konsumen Indonesia mengalami “rebooting”, memori lama terhapus, kemudian terisi dengan hal-hal yang sama sekali baru.
Connected Means Narcissism
Ketika satu konsumen terhubung satu sama lain, maka secara otomatis exposure mereka ke konsumen yang lain juga akan terbuka luas. Selama ini kita memerlukan media massal (broadcasting media) untuk bisa mendapatkan exposure, dilihat,dan diperhatikan oleh audiens yang luas. Celakanya media-media itu berbayar dan karena mahal, tak semua orang mampu mendapatkannya.
Kini, ketika SMS, BBM, Facebook, Twitter,YouTube,atau blog memungkinkan kita mendapatkan exposure itu dengan murah dan mudah,maka keinginan kita untuk dilihat dan diperhatikan (saya sebut: “naluri narsis”) pun menjadi terbebaskan dan terlampiaskan. Tagline YouTube menjadi semacam “pekik kemerdekaan” yang menandai terbebasnya konsumen untuk memuaskan kebutuhan narsisnya: “Broadcast Yourself!!!” Saya percaya bahwa naluri narsis sudah ada sejak jaman purbakala.
Saya juga percaya bahwa narsis adalah kebutuhan elementer anak manusia. Namun karena teknologi tidak memungkinkan kebutuhan narsis itu tercukupi secara mudah,murah, dan layak, maka kita terpaksa mengekangnya.
Sudah cukup lama kita berpuasa mengekang kebutuhan dan naluri kenarsisan kita. Ketika social technologies memungkinkan kita menjangkau audiens yang begitu luas, maka kinilah saatnya kita mengumbar kenarsisan kita. Sebut saja jaman ini adalah era “democartization of narcissism”. Era dimana siapapun mendapatkan hak penuh untuk narsis, nggak cuma monopoli Depe dan Jupe. Budaya “see and to be seen” pun menjadi wabah yang merajalela.
Me Personality
Ketika kebutuhan untuk narsis menjadi kian gampang terpenuhi dan terlampiaskan, maka tren perilaku konsumen ke depan gampang ditebak.Kepribadian yang mengagungkan keakuan (sebut saja: “me personality”) bakal marak dan begitu gampang menular dari satu konsumen ke konsumen lain melalui medium BBM, Facebook, Twitter, atau YouTube. Persis kata Jean Twenge (penulis dua buku hebat:
“The Narcissism Epidemic” dan “Generation Me”) bahwa narsis itu menular: “narcissism is contagious!!!” Twenge bahkan sudah melakukan survei menelusuri tren Narcissistic Personality Inventory Score (NPI score) di kalangan mahasiswa di Amerika selama kurun waktu 1982-2006.
Hasilnya, tingkat narsisme mereka naik tajam. Bagaimana dengan di Indonesia? “Me personality” menempatkan diri kita (“aku”) sebagai pusat dari hal-hal di luar kita (self-centered).
Orang yang memiliki kepribadian semacam ini akan menganggap diri mereka sebagai “aktor utama”dan orang lain sebagai “figuran”. Mereka akan menganggap diri mereka sebagai mahluk yang paling spesial, paling cantik-ganteng, paling pintar, paling kreatif, paling peduli, paling superior, dan segudang “paling” yang lain. Di sisi lain mereka juga menganggap orang di luar dirinya sebagai medioker, rata-rata,pecundang,atau inferior.
Pribadi Tak Utuh
Sudah menjadi naluri kita semua, bahwa kalau kita ingin menunjukkan diri kita ke orang banyak,maka yang kita tampilkan adalah yang baik-baik saja. Keluarkan yang baik-baik,sembunyikan rapat-rapat yang jelek-jelek.Tak heran jika yang muncul kemudian adalah “mentalitas selebriti”, tampil prima, sempurna,tanpa cacat di depan audiens, walaupun di balik itu banyak sampahsampah dan borok-borok bertebaran.
Menjadi celaka kalau sampah dan borok itu membusuk...ups!!! Contoh gampangnya adalah foto profil kita di BBM,Facebook, atau Twitter. Pasti kita ambil foto-foto itu adalah foto-foto tercantik dan terganteng kita. (hehehe...foto profil saya di Twitter keren bukan main, jauh dari wajah aslinya). Pasti tak ada yang “bunuh diri” dengan memasang foto profil jelek.
Omongan kita di blog,Facebook,atau Twitter juga kita atur sedemikian rupa sehingga terbentuk citra bahwa kita adalah orang terhebat di dunia, terbijak di dunia,dan teralim di dunia. Sisi jeleknya kita sembunyikan rapat-rapat, jangan sampai audiens kita tahu.Tak heran jika artikel atau ebook bertopik: “effective personal branding” atau “How to build personal image” menjadi laris manis di internet.
Kalau sudah begitu, maka kita menjadi mahluk dengan jiwa yang tereduksi. Kita menjadi pribadi yang tak utuh, pekat dilumuri pencitraan dan kepurapuraan, lebih parah lagi tindak-tanduk dan perilaku kita diwarnai kemunafikan. Lepas dari kontroversi yang melingkupinya, rasanya kita makin comfortable dengan kenarsisan kita. Buktinya, banyak teman Facebook atau Twitter saya bekomentar enteng mengenai narsisme. Kata mereka: “Narsis... siapa takuuuut!!!
YUSWOHADY
Pengamat Bisnis dan Pemasaran
Dua ciri yang lain adalah, mereka berdaya beli tinggi (high buying power) dan berpengetahuan (knowledgable). Bagi yang belum tahu,Consumer 3000 adalah istilah yang saya pakai untuk menyebut konsumen kelas menengah (middle-class consumers) di Indonesia yang memiliki nilai-nilai (values), perilaku (behavior) dan sikap (attitude) yang unik dan berbeda dengan segmen konsumen lain.
Mereka bisa terhubung satu sama lain dan gampang berkomunitas karena hadirnya social technologies seperti SMS, BBM, Facebook, Twitter, atau blog. Fenomena connected customers adalah fenomena pemasaran baru yang begitu marak perkembangannya bak luapan tsunami sejak 5 tahun terakhir.
Terhubungnya konsumen merubah secara fundamental keseluruhan nilai-nilai, perilaku, dan sikap konsumen Indonesia. Fenomena baru ini menjadikan “DNA” konsumen Indonesia berubah total. Fenomena baru ini membuat “isi otak” konsumen Indonesia mengalami “rebooting”, memori lama terhapus, kemudian terisi dengan hal-hal yang sama sekali baru.
Connected Means Narcissism
Ketika satu konsumen terhubung satu sama lain, maka secara otomatis exposure mereka ke konsumen yang lain juga akan terbuka luas. Selama ini kita memerlukan media massal (broadcasting media) untuk bisa mendapatkan exposure, dilihat,dan diperhatikan oleh audiens yang luas. Celakanya media-media itu berbayar dan karena mahal, tak semua orang mampu mendapatkannya.
Kini, ketika SMS, BBM, Facebook, Twitter,YouTube,atau blog memungkinkan kita mendapatkan exposure itu dengan murah dan mudah,maka keinginan kita untuk dilihat dan diperhatikan (saya sebut: “naluri narsis”) pun menjadi terbebaskan dan terlampiaskan. Tagline YouTube menjadi semacam “pekik kemerdekaan” yang menandai terbebasnya konsumen untuk memuaskan kebutuhan narsisnya: “Broadcast Yourself!!!” Saya percaya bahwa naluri narsis sudah ada sejak jaman purbakala.
Saya juga percaya bahwa narsis adalah kebutuhan elementer anak manusia. Namun karena teknologi tidak memungkinkan kebutuhan narsis itu tercukupi secara mudah,murah, dan layak, maka kita terpaksa mengekangnya.
Sudah cukup lama kita berpuasa mengekang kebutuhan dan naluri kenarsisan kita. Ketika social technologies memungkinkan kita menjangkau audiens yang begitu luas, maka kinilah saatnya kita mengumbar kenarsisan kita. Sebut saja jaman ini adalah era “democartization of narcissism”. Era dimana siapapun mendapatkan hak penuh untuk narsis, nggak cuma monopoli Depe dan Jupe. Budaya “see and to be seen” pun menjadi wabah yang merajalela.
Me Personality
Ketika kebutuhan untuk narsis menjadi kian gampang terpenuhi dan terlampiaskan, maka tren perilaku konsumen ke depan gampang ditebak.Kepribadian yang mengagungkan keakuan (sebut saja: “me personality”) bakal marak dan begitu gampang menular dari satu konsumen ke konsumen lain melalui medium BBM, Facebook, Twitter, atau YouTube. Persis kata Jean Twenge (penulis dua buku hebat:
“The Narcissism Epidemic” dan “Generation Me”) bahwa narsis itu menular: “narcissism is contagious!!!” Twenge bahkan sudah melakukan survei menelusuri tren Narcissistic Personality Inventory Score (NPI score) di kalangan mahasiswa di Amerika selama kurun waktu 1982-2006.
Hasilnya, tingkat narsisme mereka naik tajam. Bagaimana dengan di Indonesia? “Me personality” menempatkan diri kita (“aku”) sebagai pusat dari hal-hal di luar kita (self-centered).
Orang yang memiliki kepribadian semacam ini akan menganggap diri mereka sebagai “aktor utama”dan orang lain sebagai “figuran”. Mereka akan menganggap diri mereka sebagai mahluk yang paling spesial, paling cantik-ganteng, paling pintar, paling kreatif, paling peduli, paling superior, dan segudang “paling” yang lain. Di sisi lain mereka juga menganggap orang di luar dirinya sebagai medioker, rata-rata,pecundang,atau inferior.
Pribadi Tak Utuh
Sudah menjadi naluri kita semua, bahwa kalau kita ingin menunjukkan diri kita ke orang banyak,maka yang kita tampilkan adalah yang baik-baik saja. Keluarkan yang baik-baik,sembunyikan rapat-rapat yang jelek-jelek.Tak heran jika yang muncul kemudian adalah “mentalitas selebriti”, tampil prima, sempurna,tanpa cacat di depan audiens, walaupun di balik itu banyak sampahsampah dan borok-borok bertebaran.
Menjadi celaka kalau sampah dan borok itu membusuk...ups!!! Contoh gampangnya adalah foto profil kita di BBM,Facebook, atau Twitter. Pasti kita ambil foto-foto itu adalah foto-foto tercantik dan terganteng kita. (hehehe...foto profil saya di Twitter keren bukan main, jauh dari wajah aslinya). Pasti tak ada yang “bunuh diri” dengan memasang foto profil jelek.
Omongan kita di blog,Facebook,atau Twitter juga kita atur sedemikian rupa sehingga terbentuk citra bahwa kita adalah orang terhebat di dunia, terbijak di dunia,dan teralim di dunia. Sisi jeleknya kita sembunyikan rapat-rapat, jangan sampai audiens kita tahu.Tak heran jika artikel atau ebook bertopik: “effective personal branding” atau “How to build personal image” menjadi laris manis di internet.
Kalau sudah begitu, maka kita menjadi mahluk dengan jiwa yang tereduksi. Kita menjadi pribadi yang tak utuh, pekat dilumuri pencitraan dan kepurapuraan, lebih parah lagi tindak-tanduk dan perilaku kita diwarnai kemunafikan. Lepas dari kontroversi yang melingkupinya, rasanya kita makin comfortable dengan kenarsisan kita. Buktinya, banyak teman Facebook atau Twitter saya bekomentar enteng mengenai narsisme. Kata mereka: “Narsis... siapa takuuuut!!!
YUSWOHADY
Pengamat Bisnis dan Pemasaran
()