BPS belum siapkan simulasi inflasi soal BBM
A
A
A
Sindonews.com - Badan Pusat Statistik (BPS) mengaku belum menyiapkan skema perhitungan terkait pengaruh kebijakan terkait Bahan Bakar Minyak (BBM) terhadap inflasi. Pasalnya, hingga saat ini belum ada keputusan pasti terkait kebijakan BBM, apakah akan dibatasi atau dinaikkan.
"BBM ini kan kebijakannya belum jelas, mau pembatasan atau penaikan, karena cara simulasinya beda dan memakan waktu yang cukup lama," ujar Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Djamal di kantor BPS, Pasar Baru, Jakarta, Rabu (1/2/2012).
Perbedaan mekanisme simulasi ini, menurut Djamal, terletak pada banyaknya variabel yang mesti dihitung pada kebijakan pembatasan BBM. "Melihat skema dari yang ditayangkan media terlihat bahwa kalau pembatasan simulasinya agak complicated, karena ada orang yang pindah dari premium ke pertamax, tapi juga ada yang tidak bawa mobil kemudian lari ke kendaraan umum, dan kemudian juga yang lari ke gas, maka secara keseluruhan itu harus dihitung dan memiliki data yang jelas misalnya jumlah mobil," jelasnya.
Sedangkan untuk simulasi jika opsi kenaikan BBM yang diambil, menurut Djamal, maka perhitungannya menjadi sangat sederhana. "Menghitungnya lebih mudah kalau kenaikan harga, kalau harga dinaikkan begitu saja berlaku untuk semuanya. Kalau waktu kebijakan naik sebelumnya Rp500, memberikan konstribusi pada inflasi 0,31 persen," ungkapnya.
Opsi kenaikan harga bahan minyak (BBM) bersubsidi lebih realistis dibandingkan kebijakan pembatasan konsumsi. Selain lebih mudah penerapannya, opsi kenaikan juga tidak membutuhkan pengawasan khusus.
“Ini (kenaikan harga BBM) lebih mudah dilakukan dan tidak menimbulkan kompleksitas,” ujar Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Atma Jaya, Jakarta, A Prasetyantoko.
Menurutnya, kenaikan harga BBM bersubsidi tidak bisa dihindari lantaran harga minyak dunia cenderung naik. Seperti diberitakan, pemerintah mulai ragu kebijakan pembatasan BBM bersubsidi bisa diterapkan mulai 1 April 2012 karena terkendala persiapan infrastruktur.
"BBM ini kan kebijakannya belum jelas, mau pembatasan atau penaikan, karena cara simulasinya beda dan memakan waktu yang cukup lama," ujar Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Djamal di kantor BPS, Pasar Baru, Jakarta, Rabu (1/2/2012).
Perbedaan mekanisme simulasi ini, menurut Djamal, terletak pada banyaknya variabel yang mesti dihitung pada kebijakan pembatasan BBM. "Melihat skema dari yang ditayangkan media terlihat bahwa kalau pembatasan simulasinya agak complicated, karena ada orang yang pindah dari premium ke pertamax, tapi juga ada yang tidak bawa mobil kemudian lari ke kendaraan umum, dan kemudian juga yang lari ke gas, maka secara keseluruhan itu harus dihitung dan memiliki data yang jelas misalnya jumlah mobil," jelasnya.
Sedangkan untuk simulasi jika opsi kenaikan BBM yang diambil, menurut Djamal, maka perhitungannya menjadi sangat sederhana. "Menghitungnya lebih mudah kalau kenaikan harga, kalau harga dinaikkan begitu saja berlaku untuk semuanya. Kalau waktu kebijakan naik sebelumnya Rp500, memberikan konstribusi pada inflasi 0,31 persen," ungkapnya.
Opsi kenaikan harga bahan minyak (BBM) bersubsidi lebih realistis dibandingkan kebijakan pembatasan konsumsi. Selain lebih mudah penerapannya, opsi kenaikan juga tidak membutuhkan pengawasan khusus.
“Ini (kenaikan harga BBM) lebih mudah dilakukan dan tidak menimbulkan kompleksitas,” ujar Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Atma Jaya, Jakarta, A Prasetyantoko.
Menurutnya, kenaikan harga BBM bersubsidi tidak bisa dihindari lantaran harga minyak dunia cenderung naik. Seperti diberitakan, pemerintah mulai ragu kebijakan pembatasan BBM bersubsidi bisa diterapkan mulai 1 April 2012 karena terkendala persiapan infrastruktur.
()