FLPP di simpang jalan?
A
A
A
Sindonews.com - Pemerintah (Kementerian Perumahan Rakyat/ Kemenpera) menghentikan pembiayaan rumah Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) pada awal 2012. Lho, ada apa?
Kemenpera minta penurunan bunga kredit dari 8,15–9,95 persen menjadi 6,5–7 persen dan rasio penempatan dana dari 60:40 menjadi 50:50. Namun, Kemenpera dan bank pelaksana belum mencapai kesepakatan.
Bagaimana sebaiknya? Sebelumnya mari kita tengok perkembangan kredit pemilikan rumah (KPR). Menurut Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia (SEKI) November 2011 yang terbit Januari 2011, KPR kelompok BPR melesat jauh 42,43 persen dari Rp370 miliar per November 2010 menjadi Rp527 miliar per November 2011.
Kinerja cemerlang itu diikuti KPR kelompok bank persero yang melejit 29,16 persen dari Rp90,46 triliun menjadi Rp116,84 triliun dan kelompok bank swasta nasional terbang tinggi 23,76 persen dari Rp118,54 triliun menjadi Rp146,71 triliun. Kemudian disusul KPR kelompok BPD yang meningkat 15,19 persen dari Rp22,78 triliun menjadi Rp26,24 triliun dan kelompok bank asing dan campuran 14,87 persen dari Rp6,59 triliun menjadi Rp7,57 triliun pada periode yang sama.
Berdasarkan Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 10 Tahun 2011 tanggal 6 Juli 2011 tentang Pengadaan Perumahan melalui Kredit Konstruksi Rumah Sejahtera Murah Tapak dengan Dukungan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), program FLPP melangkah. Yang dimaksud FLPP adalah dukungan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan kepada masyarakat berpenghasilan rendah yang dikelola Kemenpera. Anggaran FLPP bersumber dari pemerintah dan bank pelaksana dengan menggunakan pola pembiayaan bersama (joint financing) dengan rasio saat ini 60:40.
Tidak seperti KPR biasa, KPR dengan model FLPP ini menawarkan bunga kredit terjangkau dan bunga tetap (fixed rate) sepanjang masa kredit dengan tenor 15 tahun. Artinya, KPR FLPP tidak menggunakan bunga tetap selama satu hingga dua tahun dan dilanjutkan dengan bunga mengambang atau mengikuti bunga pasar (floating rate).
Bagaimana realisasi FLPP sepanjang 2011? Data Kemenpera menunjukkan bahwa penyaluran FLPP mencapai 99.699 unit rumah atau 67 persen dari target sekitar 150 ribu unit rumah pada 2011 dengan penyediaan dana Rp3,5 triliun.
Pencapaian tersebut dapat dianggap kurang menggembirakan kalau dibandingkan dengan kinerja FLPP pada 2010 yang mampu mencapai 108.471 unit rumah dengan penyediaan dana Rp2,6 triliun.
Pada 2012, pemerintah mengalokasikan anggaran Rp4,6 triliun. Terkait dengan buntunya perundingan tentang penurunan bunga dan rasio penempatan dana, bagaimana alternatif solusinya? Pertama, membagi keuntungan.Terlebih dahulu harus disadari bahwa bunga kredit Indonesia dinilai tertinggi di kawasan Asia Tenggara.
Potensi risikonya, kelak bank nasional akan sulit bersaing ketika Masyarakat Ekonomi ASEAN mulai berlaku pada 2015. Maka untuk menekan bunga kredit,Bank Indonesia (BI) meluncurkan kebijakan suku bunga dasar kredit (SBDK) alias primelending rate.
Kebijakan tersebut berlaku efektif 31 Maret 2011 sehingga bank nasional wajib mengumumkan SBDK melalui laman, koran dan seluruh kantor cabang bank.SBDK merupakan bunga terendah yang digunakan sebagai dasar bagi bank nasional dalam menentukan bunga kredit yang dikenakan kepada nasabah bank nasional.
Repotnya, SBDK belum mampu menjadi alat ampuh untuk meminikan bunga kredit secara signifikan meskipun BI Rate sudah meramping dari 6,5 persen menjadi enam persen per November 2011.
Namun, jangan alpa bahwa bank nasional masih memiliki wewenang untuk menentukan premi risiko (risk premium) di luar SBDK.Saat ini rata-rata premi risiko bank nasional mencapai sekitar 1,3 persen. Jadi, sekiranya SBDK KPR berada setingkat BI Rate enam persen, itu berarti bunga kredit dengan hitungan kasar akan berada pada level minimal 7,3 persen (enam persen plus premi risiko 1,3 persen).
Akibat logisnya, bunga kredit FLPP sulit bin sukar untuk menipis menjadi tujuh persen apalagi 6,5 persen seperti harapan Kemenpera. Lantas,bagaimana jalan keluarnya? Kemenpera dapat minta bank pelaksana untuk menurunkan premi risiko misalnya 20 basis poin (bp) (0,20 persen) menjadi sekitar 1,1 persen sehingga bunga kredit FLPP menjadi minimal 7,1 persen. Ini masih jauh lebih bersaing daripada bunga KPR biasa sekitar 10 persen. Kedua, membagi potensi risiko. Kinerja FLPP pada 2011 yang kurang memuaskan atau hanya mencapai 67 persen dari target itu dapat disebabkan aneka faktor.
Katakanlah, faktor keterbatasan daya beli masyarakat mengingat FLPP ditujukan untuk masyarakat berpenghasilan rendah.Selain itu,juga hambatan di lapangan berupa ketidaksiapan pasokan hunian. Nah,mengapa bank nasional masih enggan untuk menerima penurunan rasio penempatan dana dari 60:40 menjadi 50:50? Sungguh,dapat diduga sebagian besar dari 16 bank pelaksana FLPP itu mengalami kesulitan dalam mencari dana untuk jangka panjang mengingat tenor FLPP 10 tahun hingga 15 tahun.
Terlebih saat ini bank nasional sedang mengerek modal untuk mampu menghadapi dampak krisis utang Eropa. Bukan hanya itu.Keengganan bank nasional itu pun sebab FLPP dilakukan dengan menggunakan pola executing. Dengan bahasa lebih lugas, pola penyaluran dengan risiko ketidaktertagihan dana FLPP yang ditanggung bank pelaksana. Wah, ini berat! Pemerintah jangan mau enak sendiri. Untuk itu, Kemenpera sudah semestinya juga bersedia membagi potensi risiko dengan menanggung minimal 25 persen ketidaktertagihan dana FLPP.
Dengan pembagian potensi risiko demikian, boleh jadi bank pelaksana akan mempertimbangkan untuk menaikkan rasio penempatan dana menjadi 50:50. Dengan alternatif solusi demikian, kedua belah pihak baik Kemempera dan bank nasional yang bertindak sebagai bank pelaksana FLPP akan saling meraih keuntungan. Akhir tutur, masyarakat berpenghasilan rendah Rp4,5 juta per bulan akan segera dapat mewujudkan mimpi mereka untuk memiliki rumah idaman.
PAUL SUTARYONO
Pengamat Perbankan
Kemenpera minta penurunan bunga kredit dari 8,15–9,95 persen menjadi 6,5–7 persen dan rasio penempatan dana dari 60:40 menjadi 50:50. Namun, Kemenpera dan bank pelaksana belum mencapai kesepakatan.
Bagaimana sebaiknya? Sebelumnya mari kita tengok perkembangan kredit pemilikan rumah (KPR). Menurut Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia (SEKI) November 2011 yang terbit Januari 2011, KPR kelompok BPR melesat jauh 42,43 persen dari Rp370 miliar per November 2010 menjadi Rp527 miliar per November 2011.
Kinerja cemerlang itu diikuti KPR kelompok bank persero yang melejit 29,16 persen dari Rp90,46 triliun menjadi Rp116,84 triliun dan kelompok bank swasta nasional terbang tinggi 23,76 persen dari Rp118,54 triliun menjadi Rp146,71 triliun. Kemudian disusul KPR kelompok BPD yang meningkat 15,19 persen dari Rp22,78 triliun menjadi Rp26,24 triliun dan kelompok bank asing dan campuran 14,87 persen dari Rp6,59 triliun menjadi Rp7,57 triliun pada periode yang sama.
Berdasarkan Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 10 Tahun 2011 tanggal 6 Juli 2011 tentang Pengadaan Perumahan melalui Kredit Konstruksi Rumah Sejahtera Murah Tapak dengan Dukungan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), program FLPP melangkah. Yang dimaksud FLPP adalah dukungan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan kepada masyarakat berpenghasilan rendah yang dikelola Kemenpera. Anggaran FLPP bersumber dari pemerintah dan bank pelaksana dengan menggunakan pola pembiayaan bersama (joint financing) dengan rasio saat ini 60:40.
Tidak seperti KPR biasa, KPR dengan model FLPP ini menawarkan bunga kredit terjangkau dan bunga tetap (fixed rate) sepanjang masa kredit dengan tenor 15 tahun. Artinya, KPR FLPP tidak menggunakan bunga tetap selama satu hingga dua tahun dan dilanjutkan dengan bunga mengambang atau mengikuti bunga pasar (floating rate).
Bagaimana realisasi FLPP sepanjang 2011? Data Kemenpera menunjukkan bahwa penyaluran FLPP mencapai 99.699 unit rumah atau 67 persen dari target sekitar 150 ribu unit rumah pada 2011 dengan penyediaan dana Rp3,5 triliun.
Pencapaian tersebut dapat dianggap kurang menggembirakan kalau dibandingkan dengan kinerja FLPP pada 2010 yang mampu mencapai 108.471 unit rumah dengan penyediaan dana Rp2,6 triliun.
Pada 2012, pemerintah mengalokasikan anggaran Rp4,6 triliun. Terkait dengan buntunya perundingan tentang penurunan bunga dan rasio penempatan dana, bagaimana alternatif solusinya? Pertama, membagi keuntungan.Terlebih dahulu harus disadari bahwa bunga kredit Indonesia dinilai tertinggi di kawasan Asia Tenggara.
Potensi risikonya, kelak bank nasional akan sulit bersaing ketika Masyarakat Ekonomi ASEAN mulai berlaku pada 2015. Maka untuk menekan bunga kredit,Bank Indonesia (BI) meluncurkan kebijakan suku bunga dasar kredit (SBDK) alias primelending rate.
Kebijakan tersebut berlaku efektif 31 Maret 2011 sehingga bank nasional wajib mengumumkan SBDK melalui laman, koran dan seluruh kantor cabang bank.SBDK merupakan bunga terendah yang digunakan sebagai dasar bagi bank nasional dalam menentukan bunga kredit yang dikenakan kepada nasabah bank nasional.
Repotnya, SBDK belum mampu menjadi alat ampuh untuk meminikan bunga kredit secara signifikan meskipun BI Rate sudah meramping dari 6,5 persen menjadi enam persen per November 2011.
Namun, jangan alpa bahwa bank nasional masih memiliki wewenang untuk menentukan premi risiko (risk premium) di luar SBDK.Saat ini rata-rata premi risiko bank nasional mencapai sekitar 1,3 persen. Jadi, sekiranya SBDK KPR berada setingkat BI Rate enam persen, itu berarti bunga kredit dengan hitungan kasar akan berada pada level minimal 7,3 persen (enam persen plus premi risiko 1,3 persen).
Akibat logisnya, bunga kredit FLPP sulit bin sukar untuk menipis menjadi tujuh persen apalagi 6,5 persen seperti harapan Kemenpera. Lantas,bagaimana jalan keluarnya? Kemenpera dapat minta bank pelaksana untuk menurunkan premi risiko misalnya 20 basis poin (bp) (0,20 persen) menjadi sekitar 1,1 persen sehingga bunga kredit FLPP menjadi minimal 7,1 persen. Ini masih jauh lebih bersaing daripada bunga KPR biasa sekitar 10 persen. Kedua, membagi potensi risiko. Kinerja FLPP pada 2011 yang kurang memuaskan atau hanya mencapai 67 persen dari target itu dapat disebabkan aneka faktor.
Katakanlah, faktor keterbatasan daya beli masyarakat mengingat FLPP ditujukan untuk masyarakat berpenghasilan rendah.Selain itu,juga hambatan di lapangan berupa ketidaksiapan pasokan hunian. Nah,mengapa bank nasional masih enggan untuk menerima penurunan rasio penempatan dana dari 60:40 menjadi 50:50? Sungguh,dapat diduga sebagian besar dari 16 bank pelaksana FLPP itu mengalami kesulitan dalam mencari dana untuk jangka panjang mengingat tenor FLPP 10 tahun hingga 15 tahun.
Terlebih saat ini bank nasional sedang mengerek modal untuk mampu menghadapi dampak krisis utang Eropa. Bukan hanya itu.Keengganan bank nasional itu pun sebab FLPP dilakukan dengan menggunakan pola executing. Dengan bahasa lebih lugas, pola penyaluran dengan risiko ketidaktertagihan dana FLPP yang ditanggung bank pelaksana. Wah, ini berat! Pemerintah jangan mau enak sendiri. Untuk itu, Kemenpera sudah semestinya juga bersedia membagi potensi risiko dengan menanggung minimal 25 persen ketidaktertagihan dana FLPP.
Dengan pembagian potensi risiko demikian, boleh jadi bank pelaksana akan mempertimbangkan untuk menaikkan rasio penempatan dana menjadi 50:50. Dengan alternatif solusi demikian, kedua belah pihak baik Kemempera dan bank nasional yang bertindak sebagai bank pelaksana FLPP akan saling meraih keuntungan. Akhir tutur, masyarakat berpenghasilan rendah Rp4,5 juta per bulan akan segera dapat mewujudkan mimpi mereka untuk memiliki rumah idaman.
PAUL SUTARYONO
Pengamat Perbankan
()