2011, terdapat 1.234 gangguan operasi migas

Kamis, 09 Februari 2012 - 15:33 WIB
2011, terdapat 1.234 gangguan operasi migas
2011, terdapat 1.234 gangguan operasi migas
A A A


Sindonews.com - Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) mengatakan, selama tahun 2011, gangguan operasi meningkat hingga 1.234 gangguan dibanding tahun 2010 sebesar 756 gangguan.

"Total gangguan yang terjadi sepanjang 2011 mencapai 1.234 gangguan dibandingkan tahun 2010 sebanyak 756 gangguan," ujar Kepala Divisi Humas, Sekuriti, dan Formalitas BP Migas Gde Pradnyana yang ditemui di Kantor BP Migas, Gedung Wisma Mulya, Jakarta, Kamis (9/2/2012).

Menurutnya, gangguan-gangguan itu terdiri dari perijinan, tumpang tindih, internal KKKS, ketidaksertaan alat dan proses pengadaan.

"Wilayah eksplorasi ada 112 perusahaan dan 67 persen belum bisa memenuhi komitmen, 51 persen penyebabnya di luar kendali kita. Misalnya masalah tumpang tindih lahan dan gangguan," tegasnya.

Dirinya juga mencanangkan dua kegiatan untuk meningkatkan eksplorasi dan Enhanced Oil Recovery (EOR). "Anggarannya dari yang tersedia, baru 50 persen yang terealisasi sekitar USD2,57 miliar," ungkap Gde.

Lebih lanjut dirinya mencontohkan gangguan-gangguan yang saat ini terjadi di berbagai daerah penghasil minyak dan gas bumi.

"Seperti Bupati Musi Rawas menyetop produksi Sele Raya kita kehilangan produksi sampai 1.300 bph dan belum kembali. Bojonegoro sampai sekarang IMB belum keluar sehingga pembangunan fisik full facility proyek Banyu Urip 165 ribu bph belum bisa dimulai. Padahal ground breaking sudah Desember lalu," pungkasnya.

Di tempat terpisah, Pengamat Energi Pri Agung Rakhmanto berpendapat gangguan-gangguan inilah yang menjadi penyebab masalah buruknya investasi sektor pertambangan di Indonesia.

"Kalau terus-terusan terjadi akan memperburuk investasi sektor pertambangan. Akar masalah ada tiga, masyarakat miskin sekitar tambang masih banyak (perusahaan kurang memberi manfaat langsung kepada masyarakat). Kedua, hasil tambang seringkali tidak sampai ke masyarakat, tapi ke pemerintah daerah (transparansi daerah ke masyarakatnya bermasalah). Ketiga, tata kelola tambang nasional memang masih buruk, tumpang tindih ijin marak," tegas Pri Agung yang dihubungi wartawan di Jakarta, Kamis (9/2/2012).

Menurutnya, pemerintah pusat sebenarnya mempunyai wewenang untuk menetapkan pengklasifikasian wilayah pertambangan yang akan digunakan sebagai basis dikeluarkannya izin-izin usaha pertambangan (IUP).

"Tapi sampai sekarang pengklasifikasian dan pemetaan wilayah yang seharusnya dijadikan sebagai dasar itu belum diselesaikan pusat. Sementara daerah terus menerus mengeluarkan izin karena merasa berwenang. Akibatnya ya tumpang tindih, konflik dan sebagainya," tegasnya. (bro)
()
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5489 seconds (0.1#10.140)