Visi ketahanan pangan
A
A
A
Sindonews.com - Kebijakan pangan perlu mendapat perhatian khusus. Produk pertanian dan makanan wajib dijaga harganya agar terjangkau dan pasokannya kontinu. Food and Agricultural Organization mencatat kenaikan harga pangan 50 persen dalam kurun waktu 4 tahun.
Padahal di dunia ada 925 juta orang menderita kelaparan. Jadi, kemampuan Indonesia dalam mencukupi pangan warganya dan mengekspor surplusnya akan ikut menentukan nasib penduduk bumi.
Dalam Jakarta Food Security Summit 2012 yang diselenggarakan pekan lalu atas prakarsa Kadin, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyatakan, ketahanan pangan adalah agenda prioritas dalam program Kabinet Indonesia Bersatu II.
Hal ini dibuktikan dengan kehadiran 6 menteri (Kehutanan, Pertanian, Bappenas, Keuangan, Industri, dan Perdagangan) beserta para wakil menterinya dalam acara tersebut. Terlihat, ternyata antarmenteri dan wakil menteri pun belum ada kesamaan pandang tentang cara mencapai tujuan ketahanan pangan.
Contohnya soal kebijakan terhadap petani. Menteri Pertanian menyorot pentingnya realisasi akses pengelolaan lahan untuk pertanian.
Baginya, petani yang tidak punya lahan akan sulit meningkatkan produktivitasnya sehingga pertama-tama petani harus punya akses pada lahan. Ia mengkritik banyaknya lahan kosong dan telantar, bahkan area hutan sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk tumpang sari.
Menteri Kehutanan dan Badan Pertanahan Nasional menanggapi bahwa setiap jengkal lahan di negeri ini pasti ada penguasanya sehingga petani tidak bisa asal memanfaatkan lahan.
Menteri Kehutanan mengalokasikan 200.000 hektare lahan untuk dimanfaatkan BUMN milik Kementerian Pertanian. Namun, cocok tidaknya lahan itu untuk ditanami bukan urusan Kementerian Kehutanan lagi.
Sementara itu Kementerian Perdagangan bicara tentang keterbatasan ruang fiskal. Wakil Menteri Perdagangan lebih tajam menegaskan, problem pertanian di Indonesia lantaran jumlah petani lebih banyak daripada luas lahan yang bisa ditanami.
Kementerian ini menekankan perlunya pragmatisme dalam mendorong ketersediaan pangan di Indonesia. Perdebatan itu mengungkapkan, skala prioritas Presiden tidak otomatis memperlancar langkah menuju ketahanan pangan.
Bappenas dan Kementerian Keuangan menyatakan, porsi anggaran untuk mendukung ketahanan pangan sudah ditambah. Di lain pihak, para pengamat dan pengusaha memandang belum cukup. Ketahanan pangan sebenarnya tidak melulu soal uang atau ketersediaan lahan.
Yang diperlukan adalah visi yang jelas serta penataan insentif bagi manusia yang terlibat dalam produksi dan distribusi produk pertanian dan pangan. Indonesia perlu bergegas menetapkan visi tersebut. Pertama karena negara tetangga seperti Vietnam, China, India, bahkan Pakistan telah menata diri agar produksi pangan dan buah-buahan mereka bisa surplus dan masuk di pasaran Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Artinya, penyamaan langkah antarinstansi pemerintah tidak bisa lagi dengan kecepatan sedang-sedang saja. Harus langsung kencang. Kedua karena kebijakan yang tidak ditopang oleh sinergi antarkementerian akan berujung kericuhan belaka.
Dalam hal pangan, kericuhan itu berkonsekuensi sangat buruk, termasuk bentrokan fisik atas pemanfaatan lahan, meningkatnya kemiskinan dan pengangguran di kalangan petani dan penduduk perdesaan, serta risiko korupsi terkait pemanfaatan lahan dan proyek pengadaan infrastruktur.
Ketiga, tajamnya perbedaan pandangan tentang kebijakan yang perlu diterapkan pada petani sangatlah mengkhawatirkan. Pengalaman dari India, sebagaimana disampaikan Prof Shiv Visvanathan, menunjukkan perubahan kebijakan terhadap petani yang tidak didasarkan pada prinsip keadilan dan tanggung jawab akan berujung pada kekerasan dan duka mendalam.
Jangankan mentransformasi petani untuk pindah bekerja ke sektor lain, membekali petani dengan mesin-mesin pertanian pun bisa “menyingkirkan” banyak nyawa.
Di India, tingkat bunuh diri di antara petani meningkat ketika terjadi mekanisasi sektor pertanian. Keempat, kelompok kepentingan dari sektor pertanian di Indonesia masih tergolong lemah. Petani termasuk kelompok yang tidak terorganisasi dan sering dikategorikan sebagai pekerja informal karena cenderung bekerja tanpa kontrak, upah, atau jaminan yang memadai. Akibatnya,bila sektor ini direformasi, perubahannya patut mempertimbangkan nasib para petani dan keluarganya.
Mereka juga warga negara Indonesia yang punya hak bekerja dan tinggal di suatu daerah yang dipilihnya. Realitas berikut ini patut menjadi bahan pertimbangan dalam menyusun kebijakan pangan di Indonesia.
Dari segi produk, perlu ada blue print produk pertanian dan pangan yang ingin didorong untuk surplus. Cocokkanlah jenis produk dengan kondisi lahan yang dialokasikan oleh Kementerian Kehutanan. Bila tidak sesuai, Kementerian Kehutanan pun patut berubah.
Lalu padukanlah dengan kebijakan impor dan ekspor agar produk lokal tidak terhantam persaingan. Sementara itu, petani perlu didukung untuk alih produksi pangan atau untuk mengajak orang bertani. Kementerian Keuangan perlu lebih berani memberikan insentif, termasuk mekanisme bebas pajak.
Jika ada sektor yang ingin didorong pertumbuhannya, otomatis harus ada investasi yang ditanamkan di situ. Di sisi lain, industri pemroses bahan pertanian dan pangan, termasuk bisnis pengapalan, kemasan, bahkan ritel, perlu dikembangkan.
Harga dan ketersediaan produk pangan tidak melulu soal penanaman, tetapi juga soal pemrosesan, penyimpanan, dan distribusi yang efisien. Para pelopor industri pemrosesan pangan di Indonesia perlu diarahkan untuk mengangkat harkat para pedagang Tanah Air.
Fasilitas penyimpanan bahan-bahan pertanian, misalnya, perlu diperluas hingga ke pelosok negeri.Produk pangan yang bermutu dinilai dari model penyimpanan yang efektif. Itu sebabnya fasilitas jalan raya, listrik, dan transportasi umum perlu diperbaiki.
Di lain pihak, investasi besar berbentuk kerja sama dengan negara-negara mitra perlu diarahkan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas panen. Perusahaan-perusahaan yang punya pusat penelitian produk pertanian dan pangan perlu digandeng. Universitas perlu diajak terlibat. Para peneliti yang terlibat perlu ditambah. Pendekatan multidisipliner perlu digalakkan agar hasilnya lebih ramah manusia dan alam.
Di dalam segmen inilah perlu ditempatkan auditor pengawas arus dana penelitian, yakni agar dana yang mengalir sungguh dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya peningkatan mutu dan nilai tambah produk pertanian dan pangan Indonesia.
Indonesia perlu menyadari, negeri ini dikagumi karena kekayaan ragam produk pertanian dan pangan. Jika memang ada visi yang tegas, misalnya bahwa Indonesia akan menghapus kekurangan gizi dan menjadi pusat keragaman pangan dunia, niscaya bentrokan antarkementerian bisa lebih cepat diatasi.
DINNA WISNU PHD
Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi
Universitas Paramadina
()