Mewujudkan Otoritas Jasa Keuangan yang efektif
A
A
A
Sindonews.com - Pilihan untuk menentukan model pengawasan industri keuangan sejatinya banyak. Tentunya, setiap model memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Sebab, pada dasarnya tidak ada model pengawasan industri keuangan di negara mana pun yang sempurna.
Tetap saja, setiap model pengawasan memiliki celah untuk terjadi suatu penyimpangan. Sejatinya, model pengawasan yang saat ini berlaku di Indonesia, telah cukup baik terutama dalam 10 tahun terakhir. Bank Indonesia (BI) selaku otoritas perbankan telah banyak melakukan perbaikan di bidang pengaturan dan pengawasan perbankan. Begitu juga dengan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) juga telah menjalankan fungsi pengaturan dan pengawasan sektor keuangan nonbank dengan baik.
Namun demikian, celah tetap saja ada. Kasus Bank Century adalah kasus terakhir yang secara nyata menunjukkan bahwa sistem pengawasan industri keuangan kita masih bisa ditembus. Setidaknya, terdapat empat model pengawasan yang berlaku di berbagai negara, yaitu pendekatan institusional (institutional approach), pendekatan terintegrasi (integrated approach), twin peaks approach,dan pendekatan fungsional (functional approach).
Setiap negara yang menganut pendekatan tertentu, tentunya juga telah menyesuaikan dengan karakteristik industri keuangan di negaranya. Dapat dikatakan bahwa model pengawasan sektor keuangan yang berlaku di Indonesia saat ini adalah lebih pada pendekatan institusional (institutional approach). Di mana, regulator yang mengawasi suatu institusi adalah di dasarkan status badan hukum dari institusi yang diawasi tersebut.
Di Indonesia, bank diatur dan di awasi oleh BI, sedangkan perusahaan sektor keuangan nonbank diatur dan diawasi oleh Bapepam-LK. Kelebihan dari model ini adalah bahwa masing-masing otoritas menjadi lebih fokus dalam mengatur dan mengawasi industrinya. Namun, model ini juga memiliki kekurangan, manakala terjadi suatu aktivitas yang sifatnya bersinggungan. Bila koordinasi tidak terjalin dengan baik, model ini berpotensi menimbulkan celah yang dapat dimanfaatkan pelaku industri untuk melakukan moral hazard.
Namun, sejak berlakunya Undang-Undang (UU) Nomor 21/2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 22 November 2011, terlihat bahwa Indonesia akan bergeser dalam menerapkan model pengawasan terhadap industri keuangannya. Sesuai dengan Pasal 5 UU No 21/2011, terlihat bahwa OJK memiliki fungsi untuk menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.
Terlihat bahwa melalui Pasal 5 tersebut Indonesia akan menerapkan model pengawasan secara terintegrasi (integration approach), yang berarti akan meninggalkan model pengawasan secara institusional. Dengan diberlakukannya UU No. 21/2011 ini, maka seluruh fungsi pengaturan dan pengawasan terhadap sektor keuangan yang kini masih tersebar di BI dan Bapepam-LK akan menyatu ke dalam OJK.
Model pengaturan dan pengawasan secara terintegrasi ini memiliki kelebihan terutama dalam merespons tren industri keuangan yang semakin terintegrasi. Kini, kita bisa menyaksikan bahwa fenomena universal banking atau bank yang bisa melayani segala jenis pelayangan keuangansudah menjadi pemandangan umum.Dengan adanya OJK sebagai ”super-regulatory body, nantinya masalah perizinan, pengaturan, pengawasan, dan exit policy akan lebih mudah, karena berada di satu atap.
Selain itu, OJK sebagai ”super regulatory body”juga memungkinkan pemanfaatan economies of scale dan economies of scope, sehingga pengawasannya menjadi lebih mendalam. Namun,OJK sebagai ”super regulatory body”juga memiliki kelemahan. Terlalu luas lingkup kerja (pengaturan dan pengawasan) serta terlalu banyak industri yang diawasi, maka bila tidak didukung dengan sistem dan SDM yang andal, efektivitasnya dapat diragukan.
Buktinya sudah terlihat di depan mata. Akibat krisis global tahun 2008, Pemerintah Inggris pada akhirnya harus membubarkan Financial Services Autority (OJKnya Inggris). Pemerintah Inggris menyatakan bahwa OJK-nya dinilai telah gagal dalam mendeteksi krisis yang akhirnya meruntuhkan industri keuangan mereka. Kini, pemerintah Inggris akhirnya mengembalikan fungsi pengawasan perbankannya kepada Bank Sentral Inggris, Bank of England.
Model pengawasan sektor keuangan telah ditetapkan oleh DPR dan Pemerintah, dan akhirnya pilihan jatuh pada sistem OJK. Oleh karenanya, tidak pada tempatnya lagi kita memperdebatkan keberadaan OJK.Yang terpenting saat ini adalah bagaimana agar OJK bisa bekerja dan menjalankan fungsinya dengan baik. Kita melihat bahwa tantangan yang akan dihadapi OJK ini tidak ringan, sekalipun nantinya akan didukung oleh SDM dan sistem yang berasal dari institusi yang berpengalaman (BI dan Bapepam-LK).
Tak dapat dipungkiri bahwa kekhawatiran dan ketidakpastian terhadap efektivitas OJK ini memang masih ada. Oleh karenanya, salah satu hal penting yang harus kita letakkan adalah bagaimana membangun kepercayaan (trust) bahwa OJK ini akan mampu menjalankan perannya secara baik.
Salah satu faktor yang harus dipenuhi untuk mewujudkan trust ini adalah dengan menempatkan orang-orang profesional yang memiliki kapabilitas, reputasi, integritas yang baik, serta memperoleh dukungan kuat dari stakeholders (BI, Pemerintah, dan DPR) sebagai anggota Dewan Komisioner OJK (DK OJK).
Semestinya, mereka yang akan duduk sebagai DK OJK adalah orang yang memiliki pengalaman dan pemahaman yang kuat, tidak hanya di tingkat microprudential (industri keuangan terkait), tetapi juga di tingkat macroprudential (relasi industri keuangan dengan stabilitas makro, fiskal, dan moneter). Saya berpendapat bahwa pertaruhan OJK ini sangat besar. Bila kita gagal membangun kepercayaan, kredibilitas OJK bisa jatuh.
Dan bila telah jatuh, upaya membangunnya kembali akan sulit. Oleh karenanya, jangan bermain api dengan masalah trust ini, dengan menempatkan orang-orang yang tidak tepat di OJK.
SUNARSIP, Ekonom The Indonesia Economic Intelligence (IEI).
Tetap saja, setiap model pengawasan memiliki celah untuk terjadi suatu penyimpangan. Sejatinya, model pengawasan yang saat ini berlaku di Indonesia, telah cukup baik terutama dalam 10 tahun terakhir. Bank Indonesia (BI) selaku otoritas perbankan telah banyak melakukan perbaikan di bidang pengaturan dan pengawasan perbankan. Begitu juga dengan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) juga telah menjalankan fungsi pengaturan dan pengawasan sektor keuangan nonbank dengan baik.
Namun demikian, celah tetap saja ada. Kasus Bank Century adalah kasus terakhir yang secara nyata menunjukkan bahwa sistem pengawasan industri keuangan kita masih bisa ditembus. Setidaknya, terdapat empat model pengawasan yang berlaku di berbagai negara, yaitu pendekatan institusional (institutional approach), pendekatan terintegrasi (integrated approach), twin peaks approach,dan pendekatan fungsional (functional approach).
Setiap negara yang menganut pendekatan tertentu, tentunya juga telah menyesuaikan dengan karakteristik industri keuangan di negaranya. Dapat dikatakan bahwa model pengawasan sektor keuangan yang berlaku di Indonesia saat ini adalah lebih pada pendekatan institusional (institutional approach). Di mana, regulator yang mengawasi suatu institusi adalah di dasarkan status badan hukum dari institusi yang diawasi tersebut.
Di Indonesia, bank diatur dan di awasi oleh BI, sedangkan perusahaan sektor keuangan nonbank diatur dan diawasi oleh Bapepam-LK. Kelebihan dari model ini adalah bahwa masing-masing otoritas menjadi lebih fokus dalam mengatur dan mengawasi industrinya. Namun, model ini juga memiliki kekurangan, manakala terjadi suatu aktivitas yang sifatnya bersinggungan. Bila koordinasi tidak terjalin dengan baik, model ini berpotensi menimbulkan celah yang dapat dimanfaatkan pelaku industri untuk melakukan moral hazard.
Namun, sejak berlakunya Undang-Undang (UU) Nomor 21/2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 22 November 2011, terlihat bahwa Indonesia akan bergeser dalam menerapkan model pengawasan terhadap industri keuangannya. Sesuai dengan Pasal 5 UU No 21/2011, terlihat bahwa OJK memiliki fungsi untuk menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.
Terlihat bahwa melalui Pasal 5 tersebut Indonesia akan menerapkan model pengawasan secara terintegrasi (integration approach), yang berarti akan meninggalkan model pengawasan secara institusional. Dengan diberlakukannya UU No. 21/2011 ini, maka seluruh fungsi pengaturan dan pengawasan terhadap sektor keuangan yang kini masih tersebar di BI dan Bapepam-LK akan menyatu ke dalam OJK.
Model pengaturan dan pengawasan secara terintegrasi ini memiliki kelebihan terutama dalam merespons tren industri keuangan yang semakin terintegrasi. Kini, kita bisa menyaksikan bahwa fenomena universal banking atau bank yang bisa melayani segala jenis pelayangan keuangansudah menjadi pemandangan umum.Dengan adanya OJK sebagai ”super-regulatory body, nantinya masalah perizinan, pengaturan, pengawasan, dan exit policy akan lebih mudah, karena berada di satu atap.
Selain itu, OJK sebagai ”super regulatory body”juga memungkinkan pemanfaatan economies of scale dan economies of scope, sehingga pengawasannya menjadi lebih mendalam. Namun,OJK sebagai ”super regulatory body”juga memiliki kelemahan. Terlalu luas lingkup kerja (pengaturan dan pengawasan) serta terlalu banyak industri yang diawasi, maka bila tidak didukung dengan sistem dan SDM yang andal, efektivitasnya dapat diragukan.
Buktinya sudah terlihat di depan mata. Akibat krisis global tahun 2008, Pemerintah Inggris pada akhirnya harus membubarkan Financial Services Autority (OJKnya Inggris). Pemerintah Inggris menyatakan bahwa OJK-nya dinilai telah gagal dalam mendeteksi krisis yang akhirnya meruntuhkan industri keuangan mereka. Kini, pemerintah Inggris akhirnya mengembalikan fungsi pengawasan perbankannya kepada Bank Sentral Inggris, Bank of England.
Model pengawasan sektor keuangan telah ditetapkan oleh DPR dan Pemerintah, dan akhirnya pilihan jatuh pada sistem OJK. Oleh karenanya, tidak pada tempatnya lagi kita memperdebatkan keberadaan OJK.Yang terpenting saat ini adalah bagaimana agar OJK bisa bekerja dan menjalankan fungsinya dengan baik. Kita melihat bahwa tantangan yang akan dihadapi OJK ini tidak ringan, sekalipun nantinya akan didukung oleh SDM dan sistem yang berasal dari institusi yang berpengalaman (BI dan Bapepam-LK).
Tak dapat dipungkiri bahwa kekhawatiran dan ketidakpastian terhadap efektivitas OJK ini memang masih ada. Oleh karenanya, salah satu hal penting yang harus kita letakkan adalah bagaimana membangun kepercayaan (trust) bahwa OJK ini akan mampu menjalankan perannya secara baik.
Salah satu faktor yang harus dipenuhi untuk mewujudkan trust ini adalah dengan menempatkan orang-orang profesional yang memiliki kapabilitas, reputasi, integritas yang baik, serta memperoleh dukungan kuat dari stakeholders (BI, Pemerintah, dan DPR) sebagai anggota Dewan Komisioner OJK (DK OJK).
Semestinya, mereka yang akan duduk sebagai DK OJK adalah orang yang memiliki pengalaman dan pemahaman yang kuat, tidak hanya di tingkat microprudential (industri keuangan terkait), tetapi juga di tingkat macroprudential (relasi industri keuangan dengan stabilitas makro, fiskal, dan moneter). Saya berpendapat bahwa pertaruhan OJK ini sangat besar. Bila kita gagal membangun kepercayaan, kredibilitas OJK bisa jatuh.
Dan bila telah jatuh, upaya membangunnya kembali akan sulit. Oleh karenanya, jangan bermain api dengan masalah trust ini, dengan menempatkan orang-orang yang tidak tepat di OJK.
SUNARSIP, Ekonom The Indonesia Economic Intelligence (IEI).
()