Melirik kinerja 2011, menghadapi tantangan 2012
A
A
A
Sindonews.com - Sungguh, bank nasional ke depan menghadapi tantangan internal dan eksternal yang makin membara. Bagaimana kiat menghadapinya? Namun, bolehlah kita lirik dulu kinerja bank nasional sepanjang 2011.
Statistik Perbankan Indonesia Desember 2011 yang terbit pada 15 Februari 2012 mencatat kredit bank nasional tumbuh sangat subur 23,79 persen, dari Rp1.710.68 triliun per Desember 2010 menjadi Rp2.117,61 triliun per Desember 2011. Dana pihak ketiga (DPK) tumbuh lebih subur 28,13 persen dari Rp2.274,49 triliun menjadi Rp2.688,36 triliun. Kinerja cantik itu meningkatkan laba 27,14 persen dari Rp75,16 triliun menjadi Rp95,56 triliun.
Kinerja itu mengerek imbal hasil aset (return on assets/ROA) dari 2,86 persen menjadi 3,03 persen. Rasio ini mencapai lebih dua kali ambang batas 1,5 persen. Dengan bahasa lebih lugas, kualitas aset bank nasional kian perkasa di tengah ancaman badai utang Eropa. Hal itu pun mampu mendongkrak loan to deposit ratio (LDR) dari 75,21 persen menjadi 78,77 persen yang berarti telah memenuhi LDR minimal 78 persen per 1 Maret 2011.
Apakah semua kelompok bank telah memenuhinya? Oh, belum. Kelompok bank campuran merajai dengan LDR 108,03 persen yang disusul bank asing 96,47 persen, bank umum swasta nasional (BUSN) nondevisa 79,85 persen, dan BUSN devisa 78,16 persen. Anehnya, LDR kelompok bank BUMN baru 74,75 persen dan Bank Pembangunan Daerah (BPD) 74,74 persen.
Padahal, kelompok bank BUMN seharusnya justru menjadi panglima dalam mengucurkan kredit. Risikonya, kedua kelompok bank itu wajib menambah giro wajib minimum (GWM) 0,1 persen dari DPK rupiah untuk setiap satu persen kekurangan LDR. Bank nasional juga makin mampu menerapkan manajemen risiko. Hal ini tecermin pada rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) yang membaik dari 2,56 persen menjadi 2,17 persen. Rasio yang manis, mengingat di bawah ambang batas lima persen. Inilah rapor biru bank nasional.
Tantangan 2012
Sejatinya, tantangan apa saja yang dihadapi bank nasional ke depan? Pertama, meningkatkan efisiensi. Ternyata bank nasional masih belum efisien. Tengok saja rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) yang mencapai 85,42 persen per Desember 2011, sekalipun menipis dari 86,14 persen per Desember 2010 di tengah rasio ideal 70–80 persen
Rendahnya tingkat efisiensi itu juga terekam pada penghasilan bunga bersih (net interest margin/NIM) yang menebal dari 5,73 persen per Desember 2010 menjadi 5,91 persen per Desember 2011. Padahal, Bank Indonesia (BI) berulang kali mengimbau bank nasional agar menurunkan NIM hingga mendekati tiga persen seperti negara jiran Malaysia, Singapura, dan Filipina.
Oleh sebab itu, mau tak mau bank nasional harus meningkatkan efisiensi karena ke depan pelambatan ekonomi telah menghadang. Pelambatan ekonomi itu bisa menekan porsi rezeki bank nasional baik dari penipisan pendapatan bunga kredit (interest income) maupun pendapatan non-operasional atau pendapatan dari komisi (fee-based income).
BI pun telah mengingatkan pelambatan ekonomi global dengan merampingkan BI Rate yang kini mencapai 5,75 persen untuk mendorong kapasitas perekonomian nasional. Kedua, mencermati ancaman internal. Apa itu? Ancaman internal terdekat adalah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan tarif dasar listrik (TDL) per 1 April 2012. Dua ancaman utama itu dicemaskan akan membawa inflasi yang kini 3,79 persenkembali terbang tinggi. Itu tergantung berapa kenaikan BBM.
Menurut Kepala Biro Riset Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Juda Agung, jika pemerintah memilih opsi menaikkan harga BBM sebesar Rp1.000 per liter,maka itu akan berdampak pada kenaikan inflasi sekitar 2–3 persen. Nah, jangan alpa, kenaikan inflasi itu bisa mendorong BI Rate kembali melesat di atas enam persen. Alhasil, upaya BI untuk menurunkan bunga kredit menjadi tertahan.
Namun,itu tidak berarti bank nasional bisa tenang-tenang. BI telah mewajibkan bank nasional untuk mencantumkan tahap penipisan bunga kredit dalam Rencana Bisnis Bank (RBB) pada 2012. Coba simak data berikut. Ternyata bunga rata-rata kredit hanya turun sedikit, dari 12,39 persen per Desember 2010 menjadi 11,98 persen per Desember 2011 untuk kredit modal kerja. Begitu pula bunga rata-rata kredit investasi yang hanya menipis dari 11,86 persen menjadi 11,69 persen dan kredit konsumsi dari 13,50 persen menjadi 13,38 persen. Wah! Ketiga, menaikkan modal.
Ancaman pelambatan ekonomi global itu kian mendorong bank nasional untuk meningkatkan modal yang tersirat pada capital adequacy ratio (CAR). CAR kini mencapai 16,05 persen, menurun dari 17,18 persen. Terlebih ketika BI nanti, mulai 2013 hingga tiga tahun ke depan, akan menerapkan Basel II pilar II. Sarinya, bank nasional harus dapat menilai dan menghitung potensi risiko pasar, kredit dan operasional.
Sebelumnya Basel II pilar I mewajibkan bank nasional untuk menghitung risiko pasar saja. Bagaimana kiatnya? Bank nasional dapat masuk pasar dengan menawarkan saham perdana (initial public offering/ IPO) atau menerbitkan obligasi subordinasi atau obligasi yunior (subdebt). Kinilah saatnya ketika Indonesia menyandang predikat layak investasi (investment grade) oleh peringkat internasional Moody’s dan Fitch Rating. Keempat, menerapkan manajemen risiko dengan dingin.
Manajemen risiko wajib ditempatkan di depan.Dengan bahasa lebih bening, bank nasional sepatutnya lebih dulu menghitung potensi risiko daripada madu yang bakal direguk. Dengan demikian,bank nasional dapat berbisnis dengan kokoh mengingat telah memperhitungkan risiko. Salah satu fungsi manajemen risiko adalah membuat cadangan yang memadai untuk mengantisipasi risiko yang sudah diukur dan dihitung.
Ujungnya, bank nasional mampu menghindari potensi kerugian yang relatif lebih besar. Ingat, tahun 2011 begitu banyak risiko operasional melanda bank nasional dari masalah kartu kredit, manajemen kekayaan (wealth management), hingga kredit. Berbekal aneka jurus demikian, bank nasional diharapkan mampu menghadapi tantangan 2012 dengan teguh.
PAUL SUTARYONO
Pengamat Perbankan
Statistik Perbankan Indonesia Desember 2011 yang terbit pada 15 Februari 2012 mencatat kredit bank nasional tumbuh sangat subur 23,79 persen, dari Rp1.710.68 triliun per Desember 2010 menjadi Rp2.117,61 triliun per Desember 2011. Dana pihak ketiga (DPK) tumbuh lebih subur 28,13 persen dari Rp2.274,49 triliun menjadi Rp2.688,36 triliun. Kinerja cantik itu meningkatkan laba 27,14 persen dari Rp75,16 triliun menjadi Rp95,56 triliun.
Kinerja itu mengerek imbal hasil aset (return on assets/ROA) dari 2,86 persen menjadi 3,03 persen. Rasio ini mencapai lebih dua kali ambang batas 1,5 persen. Dengan bahasa lebih lugas, kualitas aset bank nasional kian perkasa di tengah ancaman badai utang Eropa. Hal itu pun mampu mendongkrak loan to deposit ratio (LDR) dari 75,21 persen menjadi 78,77 persen yang berarti telah memenuhi LDR minimal 78 persen per 1 Maret 2011.
Apakah semua kelompok bank telah memenuhinya? Oh, belum. Kelompok bank campuran merajai dengan LDR 108,03 persen yang disusul bank asing 96,47 persen, bank umum swasta nasional (BUSN) nondevisa 79,85 persen, dan BUSN devisa 78,16 persen. Anehnya, LDR kelompok bank BUMN baru 74,75 persen dan Bank Pembangunan Daerah (BPD) 74,74 persen.
Padahal, kelompok bank BUMN seharusnya justru menjadi panglima dalam mengucurkan kredit. Risikonya, kedua kelompok bank itu wajib menambah giro wajib minimum (GWM) 0,1 persen dari DPK rupiah untuk setiap satu persen kekurangan LDR. Bank nasional juga makin mampu menerapkan manajemen risiko. Hal ini tecermin pada rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) yang membaik dari 2,56 persen menjadi 2,17 persen. Rasio yang manis, mengingat di bawah ambang batas lima persen. Inilah rapor biru bank nasional.
Tantangan 2012
Sejatinya, tantangan apa saja yang dihadapi bank nasional ke depan? Pertama, meningkatkan efisiensi. Ternyata bank nasional masih belum efisien. Tengok saja rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) yang mencapai 85,42 persen per Desember 2011, sekalipun menipis dari 86,14 persen per Desember 2010 di tengah rasio ideal 70–80 persen
Rendahnya tingkat efisiensi itu juga terekam pada penghasilan bunga bersih (net interest margin/NIM) yang menebal dari 5,73 persen per Desember 2010 menjadi 5,91 persen per Desember 2011. Padahal, Bank Indonesia (BI) berulang kali mengimbau bank nasional agar menurunkan NIM hingga mendekati tiga persen seperti negara jiran Malaysia, Singapura, dan Filipina.
Oleh sebab itu, mau tak mau bank nasional harus meningkatkan efisiensi karena ke depan pelambatan ekonomi telah menghadang. Pelambatan ekonomi itu bisa menekan porsi rezeki bank nasional baik dari penipisan pendapatan bunga kredit (interest income) maupun pendapatan non-operasional atau pendapatan dari komisi (fee-based income).
BI pun telah mengingatkan pelambatan ekonomi global dengan merampingkan BI Rate yang kini mencapai 5,75 persen untuk mendorong kapasitas perekonomian nasional. Kedua, mencermati ancaman internal. Apa itu? Ancaman internal terdekat adalah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan tarif dasar listrik (TDL) per 1 April 2012. Dua ancaman utama itu dicemaskan akan membawa inflasi yang kini 3,79 persenkembali terbang tinggi. Itu tergantung berapa kenaikan BBM.
Menurut Kepala Biro Riset Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Juda Agung, jika pemerintah memilih opsi menaikkan harga BBM sebesar Rp1.000 per liter,maka itu akan berdampak pada kenaikan inflasi sekitar 2–3 persen. Nah, jangan alpa, kenaikan inflasi itu bisa mendorong BI Rate kembali melesat di atas enam persen. Alhasil, upaya BI untuk menurunkan bunga kredit menjadi tertahan.
Namun,itu tidak berarti bank nasional bisa tenang-tenang. BI telah mewajibkan bank nasional untuk mencantumkan tahap penipisan bunga kredit dalam Rencana Bisnis Bank (RBB) pada 2012. Coba simak data berikut. Ternyata bunga rata-rata kredit hanya turun sedikit, dari 12,39 persen per Desember 2010 menjadi 11,98 persen per Desember 2011 untuk kredit modal kerja. Begitu pula bunga rata-rata kredit investasi yang hanya menipis dari 11,86 persen menjadi 11,69 persen dan kredit konsumsi dari 13,50 persen menjadi 13,38 persen. Wah! Ketiga, menaikkan modal.
Ancaman pelambatan ekonomi global itu kian mendorong bank nasional untuk meningkatkan modal yang tersirat pada capital adequacy ratio (CAR). CAR kini mencapai 16,05 persen, menurun dari 17,18 persen. Terlebih ketika BI nanti, mulai 2013 hingga tiga tahun ke depan, akan menerapkan Basel II pilar II. Sarinya, bank nasional harus dapat menilai dan menghitung potensi risiko pasar, kredit dan operasional.
Sebelumnya Basel II pilar I mewajibkan bank nasional untuk menghitung risiko pasar saja. Bagaimana kiatnya? Bank nasional dapat masuk pasar dengan menawarkan saham perdana (initial public offering/ IPO) atau menerbitkan obligasi subordinasi atau obligasi yunior (subdebt). Kinilah saatnya ketika Indonesia menyandang predikat layak investasi (investment grade) oleh peringkat internasional Moody’s dan Fitch Rating. Keempat, menerapkan manajemen risiko dengan dingin.
Manajemen risiko wajib ditempatkan di depan.Dengan bahasa lebih bening, bank nasional sepatutnya lebih dulu menghitung potensi risiko daripada madu yang bakal direguk. Dengan demikian,bank nasional dapat berbisnis dengan kokoh mengingat telah memperhitungkan risiko. Salah satu fungsi manajemen risiko adalah membuat cadangan yang memadai untuk mengantisipasi risiko yang sudah diukur dan dihitung.
Ujungnya, bank nasional mampu menghindari potensi kerugian yang relatif lebih besar. Ingat, tahun 2011 begitu banyak risiko operasional melanda bank nasional dari masalah kartu kredit, manajemen kekayaan (wealth management), hingga kredit. Berbekal aneka jurus demikian, bank nasional diharapkan mampu menghadapi tantangan 2012 dengan teguh.
PAUL SUTARYONO
Pengamat Perbankan
()