Kemenhub godok PP penerapan denda penerbangan
A
A
A
Sindonews.com - Pemerintah tengah menggodok kemungkinan mengeluarkan Peraturan Pemerintah tentang penerapan denda di dunia penerbangan. Untuk itu, Kementerian Perhubungan tengah mengkaji penerapan denda kepada pengelola bandara, petugas ground handling, dan maskapai penerbangan.
Dirjen Perhubungan Udara Herry Bakti S Gumay menilai selama ini prosedur penerapan denda masih mengikuti prosedur yang lama dimana harus ditetapkan berdasarkan hasil keputusan pengadilan terlebih dahulu yang sebelumnya dilakukan penyelidikan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).
“Ini perlu disusun peraturan baru mengenai denda kepada entitas penerbangan di Tanah Air, karena selama ini proseduralnya cukup berbelit dan membutuhkan waktu lama,” ujar Herry sebagaimana dikutip dari situs Kementerian Perhubungan, Rabu (7/3/2012).
Herry mengemukakan, di negara lain, peraturan denda kepada pelaku penerbangan sudah berlaku dan pengenaannya bisa langsung tanpa proses pengadilan, dan dana denda tersebut dimasukan dalam pendapatan negara bukan pajak (PNBP).
Pihaknya, lanjut Herry, juga berharap agar di Indonesia bisa diterapkan pola denda seperti itu sehingga tidak berlarut-larut apabila terjadi pelanggaran yang dilakukan pihak-pihak penerbangan seperti yang disebutkan di atas.
Denda yang akan dikenakan tersebut, lanjut Herry, misalnya terjadinya kekeliruan pengelola bandara yang menjadi penyebab pesawat terlambat terbang atau delay. Selama ini denda yang diberikan hanya dikenakan sanksi administratif, tidak dikenakan denda.
“Kami akan melakukan pengkajiannya agar segera bisa direalisasikan peraturan pemerintah mengenai denda penerbangan,” imbuh Herry.
Saat ini sudah ada Peraturan Menteri Perhubungan No.77/2011 mengenai Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara yang mengatur soal denda bagi maskapai yang terlambat terbang atau delay, juga Keputusan Menteri No.25/2008 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara.
Sementara itu, Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Perhubungan Bambang S. Ervan mengatakan untuk mengeluarkan peraturan baru, harus melakukan kajian akademisi. Untuk itu pihaknya membutuhkan masukan dari akademisi dan pihak-pihak lain.
“Peraturan ini memang diperlukan, agar pengelola bandara dan pelaku penerbangan lainnya bisa menghindari berbuat kelalaian atau kesalahan,” ujar Bambang.
Dirjen Perhubungan Udara Herry Bakti S Gumay menilai selama ini prosedur penerapan denda masih mengikuti prosedur yang lama dimana harus ditetapkan berdasarkan hasil keputusan pengadilan terlebih dahulu yang sebelumnya dilakukan penyelidikan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).
“Ini perlu disusun peraturan baru mengenai denda kepada entitas penerbangan di Tanah Air, karena selama ini proseduralnya cukup berbelit dan membutuhkan waktu lama,” ujar Herry sebagaimana dikutip dari situs Kementerian Perhubungan, Rabu (7/3/2012).
Herry mengemukakan, di negara lain, peraturan denda kepada pelaku penerbangan sudah berlaku dan pengenaannya bisa langsung tanpa proses pengadilan, dan dana denda tersebut dimasukan dalam pendapatan negara bukan pajak (PNBP).
Pihaknya, lanjut Herry, juga berharap agar di Indonesia bisa diterapkan pola denda seperti itu sehingga tidak berlarut-larut apabila terjadi pelanggaran yang dilakukan pihak-pihak penerbangan seperti yang disebutkan di atas.
Denda yang akan dikenakan tersebut, lanjut Herry, misalnya terjadinya kekeliruan pengelola bandara yang menjadi penyebab pesawat terlambat terbang atau delay. Selama ini denda yang diberikan hanya dikenakan sanksi administratif, tidak dikenakan denda.
“Kami akan melakukan pengkajiannya agar segera bisa direalisasikan peraturan pemerintah mengenai denda penerbangan,” imbuh Herry.
Saat ini sudah ada Peraturan Menteri Perhubungan No.77/2011 mengenai Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara yang mengatur soal denda bagi maskapai yang terlambat terbang atau delay, juga Keputusan Menteri No.25/2008 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara.
Sementara itu, Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Perhubungan Bambang S. Ervan mengatakan untuk mengeluarkan peraturan baru, harus melakukan kajian akademisi. Untuk itu pihaknya membutuhkan masukan dari akademisi dan pihak-pihak lain.
“Peraturan ini memang diperlukan, agar pengelola bandara dan pelaku penerbangan lainnya bisa menghindari berbuat kelalaian atau kesalahan,” ujar Bambang.
()