Jangan buru-buru larang ekspor mineral & batu bara
A
A
A
Sindonews.com – Kendati setuju dengan konsep larangan ekspor bahan mentah mineral dan batu bara untuk meningkatkan nilai tambah, pelaku usaha pertambangan meminta pemerintah tidak terburu-buru menerapkannya.
Masih terdapat banyak hal yang harus dibenahi,seperti infrastruktur dan fasilitas pemurnian dan pengolahan (smelter), sehingga akan lebih baik bila tidak dilakukan secara tergesagesa,” kata Ketua Umum Asosiasi Nikel Indonesia Shelby Ikhsan Saleh kepada SINDO akhir pekan lalu.
Terpisah, Ketua Umum Himpunan Masyarakat Pertambangan Indonesia (Perhapi) Irwandy Arif mengatakan, pemerintah hanya punya waktu dua tahun untuk menyediakan pabrik pengolahan bahan tambang di Nusantara.
Hal tersebut sesuai dengan Undang- Undang No 4 Pertambangan Mineral dan Batu Bara tahun 2009 yang mensyaratkan pada 2014 perusahaan tambang mineral dan batu bara tidak boleh mengekspor bahan tambang mentah. “Dalam hal ini, pemerintah harus benar-benar mempunyai komitmen terkait percepatan pembangunan smelter,”tegas Irwandy.
Dia mengatakan, pemerintah selama ini belum melakukan sesuatu langkah yang signifikan untuk mendorong hal itu. Irwandy meminta pemerintah membantu perusahaan yang akan membangun smelter dalam bentuk percepatan perizinan.
Pihaknya juga berharap ada pembenahan di sisi pemberian insentif bagi perusahaan. “Bukan hanya di ESDM, tapi Kemenperin juga harus ikut andil,”cetusnya. Dia menambahkan, paling cepat pembangunan smelter bisa diselesaikan dalam tiga tahun, juga dengan biaya yang tidak sedikit. Pembangunan smelter, tegas dia, butuh investasi yang tinggi, kepastian modal, teknologi, dan juga komitmen yang kuat.
Sementara, pemerintah mengakui telah menerima tujuh proposal baru untuk pembangunan smelter.Hal tersebut terkait pemberian kelonggaran pemerintah terhadap perusahaan pertambangan mineral dan batu bara untuk mengajukan rencana kerja perusahaan jangka panjang terkait kebijakan pelarangan ekspor bijih yang tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) No 7/2012 Pasal 21 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral.
Peraturan menteri tersebut menyatakan, pada saat peraturan menteri berlaku,pemegang izin usaha pertambangan operasi produksi dan izin pertambangan rakyat yang diterbitkan sebelum berlakunya peraturan menteri ini dilarang untuk menjual bijih mineral ke luar negeri dalam jangka waktu paling lambat tiga bulan sejak berlakunya regulasi tersebut. Peraturan Menteri tersebut terbit pada 6 Februari 2012, sehingga perusahaan tambang dilarang mengekspor bijih per 6 Mei 2012.
Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik, perusahaan nantinya akan dievaluasi oleh tim dari Kementerian ESDM. Bila tim evaluasi menyatakan rencana kerja perusahaan wajar, maka ada kemungkinan diberikan kelonggaran untuk mengekspor bijih sesuai dengan rencana program smelter. “Kalau mereka menyetujui rencana kerja, mereka masih diberi ruang. Kalau tidak, mereka akan dilarang ekspor,” tuturnya.
Sementara, Wakil Menteri ESDM Widjajono Partowidagdo menilai, keengganan pengusaha pertambangan atas pemberlakuan Permen ESDM No 7/2012 sebagai sesuatu hal yang wajar. Namun, pemerintah akan menerapkan aturan tersebut sesuai jadwal. Widjajono memastikan, Permen No 7/2012 tidak akan dicabut atau direvisi hanya karena ada penolakan dari sejumlah pelaku pertambangan.
Menurut dia, kebijakan tersebut penting untuk membatasi kuota eksplorasi dan eksploitasi minerba yang volumenya meningkat 8–10 kali bila dibandingkan jumlah kuota tahun 2009.
“Pada intinya kita berikan kebebasan kepada pelaku pertambangan. Tapi, mereka juga jangan seenaknya mengeruk tambang kita.Sekarang begini, silakan saja pelaku pertambangan mau di Kaltim, Sumatera, atau di mana saja kalau mau ekspor bijih mineral, tapi kuotanya harus tidak lebih dari kuota tahun 2009, jadi mereka jangan serakah. Karena kalau mereka mengeruk sampaï 10 kali lipat,maka mineral kita cepat habis,intinya kebijakan ini hanya untuk membatasi saja,” tutur Widjajono belum lama ini.
Menurutnya, jangka waktu penyesuaian selama tiga bulan yang diberikan pemerintah kepada pelaku pertambangan minerba merupakan bentuk peringatan agar pengusaha tidak mengeksplorasi dalam jumlah berlebihan. Dia mengakui, waktu penyesuaian tersebut memang tidak cukup, sehingga solusinya adalah membatasi eksploitasi dan ekspor.
Masih terdapat banyak hal yang harus dibenahi,seperti infrastruktur dan fasilitas pemurnian dan pengolahan (smelter), sehingga akan lebih baik bila tidak dilakukan secara tergesagesa,” kata Ketua Umum Asosiasi Nikel Indonesia Shelby Ikhsan Saleh kepada SINDO akhir pekan lalu.
Terpisah, Ketua Umum Himpunan Masyarakat Pertambangan Indonesia (Perhapi) Irwandy Arif mengatakan, pemerintah hanya punya waktu dua tahun untuk menyediakan pabrik pengolahan bahan tambang di Nusantara.
Hal tersebut sesuai dengan Undang- Undang No 4 Pertambangan Mineral dan Batu Bara tahun 2009 yang mensyaratkan pada 2014 perusahaan tambang mineral dan batu bara tidak boleh mengekspor bahan tambang mentah. “Dalam hal ini, pemerintah harus benar-benar mempunyai komitmen terkait percepatan pembangunan smelter,”tegas Irwandy.
Dia mengatakan, pemerintah selama ini belum melakukan sesuatu langkah yang signifikan untuk mendorong hal itu. Irwandy meminta pemerintah membantu perusahaan yang akan membangun smelter dalam bentuk percepatan perizinan.
Pihaknya juga berharap ada pembenahan di sisi pemberian insentif bagi perusahaan. “Bukan hanya di ESDM, tapi Kemenperin juga harus ikut andil,”cetusnya. Dia menambahkan, paling cepat pembangunan smelter bisa diselesaikan dalam tiga tahun, juga dengan biaya yang tidak sedikit. Pembangunan smelter, tegas dia, butuh investasi yang tinggi, kepastian modal, teknologi, dan juga komitmen yang kuat.
Sementara, pemerintah mengakui telah menerima tujuh proposal baru untuk pembangunan smelter.Hal tersebut terkait pemberian kelonggaran pemerintah terhadap perusahaan pertambangan mineral dan batu bara untuk mengajukan rencana kerja perusahaan jangka panjang terkait kebijakan pelarangan ekspor bijih yang tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) No 7/2012 Pasal 21 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral.
Peraturan menteri tersebut menyatakan, pada saat peraturan menteri berlaku,pemegang izin usaha pertambangan operasi produksi dan izin pertambangan rakyat yang diterbitkan sebelum berlakunya peraturan menteri ini dilarang untuk menjual bijih mineral ke luar negeri dalam jangka waktu paling lambat tiga bulan sejak berlakunya regulasi tersebut. Peraturan Menteri tersebut terbit pada 6 Februari 2012, sehingga perusahaan tambang dilarang mengekspor bijih per 6 Mei 2012.
Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik, perusahaan nantinya akan dievaluasi oleh tim dari Kementerian ESDM. Bila tim evaluasi menyatakan rencana kerja perusahaan wajar, maka ada kemungkinan diberikan kelonggaran untuk mengekspor bijih sesuai dengan rencana program smelter. “Kalau mereka menyetujui rencana kerja, mereka masih diberi ruang. Kalau tidak, mereka akan dilarang ekspor,” tuturnya.
Sementara, Wakil Menteri ESDM Widjajono Partowidagdo menilai, keengganan pengusaha pertambangan atas pemberlakuan Permen ESDM No 7/2012 sebagai sesuatu hal yang wajar. Namun, pemerintah akan menerapkan aturan tersebut sesuai jadwal. Widjajono memastikan, Permen No 7/2012 tidak akan dicabut atau direvisi hanya karena ada penolakan dari sejumlah pelaku pertambangan.
Menurut dia, kebijakan tersebut penting untuk membatasi kuota eksplorasi dan eksploitasi minerba yang volumenya meningkat 8–10 kali bila dibandingkan jumlah kuota tahun 2009.
“Pada intinya kita berikan kebebasan kepada pelaku pertambangan. Tapi, mereka juga jangan seenaknya mengeruk tambang kita.Sekarang begini, silakan saja pelaku pertambangan mau di Kaltim, Sumatera, atau di mana saja kalau mau ekspor bijih mineral, tapi kuotanya harus tidak lebih dari kuota tahun 2009, jadi mereka jangan serakah. Karena kalau mereka mengeruk sampaï 10 kali lipat,maka mineral kita cepat habis,intinya kebijakan ini hanya untuk membatasi saja,” tutur Widjajono belum lama ini.
Menurutnya, jangka waktu penyesuaian selama tiga bulan yang diberikan pemerintah kepada pelaku pertambangan minerba merupakan bentuk peringatan agar pengusaha tidak mengeksplorasi dalam jumlah berlebihan. Dia mengakui, waktu penyesuaian tersebut memang tidak cukup, sehingga solusinya adalah membatasi eksploitasi dan ekspor.
()