Biaya operasional naik, harga kamar hotel dipertahankan
A
A
A
Sindonews.com - Biaya operasional hotel sudah membengkak akibat isu kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Namun pengelola hotel belum juga menaikkan tarif kamarnya.
Pelaku bisnis perhotelan lebih memilih menunggu harga stabil kembali pasca BBM resmi dinaikkan. Disamping itu, perhotelan juga melihat dulu kondisi tingkat keterisian kamar atau okupansi kamarnya. Bila okupansinya rendah, maka industri ini tidak akan menaikkan tarif kamarnya. Kalau harga naik, itu akan semakin membuat jualan mereka tidak laku. Langkah awal mengantisipasi keadaan kurang menguntungkan ini, para pengelola hotel berencana memangkas keuntungannya.
Seperti yang dikatakan Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jawa Tengah Heru Isnawan kemarin. Dia menjelaskan, saat ini kalangan hotel tidak dapat langsung bereaksi atas kenaikan harga sejumlah komoditas sebagai dampak wacana kenaikan BBM. Pengelola hotel menunggu waktu yang tepat dan melakukan perhitungan ulang atas biaya operasionalnya.
”Sambil menunggu perhitungan ulang, biasanya hotel mengatur strategi untuk tetap bisa bertahan dengan memangkas keuntungan,” katanya kemarin. Selain itu, lanjut dia, para pebisnis hotel juga menggunakan trik lain melalui variasi kebijakan terhadap penerapan diskon harga. Biasanya diskon yang diberikan mencapai angka tertentu, akan dievaluasi kembali dengan penurunan diskon.
”Kalau rencana kenaikan tarif kamar hotel sepertinya dalam waktu dekat ini belum terjadi. Sebab, konsumsi kamar tergolong fixed (tetap), dan tidak terlalu terpengaruh. Jadi lebih pada kebijakan diskon yang diubah,” imbuhnya. Dia membeberkan, kebutuhan tertinggi bisnis jasa perhotelan ada pada konsumsi energi yang menyita 25–30 persen perbelanjaan.
Dalam sejarah perhotelan, kenaikan tarif paling ekstrem terjadi pada saat krisis moneter tahun 1998. Saat itu terjadi kenaikan tarif sebanyak dua kali selama satu tahun. Hal yang sama juga dikatakan Director of Sales Hotel Ciputra Semarang Christoporus Yulianto.
“Sampai sekarang belum sampai mengubah tarif kamar hotel,”ucapnya. Dikatakan, menempuh kebijakan menaikkan harga kamar menjadi riskan karena akan berdampak pada penurunan okupansi.
Pelaku bisnis perhotelan lebih memilih menunggu harga stabil kembali pasca BBM resmi dinaikkan. Disamping itu, perhotelan juga melihat dulu kondisi tingkat keterisian kamar atau okupansi kamarnya. Bila okupansinya rendah, maka industri ini tidak akan menaikkan tarif kamarnya. Kalau harga naik, itu akan semakin membuat jualan mereka tidak laku. Langkah awal mengantisipasi keadaan kurang menguntungkan ini, para pengelola hotel berencana memangkas keuntungannya.
Seperti yang dikatakan Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jawa Tengah Heru Isnawan kemarin. Dia menjelaskan, saat ini kalangan hotel tidak dapat langsung bereaksi atas kenaikan harga sejumlah komoditas sebagai dampak wacana kenaikan BBM. Pengelola hotel menunggu waktu yang tepat dan melakukan perhitungan ulang atas biaya operasionalnya.
”Sambil menunggu perhitungan ulang, biasanya hotel mengatur strategi untuk tetap bisa bertahan dengan memangkas keuntungan,” katanya kemarin. Selain itu, lanjut dia, para pebisnis hotel juga menggunakan trik lain melalui variasi kebijakan terhadap penerapan diskon harga. Biasanya diskon yang diberikan mencapai angka tertentu, akan dievaluasi kembali dengan penurunan diskon.
”Kalau rencana kenaikan tarif kamar hotel sepertinya dalam waktu dekat ini belum terjadi. Sebab, konsumsi kamar tergolong fixed (tetap), dan tidak terlalu terpengaruh. Jadi lebih pada kebijakan diskon yang diubah,” imbuhnya. Dia membeberkan, kebutuhan tertinggi bisnis jasa perhotelan ada pada konsumsi energi yang menyita 25–30 persen perbelanjaan.
Dalam sejarah perhotelan, kenaikan tarif paling ekstrem terjadi pada saat krisis moneter tahun 1998. Saat itu terjadi kenaikan tarif sebanyak dua kali selama satu tahun. Hal yang sama juga dikatakan Director of Sales Hotel Ciputra Semarang Christoporus Yulianto.
“Sampai sekarang belum sampai mengubah tarif kamar hotel,”ucapnya. Dikatakan, menempuh kebijakan menaikkan harga kamar menjadi riskan karena akan berdampak pada penurunan okupansi.
()