Pemerintah kurang kreatif naikkan BBM bersubsidi
A
A
A
Sindonews.com – Pengamat ekonomi Universitas Pasundan Acuviarta Kartabi menilai kebijakan untuk menunda kenaikan bahan bakar minyak(BBM) ini justru menjadi beban masyarakat karena harga- harga sudah naik lebih dulu sebelum kenaikan BBM resmi diumumkan.
Seperti diketahui, harga bahan bakar minyak bersubsidi yang dijadwalkan akan mengalami kenaikan pada 1 April ternyata ditunda. Menurut Pasal 7 ayat 6(a) UU APBN Perubahan 2012 bahwa jika harga minyak Indonesia naik atau turun 15 persen dalam enam bulan terakhir maka pemerintah berwenang menyesuaikan harga BBM bersubsidi.
”Menurut saya, pemerintah kurang kreatif dalam menyosialisasikan kebijakan yang belum termodifikasi rancangan paketnya,” ujarnya dalam ”Sampurasun Wargi Jabar”kerja sama harian Seputar Indonesia Jawa Barat,IMTV, dan Sindo Radio Bandung di Bandung Indah Plaza,kemarin.
Dalam pandangan Acu, kebijakan yang wacananya sudah diumumkan pada akhir 2011 ini ternyata masih dapat diubah dengan bargaining politik.” Awalnya digulirkan wacana pembatasan subsidi, kemudian berubah jadi opsi kenaikan harga, beberapa waktu kemudian lahir regulasi dalam Pasal 7 ayat 6(a),”bebernya. Dengan ketidakkonsistenan dan sikap tidak tanggung jawabnya, pemerintah dinilainya menanggungkan beban kepada rakyat.
Seharusnya, ujar Acu, bentuk kreativitas pemerintah terwujud dalam penghematan bicara. Menurut dia,jika belum termodifikasi dan dirancang dengan baik, semestinya jangan dulu disosialisasikan. Akhirnya minimalisasi dampak kenaikan sulit dilakukan, sedangkan pemerintah lambat menganalisa dampak kenaikan harga yang efeknya multiplier. ”Ketika paket kebijakan yang baik bisa sinkron dari legislatif dan eksekutif maka harus dikomunikasikan dengan baik oleh parlemen,” ucapnya.
Mengenai perubahan opsi yang terjadi dalam mengubah asumsi harga minyak diimbangi dengan penjualan minyak yang bertambah berarti harus ada penghematan dari kementerian. Dia pun menilai, seolah-olah selama ini kenaikan BBM hanya satu-satunya upaya dalam menyehatkan anggaran.
”Kalau mengacu pada APBNP 2012, sejak awal juga salah kalau mau dinaikkan bulan April ini. Harga minyak dunia masih naik sekitar USD3-4/barel,” kata Koordinator Jabar Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Bandung ini.
Pasal ini juga,menurut dia, bisa dipersepsikan seolah-olah mempermainkan rakyat karena memberikan kekuasaan penuh kepada pemerintah untuk menaikkan harga kapan saja. ”Selain itu, kontrol pengawalannya jadi lemah. Posisi DPRD sebagai wakil rakyat tidak leluasa mengontrol APBN dengan optimal, ”ujarnya.
Dia menyarankan, beberapa pilihan yang dapat diupayakan pemerintah di antaranya mengefisienkan jajaran fiskal. ”Dilihat dari respons publik, dan melihat pemerintah hanya memfokuskan pada kenaikan harga. Maka efisiensi pajak, cadangan fiskal, optimalisasi mekanisme sistem produksi energi kita dapat dilakukan untuk merapikan APBN setidaknya Rp50 triliun,” kata Acu.
Selain itu, demi kesejahteraan rakyat sangat memungkinkan untuk berutang kembali. Hal itu tentunya dengan meninjau kesehatan fiskal dan faktor pasar keuangan. Pemerintah juga, ujar Acu, tidak boleh perhitungan dengan mengambinghitamkan Bantuan Langsung Swadaya Mandiri (BLSM-dulu BLT) dari kenaikan harga ini. Sebab, bantuan kepada orang miskin itu merupakan kewajiban pemerintah.
Mengantisipasi kelangkaan BBM di Jabar yang diprediksi bisa saja terjadi, Acu mengimbau, pengusaha lokal diutamakan untuk menggali potensi energi alternatif yang bisa dijual. Selain itu, pemerintah daerah pembenahan sarana transportasi harus mampu mengajak masyarakat menggunakan alat transportasi massal.
”Masyarakat juga harus menanggapi serius dengan pemerintah yang cukup berupaya untuk mempersiapkan kompensasi kebijakan. Kita harus dapat berhemat dan menggunakan subsidi dengan baik,belanjakan untuk kepentingan bahan pokok saja,” kata dosen Unpas ini.
Seperti diketahui, harga bahan bakar minyak bersubsidi yang dijadwalkan akan mengalami kenaikan pada 1 April ternyata ditunda. Menurut Pasal 7 ayat 6(a) UU APBN Perubahan 2012 bahwa jika harga minyak Indonesia naik atau turun 15 persen dalam enam bulan terakhir maka pemerintah berwenang menyesuaikan harga BBM bersubsidi.
”Menurut saya, pemerintah kurang kreatif dalam menyosialisasikan kebijakan yang belum termodifikasi rancangan paketnya,” ujarnya dalam ”Sampurasun Wargi Jabar”kerja sama harian Seputar Indonesia Jawa Barat,IMTV, dan Sindo Radio Bandung di Bandung Indah Plaza,kemarin.
Dalam pandangan Acu, kebijakan yang wacananya sudah diumumkan pada akhir 2011 ini ternyata masih dapat diubah dengan bargaining politik.” Awalnya digulirkan wacana pembatasan subsidi, kemudian berubah jadi opsi kenaikan harga, beberapa waktu kemudian lahir regulasi dalam Pasal 7 ayat 6(a),”bebernya. Dengan ketidakkonsistenan dan sikap tidak tanggung jawabnya, pemerintah dinilainya menanggungkan beban kepada rakyat.
Seharusnya, ujar Acu, bentuk kreativitas pemerintah terwujud dalam penghematan bicara. Menurut dia,jika belum termodifikasi dan dirancang dengan baik, semestinya jangan dulu disosialisasikan. Akhirnya minimalisasi dampak kenaikan sulit dilakukan, sedangkan pemerintah lambat menganalisa dampak kenaikan harga yang efeknya multiplier. ”Ketika paket kebijakan yang baik bisa sinkron dari legislatif dan eksekutif maka harus dikomunikasikan dengan baik oleh parlemen,” ucapnya.
Mengenai perubahan opsi yang terjadi dalam mengubah asumsi harga minyak diimbangi dengan penjualan minyak yang bertambah berarti harus ada penghematan dari kementerian. Dia pun menilai, seolah-olah selama ini kenaikan BBM hanya satu-satunya upaya dalam menyehatkan anggaran.
”Kalau mengacu pada APBNP 2012, sejak awal juga salah kalau mau dinaikkan bulan April ini. Harga minyak dunia masih naik sekitar USD3-4/barel,” kata Koordinator Jabar Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Bandung ini.
Pasal ini juga,menurut dia, bisa dipersepsikan seolah-olah mempermainkan rakyat karena memberikan kekuasaan penuh kepada pemerintah untuk menaikkan harga kapan saja. ”Selain itu, kontrol pengawalannya jadi lemah. Posisi DPRD sebagai wakil rakyat tidak leluasa mengontrol APBN dengan optimal, ”ujarnya.
Dia menyarankan, beberapa pilihan yang dapat diupayakan pemerintah di antaranya mengefisienkan jajaran fiskal. ”Dilihat dari respons publik, dan melihat pemerintah hanya memfokuskan pada kenaikan harga. Maka efisiensi pajak, cadangan fiskal, optimalisasi mekanisme sistem produksi energi kita dapat dilakukan untuk merapikan APBN setidaknya Rp50 triliun,” kata Acu.
Selain itu, demi kesejahteraan rakyat sangat memungkinkan untuk berutang kembali. Hal itu tentunya dengan meninjau kesehatan fiskal dan faktor pasar keuangan. Pemerintah juga, ujar Acu, tidak boleh perhitungan dengan mengambinghitamkan Bantuan Langsung Swadaya Mandiri (BLSM-dulu BLT) dari kenaikan harga ini. Sebab, bantuan kepada orang miskin itu merupakan kewajiban pemerintah.
Mengantisipasi kelangkaan BBM di Jabar yang diprediksi bisa saja terjadi, Acu mengimbau, pengusaha lokal diutamakan untuk menggali potensi energi alternatif yang bisa dijual. Selain itu, pemerintah daerah pembenahan sarana transportasi harus mampu mengajak masyarakat menggunakan alat transportasi massal.
”Masyarakat juga harus menanggapi serius dengan pemerintah yang cukup berupaya untuk mempersiapkan kompensasi kebijakan. Kita harus dapat berhemat dan menggunakan subsidi dengan baik,belanjakan untuk kepentingan bahan pokok saja,” kata dosen Unpas ini.
()