BP Migas tak akan kurangi cost recovery
A
A
A
Sindonews.com - Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) berkukuh tidak akan menurunkan alokasi biaya operasi dan investasi yang akan ditagihkan ke negara oleh kontraktor kontrak kerja sama (cost recovery).
Kepala BP Migas R Priyono menegaskan, jika alokasi cost recovery diturunkan, berpotensi menurunkan tingkat produksi minyak nasional. Dalam postur APBNP 2012, alokasi anggaran cost recovery ditetapkan sebesar USD15,13 miliar. Nilai ini lebih tinggi dari alokasi pada APBN 2012 yang hanya USD12 miliar.
“Kalau cost recovery diturunkan maka produksi minyak kita akan ikut turun pula. Cost recovery merupakan bagian dari kegiatan produksi minyak yang dilakukan oleh KKKS,” ujar Priyono seusai rapat tertutup dengan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di Kantor BP Migas, Jakarta, kemarin.
Namun, imbuh dia, sebagai bagian dari upaya penghematan anggaran negara, BP Migas akan melakukan pengendalian besaran cost recovery melalui penetapan rasio 22–25 persen dari kewajaran bisnis. Priyono menegaskan, pengendalian tersebut tidak sama dengan pemangkasan.
“Kita kendalikan, bukan memotong. Misalnya, cost recovery diatur 22–25 persen rasionya dari growth revenue, artinya dari kewajaran bisnisnya. Jadi, kita dapat bagian produksi minyak 57 persen dan mereka (KKKS) dapat 15-20 persen, jadi cost recovery tadi sekitar 22-25 persen,” katanya.
Menurut dia, alokasi anggaran cost recovery yang ditetapkan USD15 miliar akan diatur lebih lanjut, sehingga jika terjadi kelebihan maka akan dibayarkan tahun depan. “Di situ ada unsur pengendalian, jadi penerimaan negara tidak kurang misalnya dari 40 persen,” kata dia.
Sebelumnya Kepala Divisi Humas, Sekuriti dan Formalitas BP Migas Gde Pradnyana mengatakan, angka cost recovery tahun ini juga lebih rendah dibandingkan realisasi cost recovery pada 2011 sebesar USD15,5 miliar.
Bahkan, usulan KKKS untuk cost recovery tahun 2012 sebelumnya adalah USD17,4 miliar, untuk menghasilkan sebesar 2,25 juta barel ekuivalen minyak. Hal ini, tegas dia, menunjukkan upaya BP Migas untuk melakukan efisiensi pengelolaan industri hulu migas guna memaksimalkan penerimaan Negara.
Semula, jelas dia, kontraktor mengajukan usulan anggaran sebesar USD17,4 miliar untuk menghasilkan total pendapatan kotor kegiatan hulu migas sebesar USD53,7 miliar dengan porsi penerimaan negara sebesar USD28 miliar dan bagian KKKS sebesar USD8,3 miliar.
Namun setelah melalui pembahasan, BP Migas memaksimalkan total pendapatan kotor menjadi USD56,3 miliar dari usulan USD53,7 miliar. Dengan penambahan pendapatan kotor ini, maka porsi penerimaan negara ikut meningkat menjadi USD32,2 miliar dari semula USD28 miliar.
Bagian KKKS juga sedikit meningkat menjadi USD8,9 miliar dari usulan USD8,3 miliar. “Pada dasarnya, kami memandang cost recovery itu sebagai investasi untuk menghasilkan penerimaan negara yang maksimal,” ujar Gde.
Meski demikian, lanjutnya, investasi yang dilakukan juga harus diupayakan agar efisien dengan tetap memberi keuntungan bagi kontraktor maupun bagi pemerintah. Cost recovery ini juga harus sebanyak mungkin dibelanjakan di dalam negeri dalam berbagai bentuk kandungan lokal.
Tahun lalu, lanjutnya, dari belanja kapital sebesar USD11 miliar di industri hulu minyak dan gas, BP Migas berhasil mendorong tingkat kandungan lokal senilai lebih dari USD6 miliar.
Investasi ini harus terus dilaksanakan oleh para kontraktor dalam berbagai bentuk kegiatan operasi hulu minyak dan gas untuk menekan laju penurunan produksi minyak dari 14 persen per tahun menjadi hanya 3-4 persen per tahun. (ank)
Kepala BP Migas R Priyono menegaskan, jika alokasi cost recovery diturunkan, berpotensi menurunkan tingkat produksi minyak nasional. Dalam postur APBNP 2012, alokasi anggaran cost recovery ditetapkan sebesar USD15,13 miliar. Nilai ini lebih tinggi dari alokasi pada APBN 2012 yang hanya USD12 miliar.
“Kalau cost recovery diturunkan maka produksi minyak kita akan ikut turun pula. Cost recovery merupakan bagian dari kegiatan produksi minyak yang dilakukan oleh KKKS,” ujar Priyono seusai rapat tertutup dengan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di Kantor BP Migas, Jakarta, kemarin.
Namun, imbuh dia, sebagai bagian dari upaya penghematan anggaran negara, BP Migas akan melakukan pengendalian besaran cost recovery melalui penetapan rasio 22–25 persen dari kewajaran bisnis. Priyono menegaskan, pengendalian tersebut tidak sama dengan pemangkasan.
“Kita kendalikan, bukan memotong. Misalnya, cost recovery diatur 22–25 persen rasionya dari growth revenue, artinya dari kewajaran bisnisnya. Jadi, kita dapat bagian produksi minyak 57 persen dan mereka (KKKS) dapat 15-20 persen, jadi cost recovery tadi sekitar 22-25 persen,” katanya.
Menurut dia, alokasi anggaran cost recovery yang ditetapkan USD15 miliar akan diatur lebih lanjut, sehingga jika terjadi kelebihan maka akan dibayarkan tahun depan. “Di situ ada unsur pengendalian, jadi penerimaan negara tidak kurang misalnya dari 40 persen,” kata dia.
Sebelumnya Kepala Divisi Humas, Sekuriti dan Formalitas BP Migas Gde Pradnyana mengatakan, angka cost recovery tahun ini juga lebih rendah dibandingkan realisasi cost recovery pada 2011 sebesar USD15,5 miliar.
Bahkan, usulan KKKS untuk cost recovery tahun 2012 sebelumnya adalah USD17,4 miliar, untuk menghasilkan sebesar 2,25 juta barel ekuivalen minyak. Hal ini, tegas dia, menunjukkan upaya BP Migas untuk melakukan efisiensi pengelolaan industri hulu migas guna memaksimalkan penerimaan Negara.
Semula, jelas dia, kontraktor mengajukan usulan anggaran sebesar USD17,4 miliar untuk menghasilkan total pendapatan kotor kegiatan hulu migas sebesar USD53,7 miliar dengan porsi penerimaan negara sebesar USD28 miliar dan bagian KKKS sebesar USD8,3 miliar.
Namun setelah melalui pembahasan, BP Migas memaksimalkan total pendapatan kotor menjadi USD56,3 miliar dari usulan USD53,7 miliar. Dengan penambahan pendapatan kotor ini, maka porsi penerimaan negara ikut meningkat menjadi USD32,2 miliar dari semula USD28 miliar.
Bagian KKKS juga sedikit meningkat menjadi USD8,9 miliar dari usulan USD8,3 miliar. “Pada dasarnya, kami memandang cost recovery itu sebagai investasi untuk menghasilkan penerimaan negara yang maksimal,” ujar Gde.
Meski demikian, lanjutnya, investasi yang dilakukan juga harus diupayakan agar efisien dengan tetap memberi keuntungan bagi kontraktor maupun bagi pemerintah. Cost recovery ini juga harus sebanyak mungkin dibelanjakan di dalam negeri dalam berbagai bentuk kandungan lokal.
Tahun lalu, lanjutnya, dari belanja kapital sebesar USD11 miliar di industri hulu minyak dan gas, BP Migas berhasil mendorong tingkat kandungan lokal senilai lebih dari USD6 miliar.
Investasi ini harus terus dilaksanakan oleh para kontraktor dalam berbagai bentuk kegiatan operasi hulu minyak dan gas untuk menekan laju penurunan produksi minyak dari 14 persen per tahun menjadi hanya 3-4 persen per tahun. (ank)
()