Pengusaha salah artikan aturan
A
A
A
Sindonews.com – Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mulai dibuat uring-uringan dengan sikap pengusaha reklame. Keputusan pendirian papan reklame di atas rumah warga atau perkantoran menyalahi kebijakan tata kota.
Mereka (pengusaha) itu salah mengartikan, dalam penjelasan kami itu reklame boleh dilakukan di dinding rumah atau perkantoran. Lha, kok malah diterjemahkan dengan pemasangan reklame raksasa yang dipasang di atas rumah,” ujar Risma kemarin. Mantan Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota (Bappeko) itu mengungkapkan saat melakukan pembersihan reklame di ruang milik jalan (rumija), Pemkot sudah menjelaskan jika langkah itu untuk menata estetika kota agar lebih baik.
Agar pengusaha tetap mempunyai lahan usaha, Pemkot menyarankan agar reklame pengusaha dibuat menempel pada dinding rumah warga atau perkantoran.“ Tapi mereka menangkap pengertian itu lain, ini yang jadi persoalan,” ungkapnya. Risma pun tak mau dibuat pusing dengan munculnya reklame yang menjamur di atas persil milik warga. Apalagi keberadaan reklame yang menjulang tinggi di atas rumah warga maupun pertokoan merusak estetika kota.
Kedepan wali kota perempuan pertama Surabaya ini bakal memasukkan semua reklame yang ada di atas persil milik warga atau pertokoan dalam daftar bongkar. “Kami memang tetap menatanya, jadi tak mungkin dibiarkan begitu saja,”jelasnya. Dari pantauan SINDO, keberadaan reklame di atas persil milik warga memang terlihat mencolok. Reklame itu berdiri kokoh dengan balutan besi penyangga yang kuat sampai ke bawah. Meskipun lokasinya agak masuk ke gang atau perkampungan, reklame itu tetap bisa dilihat dari jalan raya.
Kondisi ruang di atas rumah pun terlihat berwarna. Deretan reklame dengan berbagai materi yang menonjolkan warna dan kata-kata memberikan nuansa baru tentang keberadaan kota modern. Sementara itu,Ketua Bidang Reklame Out Door Perhimpunan Pengusaha Periklanan Indonesia (P3I) Agus Winoto menuturkan, kemunculan reklame di atas persil milik warga dan perkantoran tak berjalan begitu saja.Semua itu terjadi karena keterpurukan usaha di bidang reklame setelah adanya larangan reklame di rumija.“Ditambah lagi retribusi yang tak masuk akal untuk reklame. Ya, efeknya seperti itu,”katanya.
Sementara itu, anggota Komisi C DPRD Surabaya Herlina Harsono Njoto menilai maraknya reklame di atas persil dan rumah warga yang mengganggu estetika kota akibat ketidaktegasan tim reklame pemkot.“ Memang reklame di persil atau bangunan milik warga menguntungkan warga itu sendiri karena dapat uang sewa.Tapi jika pendiriannya asal-asalan, maka tim reklame pemkot berhak memberlakukan aturan. Pemkot yang punya kuasa di kota ini,” tandas politisi Partai Demokrat ini.
Herlina tidak bisa menerima alasan tim reklame yang menyebut terganggu dan tidaknya estetika adalah relatif. “Tidak bisa seperti itu.Jika mayoritas penilaian banyak pihak mengeluhkan keberadaan reklame di atas persil atau bangunan karena alasan pemandangan, sama artinya mengganggu estetika,”katanya.
Alumni S2 Fakultas Psikologi Untag Surabaya ini mengingatkan tim reklame untuk mengkaji ulang penataan reklame. Utamanya yang di atas gedung. “Intinya itu kemauan dan ketegasan. Jika bando bermasalah bisa dibongkar, kenapa reklame di atas gedung tidak bisa,”tanyanya.
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Surabaya Irvan Widyanto menuturkan, sampai saat ini penertiban terus dilanjut. Banyak daftar bongkar reklame yang masuk di Satpol PP untuk segera ditindak. “Kami tetap menunggu daftar baru dari Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang, termasuk reklame yang ada di persil milik warga,”ungkapnya.
Mereka (pengusaha) itu salah mengartikan, dalam penjelasan kami itu reklame boleh dilakukan di dinding rumah atau perkantoran. Lha, kok malah diterjemahkan dengan pemasangan reklame raksasa yang dipasang di atas rumah,” ujar Risma kemarin. Mantan Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota (Bappeko) itu mengungkapkan saat melakukan pembersihan reklame di ruang milik jalan (rumija), Pemkot sudah menjelaskan jika langkah itu untuk menata estetika kota agar lebih baik.
Agar pengusaha tetap mempunyai lahan usaha, Pemkot menyarankan agar reklame pengusaha dibuat menempel pada dinding rumah warga atau perkantoran.“ Tapi mereka menangkap pengertian itu lain, ini yang jadi persoalan,” ungkapnya. Risma pun tak mau dibuat pusing dengan munculnya reklame yang menjamur di atas persil milik warga. Apalagi keberadaan reklame yang menjulang tinggi di atas rumah warga maupun pertokoan merusak estetika kota.
Kedepan wali kota perempuan pertama Surabaya ini bakal memasukkan semua reklame yang ada di atas persil milik warga atau pertokoan dalam daftar bongkar. “Kami memang tetap menatanya, jadi tak mungkin dibiarkan begitu saja,”jelasnya. Dari pantauan SINDO, keberadaan reklame di atas persil milik warga memang terlihat mencolok. Reklame itu berdiri kokoh dengan balutan besi penyangga yang kuat sampai ke bawah. Meskipun lokasinya agak masuk ke gang atau perkampungan, reklame itu tetap bisa dilihat dari jalan raya.
Kondisi ruang di atas rumah pun terlihat berwarna. Deretan reklame dengan berbagai materi yang menonjolkan warna dan kata-kata memberikan nuansa baru tentang keberadaan kota modern. Sementara itu,Ketua Bidang Reklame Out Door Perhimpunan Pengusaha Periklanan Indonesia (P3I) Agus Winoto menuturkan, kemunculan reklame di atas persil milik warga dan perkantoran tak berjalan begitu saja.Semua itu terjadi karena keterpurukan usaha di bidang reklame setelah adanya larangan reklame di rumija.“Ditambah lagi retribusi yang tak masuk akal untuk reklame. Ya, efeknya seperti itu,”katanya.
Sementara itu, anggota Komisi C DPRD Surabaya Herlina Harsono Njoto menilai maraknya reklame di atas persil dan rumah warga yang mengganggu estetika kota akibat ketidaktegasan tim reklame pemkot.“ Memang reklame di persil atau bangunan milik warga menguntungkan warga itu sendiri karena dapat uang sewa.Tapi jika pendiriannya asal-asalan, maka tim reklame pemkot berhak memberlakukan aturan. Pemkot yang punya kuasa di kota ini,” tandas politisi Partai Demokrat ini.
Herlina tidak bisa menerima alasan tim reklame yang menyebut terganggu dan tidaknya estetika adalah relatif. “Tidak bisa seperti itu.Jika mayoritas penilaian banyak pihak mengeluhkan keberadaan reklame di atas persil atau bangunan karena alasan pemandangan, sama artinya mengganggu estetika,”katanya.
Alumni S2 Fakultas Psikologi Untag Surabaya ini mengingatkan tim reklame untuk mengkaji ulang penataan reklame. Utamanya yang di atas gedung. “Intinya itu kemauan dan ketegasan. Jika bando bermasalah bisa dibongkar, kenapa reklame di atas gedung tidak bisa,”tanyanya.
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Surabaya Irvan Widyanto menuturkan, sampai saat ini penertiban terus dilanjut. Banyak daftar bongkar reklame yang masuk di Satpol PP untuk segera ditindak. “Kami tetap menunggu daftar baru dari Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang, termasuk reklame yang ada di persil milik warga,”ungkapnya.
()