G20 nilai perdagangan didominasi negara maju
A
A
A
Sindonews.com - Indonesia bersama negara-negara berkembang lainnya dalam pertemuan G20 secara tegas menyatakan bahwa pembukaan pasar tidak serta merta akan mendorong pertumbuhan dan menciptakan lapangan kerja.
Sikap tersebut seiring dengan pemahaman "global value chains" yang menjadi pembahasan utama dalam pertemuan di Meksiko 20 April lalu. Negara berkembang merasa negara maju terlalu mendominasi dalam perdagangan sehingga, keuntungan dirasakan sepihak.
"Ada sejumlah kondisi yang harus terpenuhi agar negara berkembang dan negara kurang berkembang dapat mengambil manfaat maksimal dari pembukaan pasar dan berpartisipasi penuh dalam global value chains," kata Menteri Perdagangan Gita Wirjawan dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Selasa (24/4/2012).
Gita menambahkan, diskusi mengenai mata rantai global tidak dapat difokuskan pada sektor tertentu saja dan bahwa kepentingan khusus negara berkembang tidak dapat diabaikan. "Pembahasan mengenai global value chains harus seimbang untuk mencerminkan kepentingan negara maju dan berkembang secara proporsional," jelasnya.
Menurut Gita, hal penting bagi negara berkembang adalah pertama, dimasukkannya pertanian dalam pembahasan sebagai sektor penting pendorong pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja. Kemudian yang kedua adalah tersedianya policy space untuk melakukan penyesuaian kebijakan dan mengatasi tantangan pembangunan yang memerlukan keberpihakan.
"Selanjutnya aspirasi untuk merambah naik dalam mata rantai perdagangan dari penyedia bahan baku menjadi pengolah bahan antara dan produk akhir sehingga negara berkembang seperti Indonesia ikut menikmati nilai tambah dalam mata rantai perdagangan," tandasnya.
Pada pertemuan ini disepakati dimana dalam mata rantai, sektor jasa, pembiayaan dan fasilitasi perdagangan memainkan peran kunci sebagai “pelumas” bagi kelancaran “global value chains”. Atas dasar pemikiran ini, maka sebagian besar anggota G20 khususnya dari negara maju berpendapat bahwa narasi perdagangan “export is good, import is bad” perlu diubah dengan meminimalkan langkah-langkah proteksionisme di bidang barang dan jasa serta memperkuat pembiayaan dan fasilitasi perdagangan. (ank)
Sikap tersebut seiring dengan pemahaman "global value chains" yang menjadi pembahasan utama dalam pertemuan di Meksiko 20 April lalu. Negara berkembang merasa negara maju terlalu mendominasi dalam perdagangan sehingga, keuntungan dirasakan sepihak.
"Ada sejumlah kondisi yang harus terpenuhi agar negara berkembang dan negara kurang berkembang dapat mengambil manfaat maksimal dari pembukaan pasar dan berpartisipasi penuh dalam global value chains," kata Menteri Perdagangan Gita Wirjawan dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Selasa (24/4/2012).
Gita menambahkan, diskusi mengenai mata rantai global tidak dapat difokuskan pada sektor tertentu saja dan bahwa kepentingan khusus negara berkembang tidak dapat diabaikan. "Pembahasan mengenai global value chains harus seimbang untuk mencerminkan kepentingan negara maju dan berkembang secara proporsional," jelasnya.
Menurut Gita, hal penting bagi negara berkembang adalah pertama, dimasukkannya pertanian dalam pembahasan sebagai sektor penting pendorong pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja. Kemudian yang kedua adalah tersedianya policy space untuk melakukan penyesuaian kebijakan dan mengatasi tantangan pembangunan yang memerlukan keberpihakan.
"Selanjutnya aspirasi untuk merambah naik dalam mata rantai perdagangan dari penyedia bahan baku menjadi pengolah bahan antara dan produk akhir sehingga negara berkembang seperti Indonesia ikut menikmati nilai tambah dalam mata rantai perdagangan," tandasnya.
Pada pertemuan ini disepakati dimana dalam mata rantai, sektor jasa, pembiayaan dan fasilitasi perdagangan memainkan peran kunci sebagai “pelumas” bagi kelancaran “global value chains”. Atas dasar pemikiran ini, maka sebagian besar anggota G20 khususnya dari negara maju berpendapat bahwa narasi perdagangan “export is good, import is bad” perlu diubah dengan meminimalkan langkah-langkah proteksionisme di bidang barang dan jasa serta memperkuat pembiayaan dan fasilitasi perdagangan. (ank)
()